BAB 10

12 4 0
                                    

Seperti janjiku pada Ibu, aku kembali ke Yogya usai pengajian. Kalau tidak ingat bahwa pekerjaanku memang di Yogya, rasanya Ibu seperti mengusirku secara halus. Di tengah-tengah aku sedang melipat karpet bersama Kandra, Ibu tiba-tiba mengambil alih karpet yang sudah terlipat, menumpuknya menjadi satu, dan meletakkannya di sudut ruangan dengan cepat.

"Besok biar Kirana diantar ke sekolah sama Kandra. Terus kamu berangkat pagi-pagi sama Ibu, nanti Ibu antar ke stasiun," kata Ibu saat itu.

"Iya, Bu," jawabku.

"Kenapa cepat banget balik ke Yogya?" tukas Kirana.

"Aku bakalan lebih tertib pulang seminggu sekali kok," ujarku.

"Oke, deh," sahut Kirana. "Tapi benar, ya? Jangan bohong!" ancam Kirana.

Dulu aku sering membatalkan jadwal pulangku dengan berbagai alasan. Saat masih menjadi mahasiswa, sering kali aku batal pulang karena harus mengurus kegiatan kampus, sedangkan saat aku sudah bekerja alasan sepele seperti kelelahan bisa membuatku batal pulang ke rumah. Awal pekan di Berkawan Cerita selalu ramai pelanggan dari kalangan pekerja dan mahasiswa, begitu juga dengan hari jumat dan sabtu. Ditambah sudah enam bulan, setiap hari minggu kami membuka kelas memasak yang dipimpin langsung oleh Dwita. Karena itu aku jadi aras-arasen setiap mau pulang, padahal sebenarnya waktuku hanya habis untuk nonton, ke toko buku, atau paling sering membereskan kamar kosku.

Seandainya aku bisa lebih tertib pulang ke rumah, mungkin akan lebih banyak kenangan manis dan indah yang akan tercipta. Sayangnya penyesalan memang selalu datang di akhir. Perpisahan ini membuatku sadar betapa berharganya seseorang setelah ia tiada. Meski disetiap pertemuan selalu ada perpisahan, entah kenapa perpisahan selalu saja terasa berat, apalagi untuk seseorang yang berarti dihidup kita. Makanya sekarang aku berusaha menyempatkan video call-an dengan orang rumah. Rutinitas baru ini sekaligus sarana untuk memastikan kondisi Ibu, Kandra, dan Kirana.

"Kenapa kalau pagi ogah-ogahan balas chat-ku sih, Ran?" tanyaku pada Kirana.

"Pagi-pagi tuh masih ngantuk, Mbak. Nyawa belum kumpul tapi Mbak Yaya berisik banget tanya macam-macam," jawab Kirana sembari memasang sheet mask bergambar panda di wajahnya. "Lucu, kan?"

"Kamu ambil sheet mask-ku?"

Dia menepuk-nepuk sisi wajahnya. "Enak aja! Ini punyaku sendiri."

Bukan kali ini Kirana protes tidak mau ditelepon pagi-pagi. Beberapa minggu lalu dia bahkan dengan sengaja menolak panggilanku dan langsung mengirim pesan singkat penuh peringatan: JGN TLP ATAU VIDCALL PAGI2!! Lengkap dengan emotikon yang menggambarkan kemarahan.

"Terus gimana hari ini?"

Kirana mengangkat bahu. "Gitu doang, Mbak. Ribut sedikit setiap mau berangkat sekolah. Pelajaran gitu-gitu aja terus pulang. Nggak ada yang menarik, kayak biasanya."

"Ribut kenapa?"

"Udah sebulan Mas Kandra pulangnya dini hari, apalagi semester ini dia nggak ada kuliah pagi. Setiap pagi susah banget dibangunin, bahkan pernah beberapa kali nggak bangun. Alhasil Ibu sama Mas Kandra ribut masalah siapa yang nganter aku ke sekolah," terang Kirana.

"Kenapa harus ribut? Bukannya kalau pagi kamu berangkat sama Ibu?" tanyaku keheranan. Setahuku setelah Ibu kembali menyetir, ia akan mengambil alih urusan antar jemput Kirana.

Kirana menggeleng. "Nggak, Mbak. Katanya Ibu telat kalau harus antar aku ke sekolah."

"Terus kamu berangkat sekolahnya gimana?"

"Minta tolong Om Gustav atau Mas Gani," jawab Kirana lesu. "Tapi nggak mungkin minta tolong mereka terus-terusan, kan? Jadi aku tarik-tarik Mas Kandra walaupun harus diomeli. Ah! Plus bonus racing setiap pagi biar nggak telat masuk sekolah."

"Sekarang masih harus racing terus sama Mas Kandra?"

"Nggak. Sekarang Mas Kandra lebih pilih nunda tidur sampai selesai antar aku ke sekolah," kata Kirana menjelaskan. "Oh iya, Mbak Yaya waktu itu kenapa tiba-tiba telepon malam-malam?"

Aku tersenyum simpul. "Nggak apa-apa kok. Tiba-tiba pingin telepon aja," jawabku berbohong. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Kirana, apalagi setelah mendengar ceritanya barusan.

Kirana terdiam, dahinya berkerut-kerut. Kebiasaannya setiap kali memikirkan sesuatu. "Kalau Mbak Yaya nggak bisa cerita sama aku, Mbak Yaya bisa cerita sama Mas Gani, Mbak Tarissa, atau Mbak Dwita yang lebih ngerti," kata Kirana dengan sorot mata penuh kekhawatiran.

"Wow! Aku tersentuh nih," ujarku dengan nada yang dibuat-buat.

Kirana berdecak. "Aku serius!" Dia membawa ponselnya lebih dekat. "Kata Mas Kandra mungkin Mbak Yaya nggak nyaman kalau mau cerita sama aku atau Mas Kandra. Jadi terserah Mbak Yaya mau cerita sama siapa, yang penting Mbak Yaya cerita. Jangan disimpan sendiri! Oke?"

Aku hanya mengangkat jempolku. "Umm... katanya foto keluarga kita udah jadi? Mana?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

"Ah, foto! Tunggu! Aku turun dulu." Kirana bergegas turun dari kasur dengan semangat menuju ruang tengah tempat foto keluarga tergantung.

Berkas foto itu masih tersimpan di ponsel Ayah, akhirnya Kandra mengeditnya sedikit dan mencetaknya. Ia sempat mengirim berkas foto yang sudah siap cetak padaku dan berbagai kenangan bersama Ayah terputar dengan sendirinya saat melihat foto keluarga dadakan itu. Kupikir yang lebih menyakitkan dari semua ini bukan perpisahannya tapi kenangannya. Ketika tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan bersama, hanya kenangan satu-satunya yang bisa dingat. Mungkin itu yang mendasari mengapa Kandra suka sekali fotografi.

"Ini namanya mengabadikan momen, Mbak Yaya." katanya setiap kali aku melihat ia mulai berkutat dengan kameranya.

Selama ini ternyata aku jarang sekali foto bersama Ayah. Ia tidak terlalu suka foto atau difoto, dan itu menurun padaku. Sepanjang yang kuingat, aku dan ayah hanya foto pada momen-momen tertentu yang melibatkan banyak orang seperti wisuda, ulang tahun, atau pernikahan saudara, tapi tidak pernah benar-benar foto berdua. Ayah seperti punya firasat bahwa ia akan meninggalkan kami dalam waktu dekat, makanya ia berinisiatif mengajak foto bersama. Bahkan Ayah juga mengajak masing-masing dari kami foto berdua dengannya.

Pernikahan Mas Gusti membuatku punya kenangan yang bisa dilihat sewaktu-waktu. Kalau tidak mungkin momen ketika aku masuk SD menjadi momen terakhir aku dan Ayah foto berdua. Sambil membawa boneka beruang yang berukuran dua kali lipat lebih besar daripada ukuran tubuhku, kami menyempatkan foto sebelum aku berangkat sekolah. Ayah mengenakan kemeja biru muda dan celana bahan berwarna gelap, tangan kirinya menangkup tubuhku yang duduk di pangkuannya, sementara tangan kanannya merentang ke samping dan kami tersenyum melihat ke arah tustel. Selebihnya kenangan kami hanya berlalu begitu saja tanpa pernah mencoba diabadikan dalam bentuk apapun. Selama kami bersama, menghabiskan waktu bersama, semua ternyata berlalu begitu cepat. Aku tidak pernah membayangkan bahwa kebersamaan yang terjalin antara aku dan Ayah berhenti disaat aku belum genap seperempat abad.


Catatan:

Aras-arasen: Malas-malasan


BukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang