Sudah berlalu tiga hari sejak Sephia menginap di rumah sakit. Hari-hari nya hanya menonton TV dan melamun entah memikirkan apa. Satu kata tertanam dalam hatinya; bosan.
Kini ia duduk di ranjang tempatnya tidur beberapa hari ini. Menunggu sang mate datang kemari sambil bermain ponsel yang diambilkan kakaknya kemarin.
Telunjuknya bergulir di atas layar melihat-lihat banyaknya pesan yang dikirimkan padanya. Mereka bertanya, khawatir akan ia yang tak kunjung datang ke sekolah. Ternyata, banyak yang peduli akan dirinya, entah benar-benar peduli atau hanya sekedar formalitas.
Tentu bukan hanya teks yang berisi doa agar ia segera diberi kesembuhan, tapi ada juga yang dengan gamblang mengatakan bahwa mereka menunggu kabar kematian.
Tidak apa, itulah resiko yang harus Sephia lalui. Ia memilih untuk melebur ke banyak dunia orang lain. Tentu bukan hanya tatapan hangat ia dapat, tapi juga tatapan sinis mengandung kebencian. Bukan berarti ia melakukan kesalahan, ia hanya menyuruh mereka yang bercerita untuk semangat.
Sephia selalu menjadi pendengar, pendengar yang tidak pernah di dengar.
Terkadang ia lelah. Mereka datang dengan sendirinya, seenaknya bagi derita mereka padanya. Terlalu banyak, emosi negatif mereka buat Sephia makin merasa penuh.
Mungkin terkadang ia sedikit bercerita tentangnya yang kerap alami pelecehan pada dua teman omega nya. Dan hanya sebatas itu, awalnya Sephia tidak ingin mereka tau, tapi siapa yang tau permainan takdir, mereka berdua malah yang selamatkan Sephia dari pria tua yang dikuasai nafsu.
Dunia seakan memaksa nya untuk tidak bercerita tentang derita, sebab ia sendiri tau, bagaimana sulitnya jadi pendengar.
Dari situlah Sephia tanamkan pada diri sendiri untuk tidak terlalu bagi isi hatinya. Tidak pantas dihakimi, ia sadar setiap orang memiliki porsi sakitnya masing-masing.
Tapi, Sephia tidak sadar jika ia juga sakit. Ia terlalu tidak acuh pada dirinya sendiri hanya untuk memikirkan bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah orang lain. Terlalu tidak acuh hingga tidak sadar jika apa yang dilakukan sang ayah lah yang mendasarinya untuk menjalani hari.
Jalani hari penuh palsu, siap pasang tubuh sampai ia terikut merapuh, buatnya semakin jatuh dalam sendu.
Sedari tadi tak hentinya ia baca pesan berisi sumpah serapah yang menyumpahi nya untuk mati. Bahkan sempat terlintas dalam benaknya; apakah lebih baik aku mati saja?
Cklek!
Suara pintu berderak, tampilkan remaja tampan dengan kacamata bertengger di hidungnya.
Ah, hampir saja terlupa. Arshan, sosok yang buat Sephia bertahan. Hadirnya sosok itu bagai petasan. Awalnya buatnya terkejut namun semakin lama berhasil buat Sephia nyaman. Bukan perihal tampang, tapi tentang bagaimana cara Arshan yang berusaha buatnya merasa diperhatikan, meski ia tidak menolak jika tampang Arshan begitu enak dipandang.
Arshan berjalan ke hadapan Sephia yang mengarah ke jendela. Ia sedikit bingung dengan tatapan Sephia yang terlampau begitu dalam.
"Shai, everything's okay?" khawatir, Arshan putuskan untuk bertanya.
Yang ditanya hanya mengangguk, masih menatap Arshan penuh arti.
"Tapi kenapa natap nya gitu banget? Jatuh cinta ya?"
Mendengar itu Sephia hampir terserah saliva nya sendiri. Terlalu blak-blakan, buat pikirannya berantakan. Meski itu benar, tapi ia tidak mau ungkap sekarang.
"Mungkin?" jawab Sephia, ukir senyum jahil di bibirnya.
Di sisi Arshan tak jauh berbeda. Padahal niat awal Arshan adalah untuk menggoda Shai-nya, tapi malah ia sendiri yang merasa digantungkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alpha Belongs To Me (re upload)
Fiksi PenggemarEnigma itu begitu langka, bahkan dianggap mitos semata. Sephia, alpha yang sudah muak dengan hidupnya menemukan mate nya yang ternyata adalah si mitos, Enigma. Berhubungan dengan Enigma, apakah hidupnya akan seribu kali lipat lebih baik atau malah A...