BAB 27

3 1 0
                                    

Sore itu Ibu membantuku berpakaian, ia memilihkan terusan tanpa lengan sedikit di atas lutut berwarna merah muda yang dipadukan dengan luaran merah marun berlengan panjang. Bisa dibilang penampilanku berbeda daripada biasanya selepas mandi sore. Pakaian yang disiapkan Ibu adalah jenis pakaian yang biasa aku kenakan setiap keluar rumah. Bukan jenis pakaian sehari-hari apalagi sore hari. Sering kali aku memilih langsung memakai piyama agar ketika mau tidur aku tidak perlu ganti baju lagi. Bukan hanya pakaian saja yang dipilihkan sedemikian rupa, tapi rambutku juga dikepang separuh dan ditata rapi ke belakang. Lengkap dengan jepit rambut berhiaskan pita yang senada dengan terusanku. Diam-diam aku memperhatikan Ibu yang sedang serius menyisir ujung-ujung rambutku. Ibu tidak terlihat bersiap-siap, ia masih setia menggunakan baju rumahan yang biasa digunakan sehari-hari. Setelah memastikan penampilanku sempurna, Ibu justru ke dapur dan bukan ke kamar. 

"Anak Ayah udah cantik!" ujar Ayah begitu melihatku sudah rapi di ruang tengah. 

Ayah memelukku seperti biasanya. Tentunya tak lupa ia juga melakukan kegiatan rutinnya setiap pulang kerja. Aku terkikik merasakan badanku melayang dan diangkat semakin tinggi oleh Ayah. Setelah puas terbang dalam waktu singkat Ayah kemudian memangkuku.

"Yaya udah siap?" tanya Ayah.

Sebenarnya aku tidak tahu harusbesiap untuk apa. "Kita mau kemana, Yah?"

Ayah mengelus tatanan rambut hasil karya Ibu. "Mau keluar," jawabnya singkat. "Nanti setelah makan kita berangkat."

"Jadi kita bukan mau makan?"

"Bukan. Kita makan di rumah. Yaya tunggu dulu di sini, Ayah mau mandi."

Aku mengangguk. Sambil menunggu aku melanjutkan membaca Majalah Bobo edisi minggu ini. Cukup lama aku menunggu hingga aku menyadari satu hal, jadwal makan malam kami hari itu lebih awal daripada biasanya. Bukan hanya itu, Ibu juga diam saja sepanjang sesi makan bersama dan yang membuatku heran Ibu masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat membantuku bersiap di kamar.

"Ibu nggak ikut?" tanyaku tak bisa menahan rasa penasaran.

"Hari ini Yaya pergi berdua aja sama Ayah," jawab Ibu, ia berjongkok agar tinggi kami sejajar. Tangannya dengan cekatan merapikan tali yang menjuntai di bagian atas luaranku. "Yaya senang kan akhirnya bisa pergi berdua sama Ayah?" tanya Ibu menggodaku.

Aku hanya meringis. Terkadang aku memang menginginkan bepergian hanya berdua dengan Ayah. Pergi bersama Ibu harus siap dengan banyak aturan yang harus kupatuhi. Namun aku tidak ingin pergi berdua dengan Ayah di malam hari. Nantinya Ibu dan Kandra hanya berdua di rumah sedangkan Kandra masih bayi.

"Kenapa Ibu nggak ikut?"

 "Ibu jaga rumah sama adik."

"Ibu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir.

Ibu tersenyum. "Nanti di sana Yaya nggak boleh nakal. Nurut sama Ayah, ya?"

Meski tak paham apa yang dikatakan Ibu, pada akhirnya aku tetap mengangguk. Malam itu ternyata Ayah membawaku ke sebuah rumah yang kemudian setiap satu minggu sekali rajin kudatangi bersamanya. Sebuah rumah bergaya klasik yang begitu megah, seolah mampu menenggelamkanku yang masih kecil. Aku ingat sekali, begitu turun dari mobil aku menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk mengamati bangunan besar di hadapanku. Siapa sangka bahwa aku akan kembali ke sini setelah dewasa.

Begitu masuk semakin ke dalam, di atas meja sudah tersaji aneka kudapan. Terlihat bahwa penghuni rumah ini sengaja menyiapkan semuanya. Wajar memang, sebelumnya aku sudah mengirim pesan ke Tante Laras tentang kedatanganku dan Ibu hari ini. Lucunya tanpa sadar aku memilih jam kedatangan yang sama seperti dulu. Bertahun-tahun berlalu tidak banyak yang berubah dari rumah ini, penataan meja dan kursi di ruang tamu masih sama seperti dulu. Kursi yang kududuki saat ini pun sama persis seperti dulu. Posisinya juga sama dengan yang sering kujadikan tempat duduk setiap kali datang kemari. Bedanya yang ada di sebelah kiriku bukan lagi Ayah melainkan Ibu.

"Diminum cah ayu."

Seketika aku tersentak dan tersedar kembali setelah terlarut dengan sekelilingku. Ada Tante Laras yang berdiri setengah membungkuk sambil memegang secangkir teh hangat. Ia selalu menyapaku seperti itu tiap kali memberikan makanan atau minuman.

Ibu menyenggol lengan kiriku. "Yaya," panggilnya. Pandangan matanya mengarah pada secangkir teh yang masih dipegang Tante Laras.

Aku menerimanya salah tingkah. "Makasih, Tante," ucapku.

"Tadi kesusahan nggak cari rumahnya? Yaya kan udah lama nggak main ke sini."

"Nggak kok, Tante. Saya masih ingat."

Bagaimana mungkin aku lupa? Aku tidak mungkin bisa lupa. Sejujurnya kata main terasa mengganjal bagiku. Dulu, mungkin aku pernah menganggap kunjunganku dan Ayah kemari bertujuan untuk main seperti yang dikatakan Tante Laras. Bahkan aku pernah begitu menanti-nantikan jadwal mainku. Diam-diam aku pernah sangat mengidolakan Mas Krisna. Aku juga ingin seperti Gani dan Tarissa yang selalu menceritakan berbagai keseruan bersama kakak-kakak mereka.

Saat itu aku tidak tahu rumitnya hubungan diantara kami. Tak jarang aku sering bertanya-tanya alasan Mas Krisna selalu menekuk muka setiap aku datang. Apakah dia kesal karena aku sering menumpahkan makanan atau minuman yang kupegang? Apakah karena aku terlalu kecil untuk dilibatkan ke dalam permainan-permainan yang sering mereka lakukan bersama sepupunya? Apakah karena aku sering kali diam-diam melihatnya ketika berbicara dengan Ayah? Entahlah. Aku tidak tahu. Saat aku akhirnya tahu dan menyadari semuanya, bagiku kedatanganku tidak lebih dari sekedar kewajiban untuk menemani Ayah. Malam ini juga tak jauh berbeda, kalau bukan karena kewajiban pada Ayah, kemungkinan besar aku tidak akan kemari. 

Ibu akhirnya menyerahkan uangnya pada Tante Laras setelah sesi ramah tamah yang kutahu hanya basa-basi semata. Satu hal yang aku salut dari Ibu, di tengah perasaannya yang berkecamuk, ia memilih tidak menceritakan keseluruhan drama yang terjadi. Beberapa kali Tante Laras mencoba memancing Ibu tentang jual-beli rumah Mas Krisna, tapi Ibu berhasil mengatasinya. Ibu dan kami sepakat merahasiakan semuanya dari Mas Krisna demi menjaga nama baik Ayah. Biarlah hanya kami yang tahu uang itu telah terpakai bahkan entah untuk apa. Diakhir, Ibu minta maaf terkait pelunasan yang sempat tertunda karena selama ini aku atau Ibu tidak tahu menahu sejauh mana prosesnya.

"Saya yang berterima kasih. Meski Mas Kandar sudah meninggal, panjenengan dan Yaya mau repot-repot mengurus penjualan rumah Krisna," kata Tante Laras.

"Kami sama sekali tidak merasa direpotkan, Mbak," sahut Ibu.

Suasana menjadi canggung karena tidak ada pembicaraan diantara dua wanita yang kutahu sempat berpelukan dan menangis bersama saat Ayah meninggal. Aku sendiri juga tidak tahu harus memulai obrolan seperti apa agar mencairkan suasana. Selama aku ikut mengunjungi Mas Krisna, aku jarang sekali bersuara. Kalau bukan Ayah atau Tante Laras yang mengajakku bicara lebih dulu, aku hanya akan diam sepanjang sesi kunjungan kami.

 Tentang kedatangan kami malam ini diputuskan oleh Mas Krisna. Sejak awal aku menghubungi Tante Laras, aku tidak pernah mendapat nomor Mas Krisna. Tante Laras memilih menjadi perantara di antara kami. Lewat Tante Laras ia berpesan agar uang itu dititipkan saja. Katanya agar kami tidak perlu repot ke Jakarta, tapi aku tahu pasti bukan itu alasan sebenarnya. Siapapun juga tahu Solo-Jakarta hanya membutuhkan waktu satu jam perjalanan naik pesawat.

Meski begitu, aku sudah menduganya. Sama seperti saat Mas Krisna izin menikah pada Ayah, ia hanya bilang melalui telepon. Waktu itu Ayah meminta Mas Krisna datang ke rumah. Baginya perkara menikah tidak bisa hanya dibicarakan lewat telepon, tapi Mas Krisna kekeuh tidak mau. Ayah menganggap kedatangan Mas Krisna bukan semata-mata untuk Ayah, tapi sekaligus mengabarkan pada Bulik Kentri, Om Gustav, Mas Gusti, Gani, dan saudara yang lain. Mereka sempat bersitegang cukup lama hingga akhirnya Ayah yang mengalah dan menemui Mas Krisna. Kalau bukan karena Ayah meninggal Mas Krisna tidak akan mungkin menginjakkan kaki ke rumah. Jadi lupakan tentang pengalaman bersama kakak seperti Gani dan Tarissa. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi kalau hanya aku yang menganggapnya kakak, sementara dia tidak pernah menganggapku adik.


Catatan:

Panjenengan: Kamu atau anda





BukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang