Pagi ini Orca berangkat sekolah bersama Mora, tanpa sarapan dan dasi yang belum tersimpul bertengger apik di kerah bajunya.
Pagi tadi, tepatnya pukul lima pagi kediaman Anderson dibuat panik karena suhu tubuh Lio yang tinggi, bahkan anak itu sempat kejang dalam tidurnya.
Untungnya dokter pribadi keluarga Anderson cepat datang dan memberi pertolongan pada Lio.
Orca sendiri masih dilanda kebingungan, pagi ini berbeda dari biasanya. Melihat Lio dikelilingi keluarga nya yang lain membuat sesuatu dalam dirinya panas sendiri.
Orca tidak tau perasaan apa ini, yang pasti Ia tidak suka. Rasanya tidak nyaman dan kesal.
Sophia biasa membantu nya berpakaian saat bangun, dan tadi pagi Sophia sibuk mengompres Lio. Sehingga Orca berpakaian sendiri. Orca sebenarnya tidak masalah berpakaian sendiri, yang jadi masalah itu dia tidak bisa memasang dasi!
Sepanjang perjalanan menuju sekolah hanya dihiasi lagu dari radio yang Mora pasang, tadinya Orca akan berangkat dengan Aiden atas perintah dari Mommy nya, tapi Orca bisa melihat raut enggan diwajah kakak ketiganya itu.
Untung saja Mora berbaik hati mengantarnya. Menuai lega direlung hati Orca.
"Nah kita sampai!"
Mora berseru ceria, dengan senyuman manis Ia melirik adik kecilnya. Wajah tirus itu menunjukkan gurat sendu, hati Mora terasa diremas melihatnya.
Ia kenal mimik wajah ini, ekspresi keseharian seorang Orca sebelum adiknya kecelakaan dan dinyatakan amnesia.
Dan melihat ekspresi sendu itu kembali menghiasi wajah yang ceria beberapa hari ini membuat Mora ikut sedih, sedikit banyaknya Mora tau apa yang dirasakan sikecil.
"Orca? Hei...ada apa?" Mora tangkup wajah mungil sang adik, Ia pandang manik indah yang biasanya berkaca kaca itu.
"No, aku baik. Hanya... bisakah kak Mora memasangkan dasiku?"
Mora terkekeh geli mendengarnya, astaga anak ini tidak bisa memakai dasi ternyata.
Dengan cekatan jemari lentik Mora membuat simpul rapi pada dasi itu, setelah memastikan adiknya tidak tercekik Mora beralih menatap sang adik dari ujung rambut hingga kaki.
Orca ini duplikat Daddy-nya sekali, hanya postur tubuhnya saja yang kecil seperti sang Mommy. Mora sedikit meringis saat bayangan adiknya pernah menangis histeris karena diejek seperti banci oleh teman sekelasnya saat SD dulu.
Rambut perak itu objek terakhir yang Mora pandang, diusapnya lembut dan diakhiri kecupan manis pada pucuk kepala Orca.
Greb
Pelukan hangat Mora berikan pada Orca, Ia tepuk pelan punggung sang adik untuk memberi kenyamanan, "Aku tau Orca, kakakmu ini tau apa yang kau rasakan. Karena aku pernah diposisimu, kakak harap jangan pernah menyembunyikan warna rambut ini lagi, lawanlah apa yang kau hadapi dan aku akan selalu disini jika kau butuh."
Setelahnya Mora mendorong pelan punggung Orca, memberi tanda agar anak itu keluar dari mobil dan segera masuk ke sekolah.
Orca sendiri hanya bisa menuruti dan melambaikan tangan saat mobil yang dikendarai Mora melaju meninggalkan area sekolah.
Pikiran Orca menjadi penuh, memikirkan perkataan Mora tadi. Entah kenapa mendengar ucapan kakak keduanya tadi membuat Orca merasa terlindungi dan ingin berlama-lama dipelukan Mora.
Orca tidak bisa mengingat apapun meski Ia mencoba, hatinya terus mengeluarkan gejolak perasaan yang campur aduk.
Sebenarnya dulu dia ini kenapa dan bagaimana sifatnya dulu, rasanya seperti orang paling tersakiti saja. Pulang nanti Ia akan menuntut jawaban dari Mommy-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paus Orca
FantasyHampa, adalah kata yang menggambarkan perasaan orca saat membuka matanya. Semua tampak asing dan kosong. don't plagiarisme!