2. Telepon

13 5 2
                                    

Dengan suara debur kecil di toilet, Nina membuka pintu kamar mandi. Gadis itu kembali menatap para pelayan di lantai satu: pemuda berambut ikal tadi, satu pemuda dengan tampanh datar, dan gadis yang masih menatap keluar jendela.

Kalau kakinya melangkah ke anak tangga pertama, gadis itu mempercepat langkah. Saat tangga berbelok, ia baru menoleh ke belakangnya, menatap cermin.

Wajah pemuda berambut ikal itu tersenyum ke arahnya.

Nina menahan napas. Ia kembali berjalan cepat meniti tangga. Ellie menatapnya heran. "Ngos-ngosan gitu kamu?"

"Eh? Nggak." Nina kembali duduk. Ia mengusap wajahnya, jemari menyapu kelopak matanya di balik kacamata, secara tak langsung berupaya untuk menyembunyikan ekspresi terkejutnya.

Bagaimana tidak? Ini hal baru baginya. Bukan, hal yang sudah lama tidak ia rasakan.

Tiap kali ia melihat cermin, hal pertama yang ia lihat adalah wajahnya, kemudian wajah-wajah ganjil di sekelilingnya--sosok yang aneh, kuno, terkadang mengerikan sehingga ia harus berpaling dari cermin.

Namun, ketika maniknya berfokus pada salah satu siluet ganjil itu terlalu lama, ia terhirup. Ia akan menyaksikan apa yang dialami olehnya, merasakan perasaannya, memahami keinginan dan kesulitan yang begitu kusut terjebak di dalam kepala mereka. Terkadang benang kekacauan itu membekas di kepalanya, meninggalkan migrain yang akan ia derita selama dua atau tiga hari.

Baginya, sosok di cermin itu kejutan yang menguji rasa penasarannya--apakah ia akan mendapati kenangan hangat, atau trauma yang menyakitkan.

Namun pemuda itu ....

Nina menyesap tehnya, dahi berkerut. "El," bibir gadis itu masih menjepit sedotan di antara bibirnya, "nanti kapan-kapan nugas di sini aja, yuk?"

Sebelah alis gadis bersurai merah muda itu naik. "Kenapa? Tumben kamu minta gini."

"Aku tadi lihat beberapa menu kuenya di bawah." Bola mata Nina berputar ke atas, mengingat detail yang terlewat selintas. "Ada cheesecake ... apa ya tadi, earl grey? Kayaknya ada unsur tehnya gitu, sih. Aku kepo sama menu-menu lain mereka."

"Ooh, boleh, boleh." Ellie tersenyum simpul. "Kalau mesen sekarang agak sayang, masih ada sandwich--oh, itu dia."

Nina menoleh, mengikuti arah pandangan Ellie. Sosok pemuda tanpa ekspresi membawakan dua piring kecil berisi menu yang mereka pesan. Dengan hati-hati ia meletakkan kedua sandwich itu, menunduk sebentar, lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata.

Ellie menangkup kedua pipinya sendiri. "Aku gak expect daging ayamnya bakal sebesar ini loh, ngalahin ukuran rotinya!"

Gadis berkacamata di hadapannya meraih sandwich itu, merasakan kehangatan masih merambat dari roti yang sudah dipanggang dengan lapisan ayam, selada, tomat, dan beberapa hal yang tak begitu Nina pedulikan asal makanan itu dapat menyumbal rasa laparnya. Tak sabar, ia menggigit sebagian kecil potongan ayam dibalut tepung itu.

"Ah!" Uap kecil mengepul dari bagian yang tergigit. "Panas!"

Ellie terkikik. "Gak sabaran sih kamu."

---

"

Thanks ya Nin udah nemenin maksi hari ini." Ellie mempersilakan Nina turun dari motornya. "Lusa gas lagi, 'kan?"

"Aku ikut aja, sih." Nina melepaskan tali helm yang sahabatnya linjamkan. "Mau nyoba tempat baru atau tempat tadi?"

"Tempat tadi aja. Kamu pengen ketemu cowok tadi lagi, 'kan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Paras nan AmertaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang