• Jangan lupa vote & komen
• Follow ig: @nvathya29 untuk info seputar cerita aku🦋🦋🦋
"Callahan,"
"Hm?"
"Apa bedanya kupu-kupu dan ngengat?"
Begitulah pertanyaanku malam itu. Callahan yang semula fokus meneliti sayap kupu-kupu di bawah sorot lampunya lantas mengangkat dagu. Ia menatapku. "Beda."
"Aih, aku tahu kok kalau mereka beda!"
Callahan tertawa. Ia membenarkan bingkai kacamatanya yang merosot akibat getaran tubuhnya usai tertawa.
"Kupu-kupu lebih berwarna, sedangkan ngengat cenderung memiliki warna yang monoton dan gelap." jelas Callahan. Tidak pernah sekalipun ia mengeluh karena repot-repot menjelaskan.
"Kenapa tiba-tiba penasaran?" Callahan bertanya setelahnya.
Aku mengedikkan bahu, "Tidak ada salahnya bertanya, kan?" kataku, "tapi awalnya kupikir kupu-kupu dan ngengat itu kurang lebih sama jika dilihat dari bentuknya. Ternyata beda jauh, ya?"
Callahan mengangguk, "Memang beda." ia meyakinkan jawabannya. Lantas, kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
"Callahan?" aku memanggilnya lagi. Kulihat ia hanya menanggapi dengan kernyitan alis.
Aku berjalan menghampiri. Kini berdiri di depan meja tempat ia bekerja. Meja kayu jati yang permukaannya tidak terlalu luas ini dipenuhi tumpukan kertas yang berserakan.
"Boleh aku rapikan?" aku menawarkan diri. Callahan melirik tumpukan kertas yang kumaksud lalu mengangguk.
"Silakan, Sayang." ia mengizinkan. Lantas, menggeser kursinya ke samping untuk memberiku ruang, "tapi yang ini jangan, ya?"
Callahan menunjuk secarik kertas. Posisinya berdampingan dengan sebuah buku ensiklopedia.
"Aku masih mengerjakan spesies yang satu itu."
Aku menilik sejenak apa yang suamiku maksud. Nama Monarch butterfly tertulis jelas di bagian atas kertas itu.
"Tintanya juga masih basah," aku bergumam.
Justru gumamanku terdengar jelas di telinga Callahan, "Iya."
Aku mengangguk. Lantas, kusisakan secarik kertas tersebut, sementara puluhan kertas yang lainnya kurapikan dan kutumpuk menjadi satu hingga menggunung nyaris menandingi tingginya lampu meja milik suamiku sendiri.
"Harusnya ini dibukukan." usulku, melihat tumpukan kertas ini lumayan tinggi tidak memungkinkan untuk diletakkan begitu saja di atas meja. Callahan butuh map atau semacamnya, atau harus dibukukan saja agar menjadi buku ke-limanya di tahun ini.
Callahan melirik, "Harusnya. Tapi, ada beberapa spesies lagi yang harus kuteliti."
Aku mengangguk paham. Begitulah pekerjaannya.
Kini aku dibuat diam saat melihat Callahan begitu sibuk berkutat dengan kupu-kupunya malam ini. Kuamati wajah Callahan dan kupu-kupu di bawah sorot lampu itu secara bergantian.
Sebuah ide untuk membuatkannya teh barusan terlintas di benakku.
"Tunggu sebentar," aku berlalu pergi, menuruni selusin anak tangga kayu yang berderit hendak menuju dapur.
Aku tidak butuh waktu lama membuat dua cangkir teh hangat untukku dan Callahan. Dirasa semua beres, lantas aku kembali ke ruang kerja pribadi milik Callahan sambil membawa dua cangkir teh hangat ini di atas sebuah nampan.
"Callahan,"
Sesampainya aku di sini, Callahan sudah berpindah duduk. Ia menempati single sofa merah marun dekat jendela dengan kedua kaki yang berselonjor sementara punggungnya bersandar rileks pada sandaran sofa.
Aku mendekat dan meletakkan dua cangkir teh hangat buatanku di atas sebuah meja kopi.
"Kukira kau ngambek." celetuk Callahan. Matanya tetap berpejam saat mengatakan itu.
"Hah?" keningku mengernyit, "Kenapa aku begitu?"
Aku mendudukkan diri di single sofa lainnya. Posisinya tak terlalu jauh dari Callahan. Hanya meja kopi yang diletakkan di antara dua single sofa yang menjadi pembatas kami.
Callahan membuka mata. Lantas, melepaskan kacamatanya, "Biasanya begitu." Ia terkekeh.
"Kau pernah bilang cemburu karena kupu-kupuku." Callahan melanjutkan. Lalu, kini meniru gaya bicaraku, "Callahan, mau sampai kapan kau berkutat dengan kupu-kupu itu?; Callahan, aku juga butuh perhatianmu; Callah-"
"Eits, sudah!" tukasku. Kurasakan pipiku memanas karena menahan malu.
Callahan tertawa, "Itu lucu." komentarnya, "Kadang aku juga senang membuatmu kesal."
Aku menggelengkan kepalaku pelan, "Aku sudah berjanji tidak akan begitu lagi."
"Masa?" Callahan mengejekku.
"Itu 'kan pekerjaanmu." aku bersikeras memberi alasan.
Callahan menjentikkan jari, "That's right! "
Ia tampaknya setuju dengan ucapanku.
Callahan menegakkan tubuhnya, "Ingat, ya, Hannah. Sesibuk apa pun diriku, aku tetap akan memprioritaskanmu. Karena apa?"
Callahan mengukir senyum, memamerkan sepasang lesung di kedua pipinya. Mendadak ia mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku bisa merasakan hembusan napas hangatnya di leherku saat ia berbisik, "Karena kupu-kupu penelitianku masih bisa dicari, tetapi wanita sepertimu sulit untuk ditemukan di belahan dunia manapun."
Setelahnya Callahan mengecup pipiku. Ia tertawa puas. Aku mengulum senyum saat kurasakan pipiku mulai memanas, lagi. Kuyakin wajahku saat ini sudah merah padam.
"Dasar, ada saja idenya!"
Begitulah kami.
Terlahir ke dunia untuk ditakdirkan bersama.
Kukatakan dari sekian banyaknya pasangan, kami ialah salah satunya yang sempurna. Pernikahanku dan Callahan sudah berjalan dua tahun. Semuanya lancar. Tidak ada keluhan atau pertengkaran serius. Kecuali aku yang terkadang memang mencari masalah dengan Callahan.
Benar yang dikatakan suamiku. Aku sering merasa cemburu karena kupu-kupu yang ditelitinya. Belum lagi ada saat di mana Callahan jarang pulang ke rumah lantaran sibuk dan lebih memilih menetap di kantor untuk menyelesaikan penelitiannya.
Kurangnya perhatian dari suamiku itulah yang sering membuatku berburuk sangka. Takut ia ternyata bisa berselingkuh di belakangku atau lebih buruk dari itu. Atau jangan-jangan Callahan lebih memilih pekerjannya daripada aku.
Tapi kini aku tahu betul peranku sebagai seorang istri. Seorang istri hendaknya mengerti, mendukung segala keputusan yang dibuat suami, dan selalu ada di sisi, baik suka maupun duka, serta memberi semangat jika ia berada di titik paling terendah.
Nyatanya sebuah hubungan tetap akan bertahan jika kita saling mengerti satu sama lain.
Lebih dari apa pun, aku mencintaimu, Callahan.
🦋🦋🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lepidopterist Husband
Romance"Nenek, siapa yang mengoleksi semua kupu-kupu di sini?" "Kakekmu." "Kakek? Benarkah? Dia hebat sekali! Bisakah kau ceritakan sedikit tentang sosok kakek padaku, Nek?"