1

106 30 136
                                    

Coba baca dulu, deh. Siapa tau suka. Jangan lupa vote dan komennya, ya?

🦋🦋🦋

Dulu, dulu sekali. Untuk yang pertama kalinya saat cucu pertamaku yang baru menginjak usia 5 tahun berkunjung kemari—tepat saat pertengahan musim gugur, ia pernah bertanya padaku, "Nenek, siapa yang mengoleksi semua kupu-kupu di sini?"

Semula yang atensiku sibuk mengamati deretan kupu-kupu yang diawetkan dalam pigura—berjejer rapi di sepanjang dinding—kini kutatap cucuku. Lantas, aku menjawab, "Kakekmu."

Kedua mata anak ini berbinar. Ia menatap kembali pigura-pigura itu, lalu bertanya, "Semuanya?"

Matanya meliar—menelanjangi setiap sudut ruangan ini. Terus terang ruangan ini tidak seluas padang rumput. Tidak pula selapang yang kau bayangkan karena tempat ini penuh dengan barang-barang antik peninggalan suami.

Aku berjalan menuju sebuah nakas, meraih sebuah jam pasir yang sudah berdebu. Ruangan ini memang sudah lama tak dibersihkan. Sebulan yang lalu malah. Kalau-kalau tak lelah lantaran bekerja menjaga toko kue kering di persimpangan jalan, aku sering berkunjung kemari. Alih-alih membersihkan atau sekadar mengobati rasa rindu pada mendiang suami yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya kembali ke pangkuan Tuhan.

"Dulu, kakekmu itu," aku mulai bercerita. Aku merangkul pundak cucuku—Robert namanya. Lantas menggiring ia untuk duduk bersama di sebuah sofa merah marun dekat jendela.

Kusibak tirai putih tipis yang semula tertutup. Cahaya menerpa menerangi ruangan. Semilir angin sore bertiup—menggugurkan dedaunan kering kecokelatan dari pohon-pohon ginkgo yang berdiri di sisi kanan kiri halaman. Sebuah pemandangan indah yang cocok untuk dinikmati di kala waktu senggang.

Robert mendudukkan dirinya di pangkuanku. Senyaman mungkin. Anak ini menatapku lekat. Iris mata birunya berbinar. Kuyakin ia menunggu untuk mendengarkan ceritaku yang sempat tertunda.

"Kakekmu itu seorang Lepidopterist." ungkapku.

Robert tertegun, "Lepido—apa? Ceritakan saja padaku, Nek!"

Aku terkekeh. Menurutku lucu karena Robert belum bisa fasih mengucapkan kata serumit Lepidopterist untuk anak seusianya. Belum lagi reaksinya yang membuktikan bahwa ia adalah anak berkeingintahuan yang besar.

"Lepidopterist adalah ahli yang mempelajari kupu-kupu dan ngengat." paparku.

Robert mendengarkan dengan seksama.

"Memang tidak mudah. Setiap hari kerjaannya hanya meneliti. Meneliti inilah, meneliti itulah. Mulai dari kupu-kupu yang kecil sampai yang besar."

Aku menunjuk satu persatu puluhan pigura yang tersemat di dinding. Sorot mata Robert mengikuti. Dari yang bentuk bingkai piguranya setara dengan telapak tangan sampai yang besarnya melebihi tubuhku sendiri karena memuat lebih dari satu jenis kupu-kupu.

Masing-masing pigura juga ada yang menyimpan satu jenis kupu-kupu maupun ngengat yang berbeda. Dari yang katanya spesies hampir punah sampai yang masih bisa ditemui. Bahkan, yang katanya akan memiliki nilai jual yang tinggi jika kami menjualnya.

"Semua kupu-kupu itu..." Robert berucap. Ia kembali menatapku, "Kakek sendiri yang menangkapnya?"

Aku menelengkan kepalaku ke kiri. Lantas, balik bertanya—membiarkan Robert berpikir dengan caranya sendiri, "Menurutmu?"

Awalnya Robert mengerjap bingung. Lantas, sejenak berpikir. Ia mengusap dagu menggunakan tangan kecilnya. Caranya berpikir saat ini persis seperti Callahan—suamiku dulu.

"Memang bisa? Caranya?"

Aku dibuat tergelak. Kini kening Robert berkerut, "Nek, secara 'kan kupu-kupu adalah hewan yang gesit. Tentu susah sekali untuk ditangkap. Lantas, bagaimana cara kakek menangkapnya? Apakah menggunakan jaring seperti yang biasa kulihat di tv atau semacamnya?"

My Lepidopterist HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang