BAGIAN 2 - TENTANG PRIORITAS

3.7K 144 2
                                    

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, pun guru yang terakhir mengajar baru saja keluar kelas. Namun Shaka sudah diseret Gani, bahkan buku-bukunya pun belum semua dimasukkan ke dalam tas.

Gani terus menyeretnya melewati koridor, mengabaikan tatapan siswa-siswi lain disekitarnya. Mereka berhenti di depan toilet ujung lorong, lantas Gani mendorong Shaka masuk ke sana.

”Karena Lo udah bikin kita dihukum, Lo harus gantiin hukuman kita. Dan inget! Gak usah ngadu!” Sentak Gani. Tak berselang lama Karel dan Bima muncul. Bima berjalan ke sudut toilet, membawa ember dan peralatan mengepel lainnya yang memang tersimpan disana lalu diletakkan di depan Shaka.

“Nih, gue bawain alat-alatnya. Ngepel yang rajin ya!!” Bima mengusak rambut Shaka hingga sedikit berantakan. Sedangkan si korban hanya diam pasrah, matanya sedikit melirik pada Karel yang terduduk santai di meja wastafel, kakinya berayun-ayun tampak menikmati tontonan didepannya.

“Cabut sekarang kuy! Kita lanjutin yang semalem.” Bima menghampiri Gani, menepuk pundaknya.

Gani mengangguk setuju, “Gass!! Rel, ikut gak?”

“Lo pada duluan aja deh, gue mau awasin nih anak.” Karel menoleh pada Shaka sekilas sebelum kembali bersitatap dengan Gani.

“...”

Disini Gani dan Bima tampak diam sejenak. Melihat tatapan curiga itu Karel melanjutkan ucapannya, “Kalo nanti dia kabur kan kita juga yang repot, iya gak?”

“Iya juga sih…” Bima mengangguk-angguk setuju, Gani pun demikian. Benar juga, pikirnya.

“Yakin nih gak mau balik sekarang?” ini Gani yang bertanya. Karel mengangguk mantap.

“Iyaa, santai elah gue mah.”

“Oke deh. Awasin yang bener yee!”

“Iyee.”

Gani dan Bima sudah pergi. Karel turun dari meja wastafel, menghampiri Shaka dan berdiri didepannya dengan senyuman polos.

“Gue bantuin deh bersihin WC nya. Abis ini kita beli mie ayam. Deal?”

🌱🌱🌱

Gang Rinjani No. 31, merupakan jalan penghubung antara perkampungan tempat Shaka tinggal dengan jalan utama. Tepat diujung gang ini, sebuah gerobak usang terparkir rapi.

Tangan tua pemilik gerobak itu tampak lihai meracik bumbu, memasukkan mie dan sayuran ke dalam panci berisi air mendidih, hingga menghidangkan mie nya kepada para pelanggan.

Mang Dayat, begitulah Shaka kerap memanggil pria tua penjual mie ayam itu. Dulu Shaka sering langganan makan disini sepulang sekolah, bersama Karel. Tetapi semenjak Karel lebih banyak menghabiskan waktu dengan Gani dan Bima, Shaka sudah jarang mampir kesini.

“Mang Dayat, mie ayam 2 ya? Si Karel yang bayar!” Shaka berucap semangat, langsung mengambil duduk di tempat yang sudah tersedia diikuti Karel selanjutnya.

“Eh si kasep, tumben pisan baru mampir kesini.” Mang Dayat menyambut dengan suka cita. Bagaimanapun Shaka ini sudah ia anggap seperti cucunya sendiri.

“Iya nih mang, lagi kepengen makan mie ayam.”

Namun raut muka mang Dayat berubah khawatir saat menyadari sesuatu di wajah Shaka, “Tapi itu teh kenapa atuh mukanya memar memar gitu?”

Shaka refleks menyentuh wajahnya, terdiam sebentar sebelum kembali memasang senyuman cerahnya, “Gak papa mang, biasalah anak muda.”

Pada akhirnya Mang Dayat hanya bisa menggeleng, “Euleuh euleuh…jangan keseringan berantem ah, gak baik.”

Secret (Boy) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang