02. Job Vacancy

481 103 9
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Netra indahmu yang meneduhkan terus mengedar ke segala arah, mencari lembaran kertas berisi lowongan pekerjaan yang menempel pada bangunan-bangunan di sekitar.

Sesuai yang dirimu bicarakan dengan Youko tadi, kini kamu tengah mencari lowongan pekerjaan. Irismu melirik satu persatu bangunan, berharap ada pengumuman lowongan kerja yang tertempel di sana, tetapi tidak kamu temukan sehingga membuatmu menghela napas panjang.

Walau begitu kamu tidak akan patah semangat.

Siang itu, matahari seakan menjadi penguasa tunggal di langit, menyinari setiap sudut kota dengan kejamnya. Tidak ada awan yang bersedia memberi naungan sehingga tak ada bayang-bayang panjang yang bisa menjadi tempat berlindung dari sengatannya.

Kamu berjalan di antara deretan bangunan yang menjulang, membaur dalam kerumunan orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, tidak seperti mereka, kamu melangkah tanpa arah pasti serta tanpa tujuan yang jelas selain mencari pekerjaan.

Dahaga mulai menyerang tenggorokanmu. Kamu menelusuri jalan demi jalan, menengok ke kiri dan kanan, memindai setiap sudut dengan harapan menemukan secarik kertas yang memuat pengumuman lowongan pekerjaan.

Setiap langkah yang kamu ambil terasa lebih berat daripada yang sebelumnya, seolah bebannya bertambah seiring dengan panas yang membakar kulitmu. Kemeja yang kamu kenakan sudah basah oleh keringat, menempel lengket di punggungmu, dan meskipun kamu berusaha mengabaikannya, ketidaknyamanan itu semakin terasa seiring waktu berlalu.

Kamu berhenti sejenak di depan toko perabotan rumah tangga. Di dinding kacanya ada beberapa selebaran, tapi isinya tidak menjanjikan apa-apa untukmu. Syaratnya terlalu berat-lulusan universitas, minimal pengalaman tiga tahun, bisa mengoperasikan perangkat lunak yang bahkan belum pernah dirimu dengar.

Kamu menelan kekecewaan itu dalam diam dan melanjutkan langkahmu lagi meski setiap bangunan yang dirimu lewati seakan memberi harapan palsu.

Wajah-wajah orang yang berlalu-lalang di sekitarmu begitu asing. Mereka berjalan dengan cepat, menatap layar ponsel atau berbicara di telepon, terlihat sibuk dan penting. Mereka tampaknya tahu ke mana mereka pergi, sementara kamu merasa seperti kapal yang kehilangan arah di tengah lautan luas.

Ada perasaan yang aneh seolah kamu tidak benar-benar berada di dunia yang sama dengan mereka. Dunia mereka tampak penuh dengan kesempatan, sedangkan duniamu terasa sempit karena dipenuhi oleh tembok yang tidak bisa kamu tembus.

Langit di atas seolah semakin menekan, sinar matahari yang mencorong tanpa ampun hanya menambah beban di kedua pundakmu. Kamu merasa terasing, kecil, dan tidak penting di antara lautan manusia yang sibuk ini. Mereka melanjutkan hidup, sementara kamu seperti terjebak dalam siklus kegagalan yang seolah tidak ada akhirnya.

Sesekali kamu berhenti, menatap lebih lama pada beberapa toko yang tampaknya sederhana-barangkali, mereka tidak akan seketat kantor-kantor besar. Namun harapan itu pupus setiap kali. Entah karena papan pengumuman tersebut sudah diisi oleh orang lain, atau syarat-syaratnya masih terlalu tinggi.

𝗦𝗔𝗟𝗩𝗔𝗧𝗢𝗥𝗘 || 𝐈𝐭𝐨𝐬𝐡𝐢 𝐑𝐢𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang