Seperti janjiku pada Kirana, aku berusaha lebih tertib pulang satu minggu sekali. Orangtuaku kini hanya tinggal Ibu, aku tidak mau menyesal seperti yang kurasakan setelah Ayah meninggal. Rutin pulang seminggu sekali membuatku menyortir betul barang-barangku di kos. Barang-barang yang tidak penting kubawa kembali ke rumah sedikit demi sedikit setiap jadwal kepulanganku. Alhasil saat pindahan seperti ini tidak banyak yang harus kukemas.
Perabotan kos yang besar sepeti almari, meja, dan kasur kuberikan pada beberapa karyawan Berkawan Cerita yang kebetulan sedang mencari barang bekas dengan kondisi yang masih bagus. Sisa perabotan yang berukuran kecil kutawarkan pada teman-teman kosku. Bagi siapa pun yang membutuhkan bebas untuk mengambil.
"Udah semua kan, Mbak? Nggak ada yang ketinggalan?" Fikri memastikan sebelum menutup bagasi mobilnya.
"Udah, Fik. Makasih ya, udah dibantuin."
"Santai, Mbak," ucap Fikri.
Teman Kandra yang satu ini baiknya bukan main. Begitu dia tahu aku harus segera pindah, lagi-lagi Fikri mendatangiku ke Berkawan Cerita. Dia dengan sukarela menawarkan mobilnya untuk mengangkut barang-barangku. Setelah melihat apa saja yang kukemas, Fikri bilang aku tidak perlu menyewa mobil boks. Bahkan awalnya dia menolak ketika aku ingin mengganti uang bensin.
"Ayo, Fik!" Kandra keluar dari rumah dan sudah berganti kaus.
"Arep ning endi?" Fikri bertanya keheranan.
"Mangan," jawab Kandra singkat.
"Ora usah,Ndra. Tak golek dewe sisan balik."
"Nggak apa-apa, Fik," tukasku.
Setelah memastikan Kandra dan Fikri berangkat, aku bergegas membereskan barang-barang pindahanku. Ternyata Tarissa sudah memulai lebih dulu, bahkan satu kardus sudah terlipat rapi di sudut kamarku. Tak tanggung-tanggung, Tarissa juga sudah menata ke tempatnya. Hanya tersisa satu kardus yang belum dibongkar dan satu koper berisi pakaian. Kardus terakhir yang disisakan berisi buku-buku yang kubeli selama tinggal di Yogya. Tiba-tiba rak di dalam kamarku penuh sesak karena kelebihan muatan. Sepertinya setelah ini aku juga harus memilah buku-buku yang ada di rak.
"Pindah ke kasur, sana!" kataku menggeser badan Tarissa yang malang melintang di lantai.
"Hmm," gumam Tarissa, tapi dia justru menarik guling dari kasurku. "Bilangin Kandra mau ayamnya dua, Ya."
"Tak beliin lima sama minta tambahan daun singkong."
Tarissa seketika bangkit dari tidur-tidur ayamnya dan memukul punggungku keras-keras. "Kebanyakan! Emangnya makanku sebanyak itu?"
"Emangnya nggak?" tandasku.
"Asem!" umpatnya sembari menoyor bahuku.
Tarissa memiliki postur bak model, yang mengherankan dia tidak pernah diet. Porsi makannya bisa dua sampai tiga kali lebih banyak daripada aku bahkan kadang bisa lebih banyak dari Gani. Entah kemana larinya semua makanan itu, sejak dulu sampai sekarang berat badannya tidak banyka berubah.
"Eh, Ya... libur minggu depan mbok aku dibawain menu barunya Berkawan Cerita."
Lihat? Belum apa-apa dia sudah minta dibawakan potato cheese scone.
"Oke," jawabku singkat.
Tiba-tiba aku teringat sosok Sagara, laki-laki yang masih menjadi misteri bagiku. Aku ingat saat itu Sagara memesan potato cheese scone, menu baru yang diminta Tarissa. Bagi orang yang baru pertama kali datang ke Berkawan Cerita, ia cukup berani memesan dua sekaligus. Meskipun aku tahu saat itu ia sempat melihat papan menu rekomendasi, tapi biasanya pelanggan baru cenderung memilih sesuatu yang sudah pasti seperti menu-menu berbahan dasar coklat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buk
Ficção GeralOrang bilang anak perempuan cenderung lebih dekat dengan ibunya tapi bagi Kanaya Adinda, Ibu adalah sosok yang begitu rumit. Hanya Ayah yang mampu memahaminya. Nahas Ayah pergi untuk selamanya tanpa meninggalkan panduan bagi Kanaya agar bisa memaham...