[08] Die or Die

5 2 0
                                    

"Apa maksudmu Cecil?" bentak Hadwin tidak terima karena pecahan Ashlar yang masuk ke dalam tubuhnya tanpa persetujuan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa maksudmu Cecil?" bentak Hadwin tidak terima karena pecahan Ashlar yang masuk ke dalam tubuhnya tanpa persetujuan. Tepat saat itu, sihir Hadwin terpecah. Ular itu ganti menatap Cecil dan berdesis.

"Sebuah pemancar," jawab Cecil enteng. "Kalian tahu ke mana harus bergerak."

Tidak menunggu waktu lama, ular itu kembalimenyerang. Tubuhnya meliuk-liuk, mulutnya kembali terbuka dan detik selanjutnya sontak menembakkan bisa panas itu lagi. Tidak hanya satu tapi semburan penuh.

Anehnya, tubuh mereka berempat jadi bergerak lebih luwes, seolah tanpa sadar tubuh mereka memprediksi ke mana serangan itu akan mendarat.

"Kita perlu membuat tempat ini memiliki suhu yang sama dengan air danau itu," ujar Cecil di tengah pergulatan menghindari serangan ular itu yang tidak kunjung berhenti.

"Apakah itu arti dari 'burn this place' tadi?" Sean balas berteriak.

"Bukankah itu sama dengan bunuh diri?" Ela menggunakan gundukan batu sebagai perisai. Meskpi pun akan akan hancur di detik berikutnya.

"Kita tidak bisa melawannya, ini satu-satunya cara." Cecil menarik napas panjang, sontak dua belatinya terselimuti api.

Cedric, Sean dan Hadwin bersama-sama membuat api yang besar. Meskipun dianggap gila, mereka tetap melakukannya. Ela berjaga-jaga di belakang dengan sikap awas. Udara panas saat ini saja membuat mereka cukup kewalahan tapi mereka malah membakar neraka?

Api berkobar hebat. Meluap-luap di sekeliling mereka. Percikan api saling bertabrakan. Batu-batu terbakar. Tubuh mereka terasa akan meleleh. Serangan ular itu malah membantu. Menghindari ular dan membakar neraka secara bersamaan. Jika ada satu-satunya yang membuat mereka masih berdiri maka itu adalah kegilaan.

Cedric ambruk terlebih dahulu. Lebam dan luka bakar mengusai tubuhnya. Satu tangan Sean bergerak, menciptakan pelindung yang melingkupi tubuh masing-masing temannya. Sedang satu tangan yang lain membuat api semakin berkobar.

Napas keempat orang itu memburu, mata mereka memantulkan api yang tidak akan pernah padam.Lantas ketika sudah sampai batasnya, danau itu bergejolak hebat.Detik berikutnya, melesat sebuah anak panah api.

Mereka berlima teramangu, menatap panah api yang mengambang di udara. Membuat fatamorgana yang meliuk-liuk.

"Sekarang!" Cecil berteriak.

Hadwin melesat. Ular itu pun mengejarnya. Sean mengernyit, tangannya terkepal erat, menciptakan pelindung yang lebih kuat pada Hadwin. Namun, dalam satu kali sabetan ular itu menghancurkannya. Detik selanjutnya semua terjadi secara cepat, sebuah bola ungu bersinar terang, membutakan pandangan dan menetralkan udara secara tiba-tiba. Api neraka seolah padam sesaat lantas mereka mendadak merasakan tarikan kuat yang kembali menyedot mereka. Cecil, Ela, Sean dan Cedric kembali terombang-ambing di udara. Merasakan déjà vu seperti saat kedatangan pertama mereka di Dominion Gehennomias. Perlahan udara panas mulai menghilang sepenuhnya menghilang. Cahaya terang nan hangat mulai mengaliri tubuh mereka yang melemas.

Mereka berempat mengembuskan napas lega saat melihat matahari yang bersinar di langit biru. Tangan Ela bergerak lemah, menyapu daratan berumput tempatnya mendarat. Merasakan kedamaian yang begitu dirindukan. Cecil menutup matanya dengan sebelah tangan, bahunya naik turun dengan cepat, seolah berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya. Sean dan Cedric berusaha keras melawan silau yang menusuk mata. Namun, wajah mereka semua tersenyum lega.

"Hei!" bentakan Hadwin membuat mereka tersentak. "Bukan waktunya untuk pingsan sekarang!"

Dentingan pedang masuk ke indra pendengaran Sean, refleks laki-laki itu kembali menciptakan kubah pelindung. Kesadaran sepenuhnya kembali. Ia bangkit dengan setengah melompat dan seketika matanya melebar syok.

Untuk saat ini, menit ini dan detik ini, Sean akhirnya mengakui jika ramalan itu nyata. Apa yang terjadi di depanny, ia bahkan masih menyangsikannya beberapa saat lalu. Namun, suara dentingan pedang, teriakan kemarahan, tangis pilu ini tidak mungkin hanya ilusi. Jika iya, hanya berarti otaknya sudah terbakar di Gehennomias. Setidaknya ia berharap seperti itu.

Darah dua ras tertumpah, mayat bergelimpangan. Rumput hijau ternodai oleh warna merah darah. Bagian-bagian tubuh terpencar di segala arah.

"Ini ...," suaranya mendadak tercekat. Sean menelan ludahnya kuat-kuat. Dalam otaknya masih berusaha menampik. "Ini tidak mungkin."

Ela memekik dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Air matanya berlinang. Cecil berusaha bangkit dengan kedua kaki gemetar. Ela menangkap gadis itu yang akan terjatuh lagi. Cecil langsung menolaknya dengan halus dan berdiri tegak, mengembuskan napas berat karena rasa sakit yang mematikan indranya.

"Aku harus pergi. Kalian tangani sisanya," ujar Hadwin. Sebuah panah api melayang dalam genggamannya. Artefak Bintang Sagitarius. Detik berikutnya a menghilang.

"Hei, Mata Aneh." Cedric berkata dengan suara parau. "Lepaskan pelindung ini."

Mereka sudah tidak bisa mundur. Tidak, bahkan kata itu sudah terhapus dari kamus mereka sejak lama. Sejak mereka setuju untuk menyelesaikan ini bersama. Untuk kembali bersama ke Zodiac Academy. Keempat orang itu berdiri dengan tangan terkepal erat, memegang senjata masing-masing.

"Maaf, teman-teman." Cecil melepaskan eye patch-nya, kedua matanya berkilat. "Pertarungan tidak berakhir di Dominion itu. Bertahanlah sebentar lagi."

Cedric mendengkus dan menyeringai kecil. Tulang-tulang tengkorak bertebangan di sekitarnya, lengkap dengan mata merah menyala. "Aku tidak pernah keberatan. Mungkin Sean yang mulai lelah."

"Aku tidak mengucapkan apa pun," timpal Sean. Senjata itu muncul kembali, sebuah pelindung tipis nan tajam yang menyelimuti tangannya. Tidak sedetik pun ketenangan menghilang dari wajahnya.

"Jangan sombong!" seru Ela. Bola-bola pink melayang di kedua tangannya, lantas ia melempar itu pada ketiga temannya. "Kalian bahkan tidak bisa bertahan tanpaku."

Pelindung Sean terbuka. Tulang-tulang Cedric bergerak dengan liar, menusuk jantung setiap manusia yang terdeteksi olehnya. Cecil dan Sean melompat, menerjang di antara pertarungan, menebas setiap dengan helm besi. Api neraka masih menyala-nyala dalam hati mereka. Mengikuti hingga ke daratan. Penuh kemurkaan atas darah ras Wizra yang tertumpah. Tidak ada lagi belas kasih. Tidak ada lagi empati. Mereka sudah membutakan mata. Menulikan pendengaran dan mematikan segala indra.

Ini adalah perang.

Ini adalah perang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gehennomias: The Dark HorseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang