BAB 1 : Tentang Atlantik

119 78 413
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Assalamu'alaikum wr.wb.

⚠Kata kasar tidak untuk ditiru.

[𝓢𝓮𝓵𝓪𝓶𝓪𝓽 𝓜𝓮𝓶𝓫𝓪𝓬𝓪]


Akan kuceritakan sebuah dongeng tentang rasa sakit dan kebahagiaan yang mengalir dalam sebuah kehidupan.

Pada dasarnya aku ada, di alam cerita yang tak tentu akan alurnya. Lalu kita bersapa di titik masa sebuah irama tanpa nada.

Akan kubuka awal sepenggal lembar dengan segelintir teka-teki, tolong jadilah saksi bagaimana kisahku akan terlalui.

~Selat Atlantik~

__________

*

*

*

Pria muda yang tampan rupawan kala itu tengah mengaduk kopi hitam pahit di ruangan dapur minimalis. Lelaki itu baru saja menduduki bangku SMA, tetapi luka lebam di wajahnya seakan hampir setiap hari terlukiskan di wajah tampan blasteran campuran Belanda-Amerika-Jawa itu.

Luka di wajahnya bahkan belum ia obati, tapi entah mengapa dirinya lebih memilih untuk membuat kopi. Meminum kopi sudah menjadi rutinitasnya sejak dua tahun yang lalu, tepatnya saat dirinya duduk di bangku kelas delapan.

Sesaat setelah kopinya siap minum, ia keluar dari dapur lalu menuju halaman belakang. Tempat di mana ia menenangkan diri kala pikirannya tengah kacau. Paviliun yang menjadi tempatnya singgah kali ini. Tempat dirinya berkumpul bersama teman-temannya. Saat temannya berkumpul di ruang utama, ia lebih memilih menyendiri. Temannya tau bahwa dirinya membutuhkan waktu untuk sendiri.

Tanpa ada yang mengganggu.

Lelaki remaja berumur delapan belas tahun itu bernama Rotasi Selat Atlantik, atau yang akrab disapa Atlan. Nama yang tidak terlalu familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Meski terlahir dari rahim wanita Amerika dan ayah yang merupakan keturunan Belanda, namun orang tua Atlantik lebih memilih nama yang terbilang lokal tapi unik untuknya. Atlantik adalah anak dari seorang pengusaha sukses, serta pemilik beberapa sekolah swasta yang didirikan oleh kakek buyutnya.

Atlantik menatap langit malam yang mulai nampak gelap, tanpa bintang dan juga bulan. Sambil menatap ke arah langit, Atlantik menyeruput kopi pahit yang telah ia buat. Pahit. Tentu saja itulah yang lidahnya rasakan. Namun, pahitnya kopi itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pahitnya sebuah  kehidupan yang telah dirasakannya.

Masa remaja mungkin memanglah menjadi masa yang takkan terlupa. Masa dimana waktu-waktu indah bersama teman menjadi penghabisan waktu menuju dewasa.

Namun, hal itu tidaklah sepenuhnya benar. Karena pada kenyataannya, tidak semua remaja itu bahagia. Sebagian remaja bahkan sudah merasakan sebuah pahitnya kehidupan. Umur muda tidak menjamin bahwa pikiran belum dewasa. Karena umur tidak menjadi patokan bahwa seseorang bisa diputuskan menjadi dewasa dengan hanya melihat umur itu sudah berangka banyak ataukah belum.

Atlantik salah satunya. Lelaki itu merasa matanya sudah sangat berembun kali ini. Luka yang ia dapatkan hari ini, bukan luka fisik yang terasa sakit, melainkan luka hati yang tak mudah untuk diobati.

"Ai, aku kangen sama kamu. Kamu apa kabar? Aku mau kamu balik ... tolong kembali." Pertama kali setelah tiga tahun lamanya, Atlantik menangisi seseorang yang sudah lama tidak dirinya tangisi setelah kepergiannya. Kali ini Atlantik benar-benar sangat merindukannya. Sangat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Selat Atlantik (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang