Kenangan masa lalu

32 5 4
                                    

Pada malam dingin ini, didalam sebuah rumah bertingkat, terlihat seorang pemuda yang tengah cekikikan gajelas.

Stress. Satu kata yang terlintas dipikiran Samudra ketika melihat sadewa. Sedari tadi pria berambut hitam itu ketawa-ketiwi sendiri sambil natap langit langit plafon rumah.

"Kenapa sih sad? Lama-lama gue stressed liat lu begini.." Samudra prihatin dengan psikis sang adik, mengingat dia baru kehilangan teman sekamarnya. Si meong gendut.

"Stres kenapa bang? Orang gak ngapa-ngapain." Sadewa acuh terus memainkan handphone. Samudra cuma bisa geleng-geleng kepala lihat sadewa. Adiknya udah besar bukannya berotak cerdas malah berotak kambing.

"Lu pernah suka sama seseorang gak bang." Sadewa lempar handphonenya dan duduk menghadap samudera.

"namanya manusia dah pasti punya perasaan. Pernah emang... kenapa?"

"Perasaan lu waktu bertemu sama doi berdebar-debar gak?"

"Lu lagi suka sama seseorang sad?" Sadewa menganggukkan kepalanya.

"BAHAHAHAAHA hagh.. uhuk! Uhuk hueekk" Samudra mukul mukul dadanya sendiri. Keselek ludah sendiri lebih sakit dibanding biji nangka.

"Kenapa sih anjing malas banget ngomong sama lo." Dalam hati sadewa nyumpahin abangnya biar mati keselek. Kesel juga lama-lama sama Samudra.

"Hahh... Ya berdebar-debar sih. Kayak ada sesuatu yang terbang diperut."

"Apakah itu yang dinamakan cinta bang?"

"Ya gak bisa dibilang cinta juga. Bisa jadi yang lo rasain sekarang cuma sekedar kagum doang."

"Tapi rasa yang kali ini beda bang. Gak pernah gue rasain rasa ini ketika suka sama seseorang. Rasa ini gak pernah muncul selama gue pacaran bahkan hs sama mindy."

Samudra ngernyitin dahinya. Dia juga gak tahu apa yang sedang dirasakan Sadewa. Cinta? Gak mungkin bagi seorang Sadewa untuk jatuh cinta secepat itu, terlebih dengan seseorang yang baru ditemui. Dibilang kagum juga tidak mengingat rasa yang dirasakan Sadewa lebih dari sekedar kagum.

Tapi... Bagaimana jika rasa itu benar-benar cinta? Akankah sadewa melepas kekasih yang menemaninya? Setelah 4 tahun bersama... Bisakah ia? Demi seseorang yang memberinya sebuah rasa yang tak pasti?







_-_-_

Widona merebahkan dirinya diatas lantai. Kejadian sore kemarin terus menari diatas kepalanya. Apakah memberikan nomornya kepada Sadewa adalah keputusan yang salah? Widona berdecak kesal lantas bangkit menatap bintang. Suasana malam ini terasa tenang tetapi tidak dengan hati dan pikirannya.

"Gue kok resah begini ya?" Widona meremat dada kirinya, detak jantung terasa kencang. Sejak tadi dirinya gelisah entah karena apa. Mengantuk tidak, tidur pun tak bisa.

"Mau lo sebenarnya apasih?..." Widona menjambak rambutnya sendiri, rasa frustasi memenuhi dirinya. "Plis gue lelah... hiks"

Drt drt drt...

Getaran handphone mengagetkan widona, dengan cepat dia mengambil benda pipih diatas nakas.

Damian is calling... -cihh.

"Kenapa?"

"Widona malam ini ayah gak pulang, mungkin bisa dua atau tiga hari nginap di kantor. Kamu ke rumah sandhya ya? Tidur bareng biar kamu gak kesepian."

"Biasanya juga kesepian... Yaudah nanti gue kesana."

Sambungan telepon diputus sepihak. Widona mengambil tas sekolah nya dan memasukkan beberapa pakaian, tak lupa juga seragam sekolah.

Disela kegiatannya Widona berdecak dalam hati. Dia benci dengan keadaan seperti  ini. Selama 4 tahun tempat pelariannya hanya rumah sandhya. Setelah kepergian mendiang ibunda orang yang bisa diandalkan ya cuma sandhya.

Tanpa kehadiran sosok ibu disampingnya membuat hidup widona sepi berantakan. Kehidupan monoton dijalaninya sejak beberapa tahun yang lalu. Tepatnya ketika dia berumur 15 tahun.







Kala itu widona menjalani hidup sebagaimana mestinya. Belajar, bermain, tertawa seperti remaja pada umumnya. Semua terasa menyenangkan sebelum mimpi buruk datang menghampiri.

Hatinya sakit melihat wanita panutannya terduduk lemah dengan darah mengalir dari mulutnya. Membasahi kemeja putih yang dikenakannya.

Tak ada yang bisa dilakukan widona selain berdiri mematung, sebelum suara lemah menyadarkannya dari rasa ketakutan.

Dengan gemetar widona menelfon ayahnya. Tak ada jawaban selama beberapa saat. Dan di panggilan ke-5 sebuah suara asing menyapa indera pendengarnya.

"Ini siapa... Ayah dimana?" Dengan suara gemetar widona bertanya.

"Gak ada, dia lagi mandi selesai tidur sama gue! Lagian lo yang siapa, ganggu aja orang honeymoon."

Widona membekap mulutnya. Air mata tak sanggup lagi ia tahan. Dengan sekuat tenaga Widona menahan isakan yang keluar. Tanpa pikir panjang dia mematikan sambungan telepon dan berlari kearah ibunya.

Sisa-sisa tenaga widona kerahkan untuk menopang ibunya. Rasa mual dan pening dirasakannya tatkala bau darah tercium.

Ditengah keadaan yang darurat seperti ini, ayahnya pergi tak tahu kemana. Ketika ibunya sekarat berjuang melawan penyakitnya sang ayah malah seenaknya dengan seorang wanita muda.

Widona berpikir dialah penyebab dari semua ini. Tak ada yang salah dengan hubungan antara ibu dan ayahnya. Keduanya saling mencintai.

Ketika sang ibu mengandung, yang diharapkan adalah anak perempuan. Namun yang lahir malah sebaliknya.

Kebahagiaan yang ditunggu-tunggu berubah menjadi kekecewaan ketika ekspektasi tak sesuai realita.

Mulai dari situ sikap ayahnya perlahan berubah menjadi dingin tak tersentuh. Setiap hari hanya diisi dengan keheningan, dan itu terus berlanjut hingga rasa bosan mendorong ayahnya untuk berselingkuh.

Rasa sakit hati dikubur ibunya dalam-dalam hingga menjadi penyakit. Kian hari sakitnya terus memburuk sampai merenggut nyawa.

Berulang kali sang ayah berlutut mengemis maaf. Namun Widona hanya diam. Kekecewaan yang dirasakannya tak sebanding dengan sakit yang dipendam ibunya.

Hingga di hari pemakaman, Widona memaafkan ayahnya. Tapi dari situlah sikap dan pandangan widona terhadap dunia berubah drastis.











Tbc

(⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Harsa diakhir Swastamita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang