BAB 44: Prepare Masa Depan

37 7 25
                                    

"Stop ngerasa bahwa kamu gak ada pencapaian apapun, bahkan sampe mikir kamu gagal dan meragukan jalan masa depanmu sendiri. Jangan pernah berpikir untuk menyerah, kamu sudah bertahan sampai di titik ini pun patut untuk di apresiasi. Tolong tetap bertahan, ya?"

_From Bentala Zayn untuk Yarobun_

•••🦋•••

Ruhi berdiri di depan pintu dengan napas yang berat, bahunya naik-turun seiring dengan tarikan napasnya yang dalam. Matanya memancarkan kemarahan, sementara tangan kanannya mengepal erat, seolah-olah siap menghantam sesuatu. Dia mengarahkan kepalan tangan itu ke dekat mulutnya, menahan desahan yang keluar seperti letupan kecil kemarahan yang tak bisa ditahannya lagi. "Hah... hah... hah...." Suara napasnya terdengar berat, hampir seperti geraman.

Bugh!

Tanpa berpikir panjang, Ruhi mengayunkan tinjunya ke arah pintu berwarna putih yang berdiri kokoh di hadapannya. Pukulan itu mengeluarkan suara yang keras. Rasa sakit segera menjalar dari kepalan tangannya yang baru saja menghantam permukaan keras itu. "Njirr! Sakit!" keluh Ruhi sambil mengibaskan tangannya ke udara, mencoba menghilangkan rasa nyeri yang menyengat.

Brug!

Tak puas dengan pukulan tadi, Ruhi mengangkat kakinya dan menendang pintu tersebut dengan sekuat tenaga. Suara dentuman itu terdengar lebih keras dari sebelumnya. Ruhi kembali meringis. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit yang kali ini terasa lebih parah.

Namun, saat ia akan kembali memukul pintu itu tiba-tiba pintu kamar Bentala terbuka. Bentala muncul dari balik pintu dengan penampilan yang sudah rapi. Dia mengenakan pakaian tongkrongan kasual-kaos hitam polos dengan celana jeans, namun tetap terlihat keren dengan rambut yang sedikit berantakan tapi rapi. Wajahnya menunjukkan ekspresi malas, seakan tak terkejut melihat Ruhi yang sedang kalap.

"Pintu gak salah lo tendang, waras lo?" tanya Bentala dengan nada mengejek. Tanpa menunggu jawaban, dia menutup pintu kamarnya kembali, meninggalkan Ruhi yang masih berdiri di sana dengan bibir yang mengerucut, matanya menatap tajam penuh kesal.

"Kesel gue sama lo!" Ruhi akhirnya berteriak, suaranya penuh emosi yang tertahan.

Bentala menoleh, ia mengangkat satu alisnya, memperlihatkan ekspresi acuh tak acuh. "Lah, gue gak ngapa-ngapain napa lo kesel?" tanyanya dengan nada santai, seolah-olah benar-benar tidak mengingat apa yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu.

"Lo___"

Namun sebelum Ruhi menjawab, suara langkah ringan terdengar mendekat. "Kenapa sih, malem-malem pada ribut? Sampai kedengeran sampe dapur," suara lembut namun tegas itu datang dari Mitha, ibu mereka. Wajahnya tampak khawatir, meski ada garis lelah di sekitar matanya.

"Itu tuh, Ma. Tala-nya!" Ruhi segera beralih, menunjuk ke arah Bentala dengan wajah yang sengaja dibuat se-dramatis mungkin, berharap mendapatkan simpati dari ibunya.

Bentala yang mendengar aduan itu hanya bisa memutar bola matanya, merasa kesal sekaligus malas menanggapi. "Gak Tisya gak lo, tukang ngadu," balasnya sinis, memilih untuk pergi sebelum situasi ini berubah menjadi drama yang lebih panjang. Dia melangkah pergi dengan cepat, meninggalkan Ruhi yang masih merajuk.

Mitha, yang tak sepenuhnya memahami apa yang terjadi antara kedua anaknya, mengerutkan kening, lalu menoleh ke arah Ruhi yang sekarang terlihat sedikit lebih tenang. "Kenapa sih?" tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.

Ruhi hanya menggaruk belakang lehernya, terlihat canggung dan sedikit menyesal telah membuat keributan. "N-nggak, Ma. Biasa lah," jawabnya, suaranya merendah sambil perlahan melangkah menjauh, meninggalkan Mitha yang masih bingung. Wanita itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa tak habis pikir dengan tingkah laku anak-anaknya yang sering kali sulit dimengerti.

The Ephemeral (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang