9. Hanya Model

89 16 3
                                    

Korek api itu berpindah tangan. Segera api menyala, membakar lintingan zat adiktif berbalut kertas putih  itu menjadi bara dan asap yang merayap menjangkau paru-paru seiring datangnya oksigen yang terkalahkan.

Pemuda itu mengapit gulungan menyala itu di antara jemarinya sembari netra mengawasi sekitar. Sambil menyandarkan punggung dan kepala pada tembok belakang sekolah, berangsur-angsur beban di hatinya mulai terangkat. Kenyamanan yang nyata mulai ia temukan bersama sensasi terbang yang sedikit menakutkan. Senyum lebar lolos dari bibirnya. Beberapa kali ia tertawa.

“Jadi, mau menggambar apa?”

Setelah menit panjang berjalan, teman yang duduk di seberang melempar pertanyaan. Sisa puntung rokok di tangan baru digilasnya dengan sepatu di atas tanah. Parfum dari dalam tas dikeluarkan. Disemprotkannya ke seluruh badan pastikan tak ada bau khas mencurigakan terdeteksi penciuman.

“Belum tahu,” jawab yang masih menikmati bara terakhirnya sebelum mengikuti jejak kawannya.

“Papamu tampan sekali, Jung. Sampai sekarang aku masih belum percaya guru kesenian itu ayahmu.”

“Maksudmu aku jelek?” sewot pemuda pertama.

Masih lekat dalam kepalanya kejadian tak mengenakkan terjadi hari ini, di mana tiba-tiba seorang pria yang ternyata ayahnya datang ke sekolah sebagai guru. Anak ini bukannya merasa tersaingi karena temannya pun baru saja memuji sang ayah tampan secara terang-terangan. Hanya saja kemunculan tiba-tiba pria itu dalam lingkup geraknya membuat tidak nyaman. Meski, surat-surat permohonan mengajar itu dialah yang selalu membawanya ke rumah bersama harapan-harapan kecil ia sematkan. Ia adalah orang yang paling ingin melihat pria itu melanjutkan hidupnya. Jungkook adalah pihak yang paling menantikan kebangkitan ayahnya.
Namun, sekarang ia tidak suka.

“Bukan begitu, Jung, tapi ... ayahmu sehebat itu,” ungkap Jaehyun dengan pandangan menerawang. Bias-bias kekaguman masih terpancar dari matanya.

Bahkan kata-kata pujian seolah tak mampu lagi Jaehyun lontarkan untuk mengomentari apa yang sudah ia saksikan. Pada akhirnya Jungkook juga sadar sehebat apa ayahnya. Seerat apa jiwa pria itu dengan seni. Bahkan Jungkook yang merasa keberatan pria itu mengajar di sekolahnya sempat-sempatnya terkesima selama pria itu menjelaskan materi pelajaran.

“Yang seperti tadi ... aku juga baru pertama kali melihatnya, Jae. Ayah berhenti melukis saat usiaku sembilan tahun,” kenang pemuda itu.

“Lalu kenapa kau tidak senang?” tanya Jaehyun.

“Bukan tidak senang. Hanya ...” Jungkook menggantung kalimatnya. Pandangannya menerawang jauh. Sendu.

“Hanya apa?” tanya Jaehyun lagi.
Jungkook menggeleng. “Lupakan saja,” jawabnya membuat Jaehyun mendesah kecewa. “Ayo ke kafetaria. Aku lapar.”

Jaehyun mengangguk. Segera menyusul Jungkook yang sudah lebih dulu berdiri dan memimpin jalan.

“Kuharap tidak ada sayur untuk hari ini.” Dia berdoa.

Sayuran memang sedikit tidak menarik karena aromanya yang khas maupun teksturnya yang lembek setelah dimasak. Namun, Jungkook makan apa pun termasuk sayuran karena penyesalannya terhadap kematian sang ibu. Saat kecil ia juga menolak sayuran sehingga kalimat yang paling sering ia dengar dari ibunya adalah perintah makan sayur ketika makan. Sekarang, ia makan sayur hanya agar bisa buang air besar.

Kemudian Jungkook mendapati kafetaria juga sedikit menyebalkan. Bukan hanya karena ia masih harus antre padahal sudah mengulur waktu untuk datang. Namun, ayahnya juga mencoba berbaur. Pria itu makan di kafetaria seperti dia adalah orang yang ramah. Dia berinteraksi dengan guru-guru lain yang nampak bersemangat karena kedatangannya. Namun, Jungkook juga mulai sadar bahwa pria itu nampaknya memutuskan mengajar bukan hanya untuk mengawasinya.

LOVESICKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang