Dua Puluh Tujuh

69 8 0
                                    

"Dalang dari semua ini ... adalah Presiden Mauvlen."

Lusi sembari mengusap puncak kepala Xeleza yang sedang tertidur, tampak mendengarkan dengan saksama. Sama halnya dengan Alan, Figo, Tegar, Sasti, dan Larasati.

"Nggak cuma gue, ada banyak bagian dari BIN yang dikirim ke sekolah-sekolah sebelum ujian kompetensi ini dimulai. Kami dibekali oleh banyak pelatihan pertahanan hidup selama 3 tahun. Jadi monster yang selama ini kita lihat, bukan monster pertama bagi gue. Karena gue udah berkecimpung dengan mereka bertahun-tahun. Semua itu dipersiapkan untuk melenyapkan kita."

Larasati langsung bersuara. "Itu bener-bener nggak masuk akal! Kenapa ... kenapa presiden mau melenyapkan kita? Apa dia mau membinasakan negaranya sendiri? Karena tunas dari suatu bangsa adalah anak mudanya. Kalau kita habis, siapa yang akan melanjutkan negara ini?"

Miranda menggeleng. "Bukan begitu cara mainnya. Ada alasan kenapa anak-anak yang diujikan adalah anak berusia 15 sampai 20 tahun. Karena mereka juga mempertimbangkan apa yang lo sampaikan, Ras. Jutaan anak berusia 15 sampai 20 tahun yang mati, nggak akan mempengaruhi stabilitas negara karena masih ada anak berusia di bawah 15 tahun dan di atas 20 tahun yang dilindungi," ujar Miranda.

"Jadi, kalian para orang-orang BIN dikirim untuk apa?" tanya Lusi, berusaha merangkai tiap kepingan yang disampaikan Miranda.

Mendengar pertanyaan Lusi, Miranda menarik napas dalam-dalam. Kemudian berucap, "Karena lo, Ru."

Tegar, Figo, Larasati, Sasti, dan Alan langsung menoleh bersamaan ke arah Lusi. Kini perempuan itulah yang menjadi pusat perhatian di antara mereka. "Daru? Apa maksudnya itu?" ucap Tegar yang mulai gelisah.

"Mungkin akan sulit dipercaya, tapi semua kejadian yang kalian lihat dari awal sampai akhir, rencana utamanya adalah Daru. Sasaran utama yang ingin dilenyapkan oleh Presiden Mauvlen adalah Daru, putrinya."

"Pu-putrinya?!" ucap Sasti yang sangat syok mendengar perkataan Miranda.

"Hah?! Daru adalah anak Presiden Mauvlen? Yang bener lo!"

"Bagaimana bisa, Miranda?" tanya Alan.

Semua orang terkejut, khususnya Lusi. Tapi perempuan itu masih diam menyimak dengan ekspresi yang sangat syok. Alur cerita dari komik ini benar-benar tak bisa dia tebak sedikit pun. Kala mengingat identitas karakter Daru yang pernah diberikan Luki dulu, dia ingat jelas bahwa Daru itu tidak memiliki orang tua. Tapi sekarang dia diceritakan merupakan anak dari presiden negara? Tidak masuk akal.

"Apa kamu tahu itu, Daru?" tanya Tegar yang beranjak dari tempatnya, kemudian mendekat pada Lusi. Saat sampai di depan perempuan itu, dia menjongkokkan diri. "Kamu bercerita padaku kalau kamu tinggal di panti asuhan selama ini."

"Itu benar. Aku tinggal di panti asuhan. Jadi, informasi ini adalah hal yang baru bagiku," ucap Lusi. Lantas ia mendongak menatap Miranda lagi. "Kalau dia memang ibuku, kenapa dia berusaha melenyapkanku?"

"Karena kamu adalah reinkarnasi Ratu Laliza. Presiden tidak ingin kehadiranmu berhasil membangkitkan Raja Xeros dan mengambil alih kekuasaan negara. Karena ramalan dari kematian Presiden Mauvlen ... adalah di tangan kalian."

Mendengar nama Raja Xeros dan Ratu Laliza lagi, Lusi jadi menatap Axel yang menunduk. Pria itu sepertinya tahu sesuatu. Apalagi dia juga belum menjelaskan tentang asal usul kemunculan sayapnya tadi. Juga, banyak hal janggal yang ingin Lusi tanyakan. Karena jika diperhatikan, para monster selalu tunduk saat berhadapan dengan pria itu.

"Gilaaaaaaa! Kacau udah!" pekik Larasati. Dia sangat pusing mendengarkan informasi-informasi baru dan aneh ini. "Jadi intinya, Daru adalah anak presiden, terus dia juga Ratu Laliza, dan dia juga yang pegang kartu AS nyawanya presiden!"

"Tapi pertanyaannya ...," celetuk Sasti tiba-tiba. Dari tadi perempuan itu diam, tapi bukan berarti tak peduli. Dia sibuk mencerna semua penjelasan Miranda. "... siapakah Raja Xeros itu? Apa dia benar-benar akan bangkit? Karena gue juga pernah baca di salah satu buku sejarah."

"Gue."

Pandangan semua orang beralih pada Axel. Pria itu maju satu langkah, menggantikan panggung Miranda yang sebelumnya bercerita. Kini berganti dirinya yang harus menjelaskan banyak hal terkait 'sosok Xeros' dan kemunculannya yang bersayap.

"Alan?"

"Kalau kalian inget, gue dateng dengan sayap." Axel melepas kembali kaus yang tadi ia kenakan. Menyisakan dirinya hanya bercelana dan telanjang dada. Tak lama kemudian, terdengar suara keras yang menjadi tanda kemunculan sayap pria itu.

Srak!

Sayap indah dan kokoh seperti milik Elang ditunjukkannya di hadapan semua orang. Mereka tertegun dan takut dalam waktu yang sama. Lusi sampai menegakkan tubuhnya, kemudian mengulurkan tangan. Ia belai lembut bulu-bulu dari sayap itu. Suaminya, sungguh indah dengan sayap begini.

"Setiap sentuhan kamu di sayapku, aku bisa merasakannya," ucap Axel dengan tatapan lembut kepada Lusi. Hal itu membuat Tegar membuang muka, tak ingin melihat interaksi intim itu lebih lama.

"Saat kejadian di pondok, gue berusaha melarikan diri ke dalam hutan. Figo dan Tegar mungkin masih ingat ceritanya."

"Cerita apa?" Lusi tak mengerti, ia menatap ketiga pria itu bergantian.

"Waktu di pondok, Tegar dan temen-temennya mukulin gue dan Alan," ujar Figo.

"APA?" ucap Lusi dan Sasti bersamaan. Dia tak terima mendengar kenyataan itu. Sontak Lusi kembali mendekati Tegar. "Kenapa kamu melakukan itu?"

Tegar tak berani menatap kedua mata Lusi. "Kami ... hanya becanda."

"Becanda bikin ketawa, bukan babak belur," sahut Figo yang sejujurnya masih tak terima dengan kejadian itu. Tapi dirinya juga tak punya tenaga untuk membalas perlakuan Tegar sekarang. Sebab lukanya pun masih belum kering.

"Tegar! Aku nggak nyangka ya kamu bisa ngelakuin hal yang nggak gentle sama sekali! Kalau emang kalian berantem, lakuin dengan adil! Bukan keroyokan! Kalau waktu itu Alan mati, aku nggak akan pernah maafin kamu sama sekali," ucap Lusi, terdengar sangat kecewa dengan Tegar.

Sedang Tegar hanya menunduk. Sejujurnya harga dirinya tinggi, dia tak ingin dipandang Lusi seperti ini. Dari tadi mulutnya sangat ingin membela diri, tapi dia tidak ingin membuat Lusi semakin kecewa. Jadi lebih baik diam dan mengakui.

"Maaf ...."

"Ya udah, toh udah kejadian juga." Axel tidak ingin masalahnya semakin berlarut. Lagipula dia sudah memaafkan perbuatan Tegar dan teman-temannya. "Intinya, malam itu gue lari ke sungai. Dada gue kerasa sakit dan mulai bermunculan ingatan-ingatan yang nggak pernah ada selama ini. Itu mengisahkan tentang gue sebagai Raja Xeros dan Ratu Laliza. Didampingi sayap ini, gue pun sampai di istana Raja Xeros."

"Istana?" ucap Larasati.

Axel mengangguk. "Istana ... Istana iblis. Tempat asal semua monster yang kalian lihat selama ini. Itu sebabnya para monster menunduk dengan kedatangan gue."

"Jadi, bisa dibilang, lo bangkit sendiri tanpa Ratu Laliza! Jadi itu bukan salah Daru, kan?" kata Larasati.

Lusi mendekat pada Xeleza. "FYI,  anak ini, sebenarnya selama ini dia dilindungi di Istana Psyche, istana milik Ratu Laliza. Dan dia ... adalah anak dari Ratu Laliza dan Raja Xeros."

"Kayaknya gue mau pingsan," ucap Larasati seketika. Dia masih pusing mendengarkan penjelasan Axel dan Lusi.

"Dengan kata lain, sebenarnya dia anak kalian?" tanya Sasti untuk memastikan kesimpulannya.

Tegar memandang Axel dan Lusi bergantian. Ada rasa sakit di beberapa bagian hatinya kala mendengar cerita itu. Seolah dirinya tidak pernah ditakdirkan berada di antara mereka berdua.

"Anak?" Axel mendekat. Dia ikut memandang Xeleza yang terlelap. Wajahnya putih pucat tapi sangat tak asing bagi Axel. Rasa sayang itu secara otomatis keluar, seperti bertemu dengan anak kandungnya sendiri. Bahkan rasanya tubuh ini mengenali darah dagingnya.

"Okey, kami udah menerima penjelasan dari Miranda dan Alan. Sekarang lo, Daru! Jelaskan lagi, kenapa lo bukanlah lo dan Alan bukanlah Alan?" tanya Larasati yang menuntut kebenaran agar semuanya dapat segera dimengerti.

You're My Favorite Main LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang