35

467 53 13
                                    

Beberapa minggu setelah Christy tiba-tiba menginginkan adek, dia sering melamun di ruang bermainnya. Chika, yang baru saja selesai menyiram tanaman, melihat Christy yang tampak diam di ruang bermainnya.

“Kitty, kenapa?” tanya Chika dengan lembut.
Christy menghela napas, “Kapan deknya Kitty hadir, Mom? Kitty bosan main sendiri terus di rumah.”

Chika mendekati Christy dan duduk di sebelahnya. “Kitty, minta sama Tuhan ya. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha. Selebihnya, Tuhan yang mengatur kehidupan kita.”

Christy memandang Chika dengan mata berkaca-kaca. “Kitty selalu minta sama Tuhan. Kenapa Tuhn nggak kabulin permintaan Kitty? Kitty mau minta sama Daddy dulu ya, Mommy.”

Chika mencoba menghentikan Christy yang berlari menuju ruang game. “Kitty!” teriak Chika, tetapi Christy sudah terlalu jauh.

Christy masuk ke ruang game di mana Tian sedang asyik bermain game. “Daddy…” teriak Christy dengan suara penuh harapan.

Tian tetap fokus pada permainannya dan menjawab tanpa menoleh. “Kitty, jangan teriak-teriak

Christy merasa sedikit takut. “Daddy, boleh minta sesuatu?”

Akhirnya, Tian mengalihkan perhatian dari layar dan menatap Christy. “Apa, sayang?”risty dengan hati-hati berkata, “Kitty mau punya adek, Daddy.”

Tian langsung menanggapi dengan nada tegas, “Usia Kitty belum cocok untuk punya adek. Daddy nggak bisa kabulin permintaan kamu kali ini.”

Christy mulai meneteskan air mata. “Tapi Kitty janji bakal sayang adek. Christy bakal jadi kaka…”

Tian mulai kehilangan kesabaran dan membentak, “CHRISTY, DADDY BILANG GAK BISA YA GAK BISA!”

Christy menunduk, air mata mengalir deras di pipinya.

“KAMU ITU UDAH BESAR, CHRISTY! SEKALI GAK, TETAP GAK. JANGAN KEKANAKAN GITU. BUAT APA SEKOLAH KALO GINI!”

Chika yang mendengar bentakan tersebut langsung berlari ke ruang game dan meluk Christy, mencoba menenangkan anaknya. “Kamu nggak usah bentak-bentak anak, Tian. Kalau nggak bisa, bilang baik-baik.”

Tian, yang sudah terlalu marah, langsung berbalik dan keluar dari ruangan. Sebelum pergi, dia menyahut, “Dia anakku, Chika. Ini bukan urusanmu!

Chika merasa sakit hati mendengar kata-kata Tian. Dia tetap memeluk Christy.

~~~

Setelah  christian marah besar pada Christy, dia langsung meninggalkan rumah dengan perasaan kacau. Mengemudi dengan kecepatan tinggi, pikirannya dipenuhi dengan rasa bersalah dan kebingungan. Tanpa disadari, dia mengarahkan mobilnya ke rumah Ravadel, adiknya. Saat tiba, Tian merasa lega karena Ashel, istri Ravadel, sedang tidak ada di rumah.

Dia memasuki rumah dengan wajah suram. Ravadel, yang sudah mengenal kakaknya dengan baik, tidak banyak bertanya. Dia hanya duduk di ekat christian, menunggu christian siap berbicara.

“Del...” christian memulai, suaranya terdengar berat.

“kenapa, Bang?” Ravadel menatap christian dengan rasa khawatir.

“Gue jahat ya, Del. Gue udah bentak anak gue sendiri...” Christian menundukkan kepalanya, merenung dalam rasa bersalah yang mendalam.

Ravadel menghela napas, “Jahatlah, Bang. Lagian kenapa lo bentak?

“Dia maksa mau adek, Del. Gue gak bisa... gue takut.” christian berkata pelan, suaranya hampir tak terdengar.

Ravadel menatap christian dengan tatapan serius. “Yang lo takutin apa, Bang? Tinggal lo buat aja sama Chika, Lo takut Kak Muthe cemburu? Gak bakal, Bang. Gue yakin Kak Muthe malah senang. Apa yang lo takutin?”

Christian menggeleng pelan, “Gue bingung dengan perasaan gue sendiri. Gue ngerasa takut kehilangan lagi...”

“Bukannya lo gak ada perasaan sama Chika, Bang?” tanya Ravadel sambil mengamati wajah kakaknya yang penuh dengan keraguan.

christian menarik napas panjang, “Gak tau, Del. Gue gak tau perasaan gue sendiri.” Matanya mulai memerah, air mata hampir jatuh.

Ravadel mencoba mendorong christian untuk mengakui perasaannya. “Lo cemburu gak liat Chika sama cowo lain?”

christian terdiam sejenak, lalu menjawab dengan ragu, “Gak tau, tapi gue kesel aja liat dia deket sama Yones.”

“Nyaman gak sama Chika?” Ravadel melanjutkan.

christian menganggukkan kepalanya pelan.

“Udah pernah... lo tau lah... sama Chika?” tanya Ravadel dengan nada sedikit lebih santai.

christian kembali mengangguk, wajahnya mulai menunjukkan sedikit ketenangan.

“Terus, apa yang lo rasain?” Ravadel menuntut jawaban lebih.

“Rasanya lebih dari apa yang gue rasain waktu sama Muthe. Gue nyaman banget kalo ada Chika sama gue...” christian mengakui dengan suara rendah.

“Fiks sih, lo beneran suka sama Chika, Bang. Lo dah cinta keknya!”ravadel antusias

Tian hanya bisa tersenyum lemah mendengar ucapan adiknya.

“Udah sono pulang minta maaf sama Chika sama Kitty. Parah bener lo, gue bentak anak gue dikit aja lo marah, lah sekarang lo lebih parah.” Ravadel mengomel ringan, berusaha menyadarkan christian.

christian berdiri, “Gue numpang tidur sampe sore ya, Del. Ntar bangunin aja.”

Tian kemudian berlalu menuju kamar tamu yang ada di rumah Ravadel, mencari ketenangan sejenak sebelum dia kembali kerumah.

vote ges



Rasa yang tak pergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang