Bunga

803 97 49
                                    

Raka memulai harinya dengan samgat kesal. Hari ini Om Marda akan pulang dari Australia, dan ia sangat ingin ikut ke bandara untuk menjemput. Ayahnya juga sudah menjanjikan ia akan ikut menjemput. Namun, keinginannya itu ditolak mentah-mentah oleh Ayah dan kedua saudaranya pagi ini karena kondisi tubuhnya yang belum benar-benar membaik sejak kambuh semalam.

Ia hanya bisa menahan rasa kecewa. Padahal ia sudah berusaha keras untuk menunjukkan bahwa kondisinya sudah lebih baik. Hanya saja Ayahnya khawatir ia akan kelelahan dan akan kembali drop.

Saat ini, satu-satunya orang yang ada di rumah bersamanya adalah Bagas yang sedang tidak ada jadwal kuliah. Tapi Bagas tipe yang tidak banyak bicara, ia lebih sering sibuk dengan dunianya sendiri. Sepanjang menemaninya, Bagas sibuk dengan ponselnya di sofa yang ada di kamar adiknya, meninggalkan Raka yang merasa sangat bosan di tempat tidur.

Saat hari sudah menunjukkan pukul delapan, Bagas keluar sebentar lalu masuk dengan sebuah nampan berisi makanan. "Makan dulu Ka," katanya sambil meletakkan nampan di samping ranjang Raka. Ia juga mulai menyiapkan obat obatan yang harus dikonsumsi adiknya.

"Aku gak mau makan kalau gak disuapin," ujar Raka yang masih bergelung dalam selimut. Ia tahu bahwa Bagas bukan tipe orang yang sabar meladeni permintaan seperti itu, tapi entah mengapa ia merasa ingin memancing reaksi dari kakaknya.

Bagas menghela napas. Dia tahu adiknya sedang kesal dan mulai bertingkah, "Makan sendiri, Mas gak mau suapi. Badannya kan udah enakan." tapi Raka hanya diam setelah mendengar itu. Ia tetap menenggelamkan wajahnya, menunjukkan rasa tidak senangnya dengan sangat jelas.

"Kamu mau makan atau enggak?" tanyanya dengan nada sedikit lebih keras. Bagas mulai kehilangan kesabaran. Raka memang sedikit spesial dan harus diperhatikan secara khusus. Tapi Bagas tidak akan memanjakan adiknya secara berlebihan.

Tetap tidak ada respon dari adiknya. Raka mulai menatap nampan di sampingnya, tapi tidak sedikit pun tangannya bergerak untuk mengambil sendok.

Bagas akhirnya menyerah. "Baiklah, kalau kamu nggak mau makan, terserah kamu," katanya sambil mulai beranjak. "Kamu harus makan sendiri kalau memang sanggup. Mas bukan Ayah yang sabar ngemanjai kamu terus terusan. Coba mandiri Ka."

Dengan kata-kata itu, Bagas berjalan keluar dari kamar. Saat ia hendak mengambil rokok dari kantong celananya, ia baru sadar mancisnya tertinggal di dalam kamar saat ia sudah di ambang pintu. Bagas menghela napas, sedikit kesal karena harus kembali. Saat kembali ke kamar, dia melihat Raka masih dalam posisi yang sama, makanan di sampingnya belum tersentuh.

Bagas menatap Raka dengan ekspresi serius. "Kamu mggak bisa terus-terusan begini. Kamu sudah besar, dan harus bisa merawat diri sendiri," katanya dengan tegas. "Kamu tahu, Om Harkan yang dulu punya penyakit sama seperti kamu, nggak pernah minta bantuan orang lain selagi dia sanggup. Dia selalu berusaha sendiri. Ayah sampai merasa bersalah karena Om Harkan gak pernah mengeluhkan apapun."

Raka merasa semakin kesal mendengar itu. Mengapa dia selalu dibandingkan dengan Om Harkan? Dia tahu betul cerita tentang Om Harkan yang sering diceritakan Ayahnya, tentang betapa kuat dan mandirinya Om Harkan meskipun memiliki kondisi yang sama dengan dirinya. Tapi Raka merasa bahwa dirinya tidak bisa disamakan dengan siapapun, bahkan dengan Om Harkan sekalipun. Dia memiliki kehidupannya sendiri, rasa sakitnya sendiri, dan perasaannya sendiri.

Meski merasa kesal, Raka tetap diam. Dia menahan diri untuk tidak mengungkapkan kekesalannya. Dalam hatinya ia merasa seperti tidak pernah cukup baik, tidak pernah bisa memenuhi harapan orang lain.

Melihat Raka yang tetap tak bergeming, Bagas menghela napas lagi. "Maaf kalau Mas bikin kamu kesal," katanya dengan nada lebih lembut. "Mas cuma mau kamu bisa lebih mandiri, kasihan Ayah."

OrigamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang