Tenangnya suasana tak membuat widona senang, hatinya masih merasa murung.
Kata-kata konyol si barista masih terngiang dikepalanya.
Nametag yang bertuliskan nama si barista terlintas dipikirannya, Sadewa. Menyebalkan.
"Nama bagus, kelakuannya kaga."
Gerutu widona. Pria itu merebahkan dirinya kasar.
"Hahh..."
Helaan napas berat terdengar seiring beringasnya ketukan dipintu kamar.
"Widona! Keluar! Kamu budeg apa begimana?!"
Suara nyaring wanita menggema dibalik pintu kayu jati berukir antik.
"Iya sebentar."
Widona bangkit dan berjalan kearah pintu.
"Kenapa?"
Plak!
"Sialan lo anak kurangajar. Ngapain lo dikamar, Menghayal lagi? Kasian ya?"
Sambar seorang wanita cantik 26 tahun, jessica namanya. Ibu tiri widona. Orang kedua yang paling widona benci setelah ayahnya.
"Lo yang kurang ajar biadab."
Widona memegang pipi kirinya. Rasa sakit menjalar hingga kedalam.
"Tau batasan jess. Cuma beda 6 tahun. Jadi yang lebih tua gak memungkinkan lo bebas bersikap kasar.
"Ohya? Mulai hari ini dan seterusnya gue yang bertahta dirumah ini, jangan banyak tingkah. Kalau gak terima silahkan angkat kaki, gak ada yang nahan lo.
Turun sana, masih mending gue kasih makan lo kadal bengkok."
Ucap Jessica sebelum berbalik, ninggalin widona dengan amarah yang coba dipendamnya.
Selesai bersiap widona turun kebawah. Dimeja makan terlihat Damian(38), ayahnya yang tengah makan dengan khidmat.
Widona jalan acuh sebelum suara dingin menginterupsi langkahnya.
"Mau kemana kamu? Biasakan kalau mau keluar makan dulu."
Damian natap widona dari atas sampai bawah, dilihat dari mana pun tampang widona mengingatkannya pada sosok mendiang yang melahirkan anaknya.
"Gak perlu yah, widona bisa makan diluar."
Blam!
Pintu ditutup dengan kuat. Damian hanya bisa menghela napas dan melanjutkan makannya. Ia mengerti akan sifat widona yang seperti itu.
Luka lama yang belum sembuh membuat anaknya menjadi sosok yang dingin. Tidak ada lagi pemuda ceria dengan ekspresi lucunya. Yang ada hanya widona yang dingin dan hampa.
_-_-_
Ditengah hiruk-pikuknya jalanan yang macet. Ditengah ramainya khalayak yang berlalu-lalang.
Didalam sebuah cafe seorang pemuda tengah duduk cantik dengan secangkir coklat menemani.
Mengerjakan tugas selama 4 jam membuat widona merasa bosan.
Dengan gerakan lesu pemuda bersurai tebal bangkit dari duduknya, perlahan berjalan keluar cafe meninggalkan secangkir coklat kosong dan sebuah notebook berwarna hitam.
Widona berjalan tak tentu arah hingga sampai pada sebuah bukit luas dengan rumput hijau sebagai alas, dengan pelan dirinya duduk disana.
Terpaan angin sore menerbangkan rambut kelamnya, dengan perlahan memperlihatkan jidat sang empu.
Terlena dengan pemandangan senja membuat widona tak sadar akan cepatnya waktu berlalu.
Perlahan tapi pasti cahaya oranye berganti dengan sinar bulan yang dingin.
Widona berbaring diatas rumput memandangi bintang kecil diatas sana, tanpa mempedulikan angin malam yang menusuk kulit.
Lamat memandang, samar-samar ingatan masa lalu menyeruak tanpa permisi.
Mengingatkan widona akan kenangan pahit yang seharusnya terkubur dalam.
Air mata turun perlahan membasahi wajah widona. Semakin deras seiring berjalannya skenario kelam dikepala.
"Ahh teringat lagi." Widona menghapus benih asin kemudian bangkit duduk. Membuka totebag kremnya, mencari buku diary kesayangan.
"Dimana sih? Perasaan tadi ada deh." Widona mengerutkan kening, mencoba mengingat kembali.
"Duh ketinggalan!" Widona cepat-cepat bangkit dan berlari sekencang-kencangnya kearah cafe.
Sampainya didepan cafe widona dibuat panik dengan bangunan yang sudah tutup.
Dug! Dug! Dug!
Widona menggedor kaca cafe dengan brutal. "Woy! ada orang didalam?!"
Brak! Brak!
"SIAPA SIH- eh kamu, mau apa datang kesini? Udah tutup dari tadi loh ini."
Seorang pemuda berlesung pipi datang dari arah samping cafe. Tersenyum manis kearah widona.
"Notebook saya ketinggalan."
"Notebook?" Pemuda tadi tampak berpikir sebelum menjentikkan tangannya.
"Yang warna hitam?". Widona menganggukkan kepalanya.
"Ah! Ada didalam. Bentar ku ambilin." Sadewa berbalik masuk kedalam cafe dan berlari kembali membawa notebook hitam.
"Ini kan?" Sadewa nunjukin notebook hitam widona, yang sekali lagi hanya dijawab dengan anggukan.
"Makasih ya." Widona berbalik hendak melangkahkan kakinya pergi sebelum sebuah tangan besar menahannya.
"Em.. boleh minta no kamu?"
Tbc
(≧▽≦)
KAMU SEDANG MEMBACA
Harsa diakhir Swastamita
Roman pour AdolescentsWidona. Seseorang yang tak mengenal apa itu cinta, sebelum bertemu dengan Sadewa. Si pelipur lara.