01

88 17 17
                                    

"Sekian dari saya, ada yang ingin ditanyakan?" Kirana, selaku guru fisika yang hendak menyudahi sesi mengajar, bertanya pada murid-muridnya. Barang kali ada penjelasannya yang kurang jelas atau ada materi yang kurang dimengerti.

Kirana melirik jam tangannya, memperlihatkan pukul lima belas lewat empat puluh lima menit. Jadwal mengajarnya masih ada sekitar lima belas menit lagi. Tapi dia memang sengaja menyelesaikan aktivitas mengajarnya lima belas menit lebih awal.

Untuk melakukan sesi tanya jawab.

Satu ruangan sunyi. Tidak ada yang membuka mulut atau pun menimpali. Jam-jam menuju pulang memang saat yang paling memberatkan mata. Sudahlah bikin ngantuk, eh pelajarannya malah fisika. Gimana murid-murid di sana nggak tersiksa?

Kilat-kilat petir menunjukkan atensinya. Lewat jendela, sambaran petir itu bisa terlihat dengan jelas. Mereka muncul, saling susul menyusul. Diikuti pula dengan lantangnya bunyi guntur. Awan-awan kelabu mulai mendominasi. Tak nampak lagi adanya presensi sang mentari.

Angin-angin berhembus kencang, menerobos masuk lewat ventilasi di atas jendela, menjadikan dingin menguasa.

Dingin-dingin begini, alih-alih bertanya perihal soal fisika, bukannya suasana ini sangat mendukung untuk bermalas-malasan? Semua orang di sana setuju kalau saat cuaca begini, enaknya tuh selimutan, sembari ditemani nyanyian merdunya rintik hujan.

Karena tak kunjung diberi jawaban, Kirana dengan tegas mengumumkan. "Kalau tidak ada yang bertanya, maka saya yang akan bertanya."

Para murid tersentak, mereka lantas heboh sejenak. Pura-pura sibuk, pura-pura berpikir, supaya sasaran pertanyaan tidak jatuh pada mereka.

Salah satu anak laki-laki di pojok kelas mengangkat tangan, hendak memberikan pertanyaan. "Bu Kirana! Ibu udah punya pacar belum?"

Anak itu memecah keributan, menciptakan hening sesaat. Dan setelahnya, pertanyaan-pertanyaam sejenis mulai melayang di udara.

"Bu kira, bu kira. Nama instagramnya apa?" Anak laki-laki lainnya ikut bersuara.

"Ibu, emang betul, kalau ibu pacaran dengan Pak Kaizo?" Anak perempuan bandar gosip yang berita-beritanya selalu panas membara juga bertanya.

Kirana menepuk jidat. "Kalau mau tanya, kasih pertanyaan yang betul. Pertanyaan yang berhubungan dengan materi." Kirana kembali duduk di meja, mulai membereskan buku-buku dan peralatan bekas mengajarnya. "Dan kamu, Blaze. Jangan mengajak teman-temanmu berbuat tidak sopan. Sekali lagi Ibu lihat kamu begini, awas saja." Kirana menegur.

Blaze menanggapinya dengan cengiran.

"Yasudah, Ibu sudahi saja pelajaran hari ini. Kalian baru boleh pulang ketika bel sudah berbunyi ya." Kirana menenteng tasnya, bersiap keluar kelas. "Nanti langsung pulang loh, jangan keluyuran." Kirana menasehati.

Sepeninggalan Kirana, kelas itu lekas diisi dengan riuhnya suasana. Masing-masing anak melakukan aktivitasnya. Mengobrol, bercanda ria, dan bertukar tawa.

Di antara bisingnya ruangan, Solar malah diam membisu. Solar merasa ia sudah gila. Dalam artian benar-benar gila. Solar anggap, ia akan lebih nyaman berada di rumah sakit jiwa dari pada di dalam kelasnya. Solar mau pulang. Solar mau pindah kelas. Eh, tapi walau Solar pindah kelas, sepertinya keamanannya pun masih belum terjamin. Yasudah, SOLAR MAU PINDAH SEKOLAH! Pokoknya ia mau pindah. Kemana pun boleh. Siapapun, TOLONG BAWA IA PERGI DARI SINI!

"Solar solar." Pendengaran Solar tidak bermasalah. Solar tau ada yang memanggilnya dari meja sebelah. Tapi Solar acuh, pura-pura tak dengar, enggan menengok.

"Sooolarr, Solar!" Tak lelah diabaikan, sosok itu bersuara lagi, tidak menyerah menarik atensi Si anak penikmat buku.

Mulai kesal, sosok itu hendak memanggilnya lagi. Kali ini dengan volume maksimal. "SOL-"

"BERISIK! Jangan ganggu aku (Name)!" Solar membentak.

(Name) kesal, Solar pun kesal. Kalau saja (Name) tidak sabaran, ia pasti sudah mengajak Solar adu bacot. Sayangnya (Name) memilih untuk mengalah. Mencoba sabar. Lagi pula ini juga salahnya. Dia duluan yang mengganggu ketenangan Solar. Padahal niatnya bukan ingin mengganggu. Sungguh. (Name) berani bersumpah.

"Solar, sekali-kali, boleh lah dicoba salad sayurku. Padahal sudah sengaja kusisakan satu untukmu loh." (Name) cemberut, garis bibirnya melengkung ke bawah. Entah sudah berapa lama ia menawarkan salad sayurnya pada Solar, namun tak satupun tawarannya diladeni dengan baik.

(Name) sesungguhnya bingung. Dari sekian banyaknya makanan yang bisa dibenci, mengapa Solar harus membenci sayur? Sayur loh. Sayur! Bukan salah satu dari berbagai jenis sayur, melainkan secara keseluruhan. Solar benci sayur. Dan (Name) tidak pernah mengerti apa alasannya.

Di rumah, Ayahnya tidak suka makan durian, tapi (Name) bisa mengerti. Durian itu baunya menyengat, bagi beberapa orang, itu cukup mengganggu. Tapi Ayahnya hanya tidak menyukai salah satu jenis buah. Bukan tidak suka buah. Ayahnya suka-suka saja tuh makan apel, kadang-kadang rambutan, pepaya, mangga, pisang, jambu. Bahkan keluarga kecil itu juga punya satu pohon jambu di belakang rumahnya. Tapi kenapa Solar tidak? Kenapa Solar benci makan sayur? Solar tidak mau makan sayur meskipun itu hanya berupa potongan seledri. Itu fenomena aneh. (Name) bisa mengerti kalau Solar cuma tidak suka salah satu jenis sayurnya, anggaplah, brokoli, atau bayam, kangkung, wortel, labu siam. Tapi tidak! Solar benar-benar membenci semuanya. Dan bagi (Name), itu sangat mengganjal hati.

"Ayolah Solar, satu suap saja! Tidakkah kamu penasaran akan rasa salad sayur yang paling paling paling enak di dunia?" (Name) mengerucutkan bibir, matanya memelas. Cara ini biasanya selalu ampuh untuk membujuk Ayahnya.

Solar memandangnya sejenak. "Tidak." Putusnya. Matanya lekas terfokus kembali pada buku.

"AAAAAAA." (Name) mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Ia berteriak frustasi. "KENAPA TUHAN, KENAPAAA?! Kenapa di dunia ini bisa ada orang yang membenci sayur?!" (Name) berlutut di lantai putih berdebu di belakang kelas. Kini dunianya terasa gelap, menyisakan lampu sorot yang menyorotnya terang di tengah kegelapan, menjadikannya pusat perhatian. "Ini mustahil ... dunia akan berakhir ... dunia ... tidak akan ... lama lagi ... " Lirihnya mendramatisasi keadaan.

Solar berusaha menjaga ketenangannya. Mecoba mempertahankan kewarasan. Solar memejamkan mata, dan melakukan metode lima lima lima. Lima detik menarik napas, lima detik menahan napas, dan lima detik menghembuskan napas.

Klik klik klik

Satu-satunya lampu di ruang kelas mendadak mati menyala. Solar menatap nanar ke arah saklar lampu di depan kelas, di samping papan tulis. Matanya menangkap Blaze, penyebab utama lampu led di atas mendadak berubah menjadi lampu disko.

Solar memijit kening. Gangguan satu belum selesai, gangguan lainnya malah ikut muncul.

"Aduh, Solar! Hatiku saaakitt. Aku harus apa Solar? Apa yang harus kulakukan agar kamu mau memakan salad buatanku?" (Name) merangkak meraih meja Solar. (Name) tidak bangkit, ia masih setia berlutut, namun kini tangannya tergeletak bebas di atas meja Solar. (Name) bertopang wajah, berharap pria dihadapannya mau membalas tatapannya.

Klik klik klik!

Blaze masih setia memainkan saklar lampu. Akibatnya, mata solar menjadi pening. Solar pusing. Pusing tujuh keliling. Ingin rasanya ia menjual Blaze dan (Name) ke pasar loak terpencil di pinggir kota.

"Hishh Solarr! Ayo jawaaab!" (Name) menuntut.

Solar kesal, semua teman sekelasnya kayak anjing. Ia spontan berdiri, menggebrak meja. "Baiklah baiklah! Buatkan aku salad sayur tanpa sayur. Kalau kamu berhasil, akan kumakan salad itu satu bulan penuh!"

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sayur Sehat, Solar Sekarat || Solar x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang