Hanung menghela napas panjang pikirannya tidak tenang sama sekali, grupnya sangat sepi. Dari tadi dia hanya duduk termenung sendirian di teras, sedangkan Juliaa berada di kamar tidurnya. Pandangan Hanung beralih saat seseorang datang dengan wajah cemberut sambil membawa makanan.
"Temenin habisin ini, Bang," ucapnya membuat Hanung tersenyum dan menyuruhnya duduk.
"Jule di mana?" tanyanya dengan polos, "Dalem tuh, lagi di kamar. Tidur paling anaknya tadi kakinya sempet kambuh, tapi udah dibawa ayah ke RS," jawab Hanung yang sudah menghabiskan 2 potong martabak manis.
"Semenjak tante engga ada, om tuh jadi kurang perhatian ke Kak Jule," ucapnya sambil menghela napas dan memakan martabak manis yang sedari tadi di tangannya.
"Gue tahu kok, kemarin ayahnya juga dateng ke sini," ucap Hanung membuat Anugerah terkejut. "He...om bilang apa? Ngajak ribut?" tanya Anugerah terlihat khawatir.
"Ga berani lah ngajak ribut, cuma ngajak Jule pulang. Cuma dia engga mau, kakak lo noh kurang ajar banget katanya mau tinggal di sini selamanya nyampe dia diajak nikah baru tuh pindah," jelas Hanung membuat Anugerah merasa tenang.
"Katanya besok kalo lulus disuruh nyusul kak Arumi....jujur ya Nug, gue sempet lupa yang namanya Agustine Arumi ternyata dia kakak Jule. Dulu gue ingetnya dipanggil Arumi," tambah Hanung mengingat dia menanyakan nama Agustine Arumi pada Juliaa.
"Di rumah emang dipanggilnya Arumi, kalo sama om dan disekolah dipanggilnya Tine. Jelas lo engga tahu, jadi Jule mau nyusul ke korea?" tanya Anugerah sambil membuka minuman yang dia bawa.
"Ga tau tuh, tergantung sama tu orang Jule bakal ngikut," jawab Hanung dengan cepat. "Lo seemosi itu ya tadi?" tanya Hanung yang berhasil menghentikan Anugerah untuk minum, tapi dia lanjutkan.
"Gue capek, Bang. Secapek itu nyampe engga tahu harus gimana lagi, tiap mau tidur malem gue takut kepikiran kalo besok gantian gue yang engga ada gimana ya?," tanya Anugerah mulai berbagi perasaannya pada Hanung.
"Awalnya gue juga gitu, bingung harus gimana. Sekarang aja gue kepikiran hidup gue habis ini bakal kayak apa, apa gue bisa bertahan nyampe lulus nanti? Gue masih bisa masuk UI atau engga? Gue masih bisa ngobrol sama orang rumah apa engga?" keluh Hanung yang membuat Anugerah menundukkan kepala.
"Tapi yang gue tahu, kita semua bakal mati. Entah siapa yang pergi dulu, tapi endingnya bakal pergi kan? Dari kejadian ini semua gue belajar ternyata ga pernah ada yang namanya happy ending semuanya bakal sad ending, Nug. Hidup isinya cuma ditinggalkan atau meninggalkan. Gue jadi berusaha buat menikmati waktu yang ada bareng lo, temen-temen yang lain, dan bareng keluarga juga," tambah Hanung sambil menatap langit malam, Anugerah yang mendengarnya seperti tertusuk.
"Kalo menang bakal jadi sejarah kalo mati bakal dikenang," ucap Hanung yang sedikit membuat Anugerah bergetar.
"Sejauh apapun usaha yang kita lakuin cuma diri kita sendiri yang bisa rasain, orang lain ga bakal peduli meskipun rasanya takut, kalut, capek, tapi kita cuma punya diri kita sendiri. Gue bakal berusaha semampu gue dan lindungi orang-orang di sekitar gue," ucap Hanung sambil menatap Anugerah.
"Eum, entah berkat atau petaka kita ga bisa milih ya. Mau gimana pun kita tetep harus maju," ucap Anugerah tersenyum karena baru saja tersadarkan oleh ucapan Hanung.
"Kalo lo takut, nanti di belakang gue aja. Gue bakal selalu lindungin lo," ucap Hanung sambil mengacak rambut Anugerah dan tertawa bersama di teras rumah.
Beberapa orang berjalan dengan wajah menahan emosi, lorong kelas yang tidak terlalu ramai dan tatapan beberapa orang yang ingin mengamuk pada siapa saja membuat sebagian orang yang melihatnya bergedik ngeri. Pandangannya beralih ke salah satu kelas dan masuk ke sana tanpa aba-aba.
"Reza...Reza, gue perlu ngomong sama lo," ucapnya dengan nada tinggi. "Lo juga Mars, kita perlu ngomong sama kalian," tambahnya membuat Reza dan Marsi menatap satu sama lain.
"Ada apaan, Wa? Bang?" tanya Reza yang mendekati mereka Dewa, Sony, Wira, dan beberapa anak kelas reguler X.
"Ikut kita dulu!" Reza dan Marsi menuruti mereka mengikuti ke arah belakang sekolah yang cukup sepi.
"Gini, lo bisa jelasin ini apa?" tanya Sony mulai menginterogasi, mata Reza dan Marsi membulat sempurna saat melihat video dari ponsel Dewa memerlihatkan Natasha, Juliaa, dan Tian yang membuka kelas prima untuk mendapatkan buku pandora.
"Kalo lo ga bisa jelasin kita bakal adain rapat besar," ucap Wira membuat Marsi menahan emosinya begitu juga dengan Reza.
"Lo ngikutin kita dari kapan?" tanya Marsi pada Dewa. "Bukan urusan lo, harusnya lo jelasin–"
"Jawab, dari kapan?" tanya Marsi dengan wajah mengintimidasi, Dewa mengalihkan pandangannya jujur saja dia paling tidak suka berurusan dengan laki-laki keturunan Belanda itu.
"Cih...Dari observatorium astronomi, gue lihat kalian lari ke sana dan mulai curiga seharusnya kalian ada di lapangan," jawab Dewa dengan malas.
"Jadi kalian cari apa di sana? Jelasin sekarang!"
"Gue ga bisa jelasin di sini, Bang," ucap Reza sambil menatap mereka bergantian. "Kenapa ga bisa?" tanya Sony yang semakin curiga dengan mereka berdua.
"Mars, mau gimana?" tanya Reza dan Marsi menganggukan kepalanya memberi persetujuan. "Gue perlu ngomong sama Bang Sony dan Bang Wira," ucap Reza yang diikuti oleh mereka berdua menjauh dari lima orang di sana.
"Kalo lo nyampe aneh-aneh, abis sih lo," ucap Dewa setengah menekan. "Lo pikir gue ga pernah aneh-aneh dari dulu," tandas Marsi membuat laki-laki itu terdiam menelisik sesuatu dan berpikir untuk memukul Marsi.
"Nyampe gue tahu kalian mukul Marsi, gue pukulin kalian satu-satu," ucap Wira yang menghentikan keinginan Dewa.
"Bang, sebenernya gue dari awal pengen kasih tahu ini. Gue sama Adit juga hampir ngomong sama setiap ketua kelas anak X tentang semua ini, cuma waktu itu ada tragedi Rian. Jadi kepending semuanya gue udah berusaha buat ngomong juga, tapi sikonnya kacau banget," ucap Reza mengawali pembicaraanya pada ketua dan wakil koordinator kelas reguler X.
"Terus apa masalahnya?" tanya Sony ingin tahu, "Gini Bang, kalo kalian pengen tahu dateng aja ke rumah DW no. 3 nanti habis sekolah. Kita bakal jelasin semuanya, gue sama Marsi juga bakal ajak Kak Daniel sama Kak Sarah. Satu hal lagi, Bang jangan bilang ke siapa-siapa, ya Bang. Bang Sony, Bang Wira, sama Dewa aja yang dateng. Tolong ya Bang," ucap Reza bersungguh-sungguh membuat Sony dan Wira kebingungan.
Sony menghela napas panjang pelajaran sosiologi tidak masuk ke dalam otaknya sama sekali setelah informasi dari Dewa kemarin membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Sudah sejak lama dia tahu ada yang janggal dengan anak-anak itu karena tidak biasanya anak kelas reguler A membuat masalah, terutama masalah Juliaa yang mencuri kunci. Pikiran Sony buyar saat melihat ponselnya menampilkan pesan dari seseorang, dengan pelan-pelan Sony membuka ponselnya agar tidak ketahuan oleh Pak Indar.
"Lo nanti dateng? Gue rasa aneh banget dan ga yakin sama anak kelas gue."
"Dateng aja, Sar. Kita ga tahu apapun yang mereka lakuin, kalo mereka buat aneh-aneh kita adain rapat besar terbuka," balas Sony.
"Son, ayo udah waktunya," ucap Wira yang datang ke bangkunya setelah Pak Indar mengakhiri kelas.
"Dewa gimana?" tanya Sony sambil memakai jaket. "Udah di parkiran, tadi Sarah chat gue dia sama Niel udah di depan gerbang sekolah," jawab Wira memberitahu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda 24
Mystery / ThrillerMisteri Sekolah Dharma Widya yang masih belum terungkap sampai hari ini adalah setiap tanggal 24, ruang broadcast akan menyiarkan berita yang membuat seluruh siswa tidak bisa tenang. Bahkan banyak rumor yang beredar bahwa sekolah itu menyimpan sesua...