BAGIAN 7 - PERASAAN ITU

2K 94 11
                                    

“Apa?” Shaka menatap bingung pada sebuah kantong kresek hitam yang Karel letakkan diantara mereka berdua.

Pemandangan lapangan sekolah dari atas menjadi latar belakang mereka saat ini. Sebelumnya juga Shaka sudah cukup bingung saat Karel mengirim pesan dan memintanya untuk datang ke rooftop sekolah setelah bel pulang berbunyi. Dan sekarang, kebingungan itu bertambah dua kali lipat.

“Obatin gue. Masa si anak baru aja yang diobatin, gue juga dong!” seru Karel, melipat kedua tangan di depan dada dengan raut muka sebal.

Shaka lantas mengambil kantong kresek itu, membukanya dan menemukan berbagai macam alat P3K di dalam sana. Mulai dari obat merah, kapas, plester, kain kasa, bahkan alkohol juga ada disana. Pria itu hanya bisa menganga, menggeleng takjub atas kelakuan sang sahabat.

“Niat banget, Lo? Sampe beli yang beginian segala. Kapan ini Lo belinya?”

“Gak beli, gue ngambil di UKS.” jawaban polos Karel lebih membuat Shaka menganga.

“Heh?! Lo nyolong?!”

“Ya enggak lah! Gue minta itu sama penjaga UKS,” bantah Karel cepat. Begini-begini Karel juga tahu mencuri adalah tindakan kejahatan.

“Oohh..”

Shaka bernapas lega, mengangguk mengerti. Syukurlah.

“Ayo cepet obatin!!” desak Karel tak sabaran. Namun Shaka tak kunjung juga memulai pengobatan. Lelaki yang lebih pendek darinya itu malah memperpanjang obrolan.

“Udah gak marah lagi nih?”

“Siapa yang marah?”

“Lo, waktu di UKS tadi.”

“Gak marah tuh!” Karel memalingkan wajah, tidak mau menatap Shaka yang sekarang tengah memasang tampang meledek.

“Heleh…”

“Udah ah, cepet obatin!!” elak Karel, mengubah pembicaraan. Tujuannya mengajak Shaka kesini hanya untuk diobati, bukan untuk membicarakan hal apapun.

“Gak akan dicariin sama temen-temen Lo?”

“Banyak omong ih, Shaka!! Gue udah nyuruh mereka pulang duluan. Ayo obatin!! Sakit nih!!”

“Iya iya, sini!” Shaka tertawa geli, menggeser duduk agar lebih dekat, lantas mulai mengobati Karel dengan tenang.

Sunyi mendominasi setelahnya. Hanya ada hembusan angin sepoi-sepoi yang sesekali menerpa halus kulit wajah dan juga suara samar-samar dari para siswa di bawah sana yang tengah bermain sepak bola di lapangan.

Moment ini akan Shaka simpan sebaik-baiknya dalam ingatan. Shaka menyukainya, saat desiran aneh di dada mulai terasa menggelitik. Geli, tapi ia suka sensasi itu.

Dan saat mata Karel menatapnya intens, saat wajah mereka berjarak sangatlah dekat, degup jantung itu mulai menggebu. Temponya semakin cepat seiring waktu berjalan.

Shaka tidak tahu perasaan apa ini sebenarnya. Walau keadaan seperti ini sering ia temui pada novel yang dibacanya atau drama-drama yang ia tonton, Shaka selalu menyangkal.

Tidak, Shaka yakin bukan perasaan itu yang ia punya teruntuk sang sahabat. Pasti ini hanya perasaan senang saja, perasaan bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama seperti dulu. Ya, pasti hanya itu.

Shaka tersenyum setelah luka itu selesai ia obati. Membereskan kembali semua perlengkapan itu masuk ke dalam kantong kresek dan menyerahkannya pada Karel.

“Yuk, pulang!” ajak Karel, berdiri dari duduknya setelah memasukkan kantong kresek itu ke dalam tas. Sedangkan Shaka masih betah duduk.

“Lo duluan aja, nanti gue nyusul,” ucapnya membuat Karel berdecak.

“Barengan aja, sih.”

“Kita masih di sekolah, Karel.”

Karel terdiam. Oke ia lupa soal hal itu. Bagaimanapun ia tidak ingin ada yang melihat kedekatan mereka, atau lebih tepatnya tidak ingin ada yang mengadukannya pada Bima dan Gani.

Maka atas hal itu Karel mengangguk, “Oke deh, gue duluan. Gue tunggu di parkiran ya?”

“Iyaa.”

Melambai singkat, Karel bergegas pergi. Shaka balas melambai, senyumnya terukir sampai tubuh jangkung itu menghilang dibalik pintu. Senyuman manis terganti dengan senyum getir. Lelaki itu menghela napas. Pada akhirnya ia dan Karel tidak akan pernah bisa bersama, bahkan walau hanya sebagai sepasang sahabat saja.

🌱🌱🌱

“Lama banget, kemana dulu sih?” Karel mengomel begitu Shaka tiba di hadapan. Ponsel yang tadi dimainkan ia masukkan ke dalam saku jaketnya.

“Ke toilet.” Shaka menjawab singkat, tidak berbohong, dirinya memang sempat mampir ke toilet sebelum menyusul Karel ke parkiran ini.

“Yaudah, yuk pulang!” Karel hendak bersiap, membenarkan posisinya duduk di atas motor saat sebuah suara terdengar dari kejauhan.

“Shaka!” suara lantang itu berseru dan diikuti kedatangan Revan kemudian, yang langsung merangkul pundak Shaka dengan akrab.

“Ngapain Lo sama si anjing?” tanyanya pada Shaka, melirik Karel sebentar yang langsung dibalas decihan dan tawa sarkas oleh yang bersangkutan.

Sedangkan Shaka merasa bingung dan sedikit kaget atas keberadaan Revan disini. Ia balik bertanya, “Revan, kok belum pulang?”

“Habis main bola dulu sama anak-anak futsal. Jadi, lagi ngapain disini? Disuruh apa lagi Lo sama si bangsat?” lagi, Revan melirik Karel. Dan Karel masih bersabar disini.

“Enggak, ini…gue—”

Jawaban Shaka terpotong, disela Revan yang langsung menariknya pergi tanpa permisi.

“Pulang aja yuk! Orang aring kayak dia gak usah diladenin.”

“Tapi gue—”

“Udah, gue anter pulang.” Tangan Shaka ditarik halus. Tanpa melawan atau menahan Shaka mengikuti, berusaha menyamai langkah cepat Revan yang hampir membuatnya kewalahan.

Beberapa kali Shaka menengok ke belakang, melihat Karel yang tak bereaksi apa-apa di sana. Mulutnya bergerak, mengucap tanpa suara, “Lo balik sendiri aja.”

Sedangkan Karel hanya terdiam ditempat,  tak ada niatan untuk mencegah atau beradu argumen dengan si anak baru. Wajahnya datar menatap kepergian Shaka yang dibawa paksa.

Dan ketika dua tubuh remaja itu sudah tak terlihat oleh netranya, tangan Karel perlahan mengepal. Helm hitam tak bersalah dihadapannya jadi pelampiasan, dipukul kuat terlampau emosi.

“Anjing!”

***





Hey, it's Liu!

Pikiran aku random banget, tiba-tiba pengen liat Karel Shaka ciuman (motivasi update cepet)

Ketik 1 kalau mau mereka ciuman 😘

Udah deh itu ajaa

Kritik dan saran akan sangat diterima. Jangan lupa kasih bintang juga ya~

See you!

Secret (Boy) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang