BAB 41: Graduation Day

30 5 3
                                    

“Lo gak apa-apa, kan?” tanya Ilesha dengan nada khawatir setelah turun dari motor Harsa.

Harsa membuka kaca visor helmnya, memperlihatkan wajahnya yang masih penuh ketegangan. Ia menggelengkan kepalanya sedikit, menahan rasa sakit yang menyebar di sekujur tubuhnya. “Aku gak apa-apa,” jawabnya, meskipun nyeri di tubuhnya seakan meremukkan setiap sendinya.

Ilesha bernapas lega, meskipun jauh di dalam hati, kekhawatirannya masih membuncah. Ia berusaha menyembunyikan rasa cemasnya, tak ingin menambah beban pada Harsa. “Kalo nanti ada apa-apa sama lo, lo bisa hubungi gue. Waktu itu gue pernah telpon lo buat nanya keberadaan Bentala, lo masih simpan nomor gue, kan? Lo bisa hubungi gue lewat nomor itu, kalo terjadi apa-apa biar gue yang tanggung.”

Harsa terkekeh pelan, menyadari bahwa di balik kata-kata Ilesha terselip kekhawatiran yang tulus. “Kaya yang punya banyak duit aja,” katanya dengan senyum tipis. “Udah gih, masuk. Pipi kamu luka,” lanjutnya lembut sambil mengusap darah yang mengering di pipi Ilesha dengan ibu jarinya, sentuhannya membuat Ilesha tersentak kecil. "Obatin biar lukanya cepet kering."

“I-iya,” sahut Ilesha, gugup. “Ma-makasih banyak udah tolongin gue,” lanjutnya terbata-bata, sebelum dengan cepat melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Harsa memperhatikan Ilesha hingga ia benar-benar masuk ke dalam rumah dengan aman. Setelah itu, ia kembali menyalakan mesin motornya. Namun, sebelum pergi, ia menyempatkan diri menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan bahwa laki-laki ber-hoodie tadi tidak mengikutinya. Baru setelah merasa yakin, ia melaju, meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang campur aduk antara lega dan khawatir takut laki-laki itu kembali menyerang Ilesha.

•••🦋•••

Masih pagi buta, Ilesha menatap dirinya dalam pantulan cermin di kamarnya. Wajahnya sudah dihiasi make-up wisuda; untungnya, luka di pipinya tidak terlalu parah dan bisa tertutupi dengan lapisan make-up yang lebih tebal.

Ilesha menoleh saat pintu kamarnya terbuka lebar, memperlihatkan sosok wanita tua yang perlahan menghampirinya.

"Beneran mau ikut wisuda? Luka di pipi kamu gimana, masih sakit?" tanya Gita, suaranya penuh kekhawatiran. Ia juga merasa bersalah atas perintahnya yang menyuruh putrinya untuk keluar malam hanya untuk membeli kebutuhan di dapur. "Maafin mama, sayang."

Tangannya perlahan membuka sedikit kebaya lengan panjang yang dikenakan Ilesha, memeriksa luka di tangan putrinya. Luka itu terlihat cukup parah, dan Gita tahu jika tidak segera diobati, luka itu mungkin tak akan mengering dengan cepat. Untungnya pada malam itu Gita langsung gesit mengobati luka Ilesha.

Ilesha menarik tangannya perlahan, lalu kembali merapikan baju kebayanya yang sempat disentuh oleh mamanya. "Gak papa, Ma. Kalau aku gak ikut, aku bakal rugi dan pasti nyesel nanti," jawab Ilesha, menampilkan senyum manis untuk menenangkan ibunya.

Gita menghela napas, kekhawatiran masih terlihat di wajahnya. "Tapi gimana sama keadaan temen kamu? Dia kan satu angkatan sama kamu. Apa dia bakal ikut wisuda juga?" tanyanya, membuat Ilesha semakin cemas.

Sejak tadi, Ilesha memang memikirkan hal itu. Ia takut Harsa kenapa-kenapa, apalagi cowok itu belum juga mengabarinya atau sekadar memberi tahu kondisinya.

"Aku gak tahu, Ma," jawab Ilesha, menggeleng pelan.

"Lebih baik kamu tanya keadaannya sekarang," saran Gita lembut. "Mama keluar dulu, mau siap-siap," lanjutnya sambil melangkah keluar kamar. Namun sebelum menutup pintu, Gita kembali bersuara, "Berangkat bareng Papa atau sama Bentala?"

"Bentala, Ma," jawab Ilesha, suaranya sedikit tergesa. Setelah itu, pintu ditutup rapat.

Ilesha menghela napas panjang, lalu mengambil ponsel yang terletak di atas kasur. Ia berniat menghubungi Harsa, sekadar menanyakan kondisinya. Bagaimanapun, Harsa adalah orang yang telah menyelamatkannya dari kejadian buruk semalam.

The Ephemeral (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang