1. Permohonan

89 17 0
                                    

Orang bilang, ia adalah anak paling beruntung sedunia. Jungkook merasa, ia dilahirkan justru bersama kemalangan dan juga rasa iba yang tiada habisnya.

Ayahnya adalah orang hebat. Pelukis surealisme terkenal yang karyanya diperebutkan kolektor seni dari banyak negara. Meski Jungkook tidak tahu ia beruntung dari segi mananya-karena ia bahkan tidak mengerti apa-apa tentang memadu padankan cat air pada kanvas, bakat itu tidak menurun pada dirinya.

Ayahnya yang hebat, Jungkook tidak. Dia hanya hidup dalam bayang-bayang kesuksesan ayahnya sehingga semua orang menuntutnya untuk menjadi sama. Ketika Jungkook memberontak, dia disebut tak tahu diuntung. Kim Taehyung adalah ayah yang hebat dan sempurna. Terkenal di mana-mana sampai Jungkook muak untuk memakai marganya. Di mata Jungkook, pria itu tak lebih dari seorang pria gagal dalam hidupnya. Pria menyedihkan. Pria gila. Dan sayangnya, pria menyedihkan serta gila itu adalah ayah kandungnya. Satu-satunya keluarga tersisa yang ia miliki setelah bibinya. Darah orang gila itu mengalir di tubuhnya.

Anak lelaki ber-hoodie hitam itu sekali lagi mendongak menatap mendungnya langit di atas kepala. Gerimis turun masih demikian rapat. Menaburi wajah bayinya dengan tetesan-tetesan dingin layaknya kaca.

Gelap. Mendung. Langit seolah akan runtuh. Menyedihkan. Seperti dirinya.
Satu napas ia embuskan dari mulut. Membentuk asap panjang sebelum ia memutuskan melanjutkan langkahnya memasuki gerbang sekolah yang ramai dipenuhi teman-temannya yang berusaha menghindari gerimis yang kian rapat. Berbeda dengan dirinya yang justru sengaja menyerahkan diri untuk diterjang berkali-kali. Lebih banyak lebih baik. Karena setiap mengingat ayahnya, isi kepalanya serasa mendidih.

Senyum sinis Jungkook terbit manakala ia melihat beberapa orang tua masih mengantar anak-anaknya. Mengingatkan payung yang harus mereka bawa. Mengecup kening dan kedua pipi sebelum pergi. Bagi Jungkook itu memuakkan. Bahkan perutnya mual melihat itu semua.

Ia sudah tidak pernah lagi diantar ibu maupun ayahnya ke sekolah sejak sekolah dasar. Bukan karena ia malu ataupun tidak mau. Hanya saja, tidak ada yang bersedia mengantarnya-tidak bisa. Jadi tak heran jika dia sampai di sekolah dalam keadaan basah kala gerimis menyerang paginya. Tidak ada yang mengingatkan untuk membawa payung. Tidak ada yang mengingatkannya untuk jadi anak baik di sekolah. Juga tak ada yang mengatakan untuk cepat pulang setelah jam sekolah berakhir. Tak ada yang menunggunya. Tak ada yang benar-benar peduli padanya.

"Jungkook!"

Suara yang Jungkook kenali itu menghentikan langkah anak lelaki bermata lebar itu sejenak. Senyumnya terbit menampakkan dua gigi depannya yang serupa kelinci manakala ia melihat salah satu teman baiknya menghampiri dengan keadaan nyaris sama dengannya. Basah.

Jaehyun. Anak itu langsung merangkul bahu Jungkook akrab sambil melempar senyum yang selalu mampu melelehkan hati para gadis. Mengajak Jungkook melanjutkan langkah mereka menuju kelas.

"Kulihat kau sendirian?" tanya Jaehyun sesekali menoleh ke belakang punggung mereka, merasa ada yang janggal. "Pacarmu ke mana?" tanyanya lagi.

"Pacarku yang mana?" Jungkook memutar bola mata.

Seingatnya ia sudah memberitahu Jaehyun bahwa anak perempuan sangat menakutkan baginya.

"Sunbae itu. Sepertinya dia terlambat?" gumam Jaehyun.

Sesaat Jungkook berpikir. Benar. Tidak biasanya perempuan setengah gila itu tak membuntutinya sedetik pun. Biasanya, sapaannya akan menjadi yang pertama bagi harinya, tapi hari ini tidak ada. Rasanya sedikit berbeda mengingat hampir tiap detiknya ada yang menguntit secara terang-terangan di belakang tubuhnya sepanjang hari. Apa karena gerimis? Anak perempuan itu tak punya seragam untuk ke sekolah? Rasa-rasanya tidak mungkin perempuan segigih dirinya akan menyerah hanya karena bajunya basah.

LOVESICKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang