Chapter III

2 0 0
                                    




























































Chapter III: Spy

"Tell me your name." Sontak, Michael memiringkan wajahnya sebab keheranan atas kalimatnya. Tak langsung mendapat jawaban, lelaki itu pun mendekatkan badannya dan memainkan rambut si puan dengan telunjuknya, "tell me. Your name."

Pintu terbuka, menampilkan sosok Yuan dan Elijah yang wajahnya dipenuhi oleh keringat. Mereka berdua melongo melihat kedekatan mereka berdua, Elijah pun berdeham cukup kuat, "Maaf mengganggu waktu Tuan dan Nyonya, kami tunggu di mobil, ya," ujarnya sembari mendorong badan Yuan menjauh dari sana.

Lagi-lagi puan itu hanya bisa memalingkan wajahnya, "Gue buru-buru, bakal gue ganti nanti kalau gue ke sini." Segeralah ia melepaskan diri dan masuk ke dalam mobil—meninggalkan lelaki itu yang kini terdiam memperhatikan kepergian mobil yang ditumanginya.

Di sisi lain, Elijah menyengir lebar dan terus menatapi perempuan di kursi barisan kedua itu dari sepotong kaca yang menggantung di langit-langit mobil ini. Merasa ditelanjangi olehnya karena itu, Michael pun merotasikan kedua bola matanya kemudian melepas ikat pingganggnya dengan segera lalu mengaitkannya ke leher si pirang dan menariknyna kuat-kuat, "Mata lo bisa biasa aja, gak? Mau gue cungkil?"

Alih-alih melerai, Yuan malah memijat pelipisnya tanpa berniat buat bangkit dan menolong Elijah yang sudah sekarat itu. "Lo mau bilang apa, coba?" ujarnya sembari duduk kembali.

Masih terbatuk-batuk, Elijah pun menyempatkan diri buat kembali menyengir, "How was that?"

Kini tangannya yang bergerak menarik rambut pirang yang hampir tak bisa digenggamnya itu, "WHY ARE YOU ALWAYS ASKING ME AND WHAT DO YOU MEAN BY HOW WAS THAT?"

"THE KISS??? Kalian ciuman, 'kan?" tanyanya dengan wajah yang tiada rasa bersalah sama sekali.

Hampirlah menangis perempuan itu dibuatnya. Ia melempar badannya ke kursi dan memijat dahinya macam apa yang dilakukan Yuan tadi, "Gue sama dia gak ciuman, Elijah. Jangan langsung mengasumsikan begitu. Gue juga bisa kalau lo lupa. Kalian habis making love, 'kan? Kalian keluar dari sana keringatan sebadan-badan soalnya."

"GILA LO!"

"I AM!"

"STOP BERANTEM DAN CEPET JALAN! It's green!" sahut Yuan yang langsung membuat mereka jadi bisu mendadak. Maka tiadalah kompetisi menonjolkan urat di leher antara Michael dan Elijah, akhirnya lelaki berambut hitam itu bisa duduk dengan tenang.

Pandangan sang hawa beralih menatap jendela dan rupanya tengah hujan di luar sana. Tangan jahilnya menurunkan kaca itu dan terulur keluar buat mengecek apakah benar hujan atau tidak. Titik-titik air pun menghujami tangannya, namun sepotong tangan lain yang berbalut kain hitam pun menimpanya.

Lelaki bermotor itu menarik tangan Michael keluar dengan perlahan dan menciumnya, "It's rainy, Ma'am. Nanti lo tambah sakit."

Lewat suara dan mata si pemotor, ia pun bisa mengenali lelaki itu sebagai orang yang sama dengan yang memberinya sapu tangan beberapa waktu yang lalu. sepeda motor gagah itu melesat pergi mendahului mobil mereka, maka Elijah pun bersiul.

"Siapa?" tanya Yuan.

"Spy."

***

Ayah yang menghubunginya tadi bukanlah ayah kandungnya. Lelaki tua itu mengurusi kehidupan Michael sejak dirinya dianiaya oleh kedua orang tuanya. Nama aslinya adalah Gus Salim. Dirinya mengadopsi Michael saat dirinya ada di bangku SMA dan kala itu, ia melihat bocah lusuh itu di depan warung mi ayam miliknya. Michael sangatlah kurus, lusuh, dan basah kuyup akibat hujan.

Michael sangat ingin membawa Idjin kemari juga sebab Gus yang merawatnya dengan baik. Mulai dari kamar sendiri, makan, dan kebutuhan lain bahkan sampai hiburan pun bisa ia dapatkan dengan mudah. Namun entah mengapa pria itu menolak keras dan memberitahunya bahwa Idjin bakal berada dalam situasi yang bahaya jikalau tinggal di sini juga. Ya, mau bagaimana lagi? Dirinya masih bisa diterima dengan baik di sini saja ia sudah kelewat bersyukur.

Namun ia dibuat heran sebab Gus memaksanya buat melamar pekerjaan sebagai pengirim surat di perusahaan itu, kini pria itu makin jarang pulang dan lebih sering berada di rumah perempuan bernama Serena ketimbang di warungnya. Michael tak pernah berpikir macam-macam sebab yang diketahuinya perihal Serena hanyalah perempuan muda yang merupakan adik dari pemilik perusahaan yang menaunginya saat ini.

"Halo," ucapnya begitu teleponnya terhubung dengan Gus. Tak ada balasan dari sana, "saya sudah pulang."

Masih tak terdengar suara, hanya ada bunyi yang ada di dekat pagar pembatas kereta, "Makanan sudah ada di atas meja, Ayah buat jam tujuh tadi." Dirinya melirik jam yang tertancap di dinding putih itu, rupanya waktu telah menunjukkan pukul sembilan, "kalau Hanna sudah pulang, ajak dia makan malam juga, ya."

"Iya, Ayah. Terima kasih."

Sambungan telepon terputus. Hanna adalah perempuan yang sebaya dengan adiknya—Idjin. Dirinya pun sama seperti Michael yang sama-sama mendapatkan perlakuan tak pantas oleh orang tuanya. Gadis itu sangat cengeng dan sering kali menceritakan perihal kehidupannya di sekolah pada Michael—ia sudah menganggap Hanna sebagai adiknya sendiri.

Tepat setelah itu, ketukan pada pintu pun sampai ke pendengarannya, maka Michael segera membukakan pintu dan berjumpa dengan Hanna yang menangis tanpa suara dengan tangannya yang memegang selembar kertas, "Kenapa nangis?"

Masih belum berhenti, ia menunjukkan kertas itu yang merupakan hasil ujian Matematikanya yang mendapat nilai 60, "Aku 'kan sudah les, kalau begini hasilnya, uang ayah jadi sia-sia."

"Masuk dulu," ujarnya sembari mengusap punggung yang lebih pendek, "kita makan dulu, nanti Kakak ajarin soal yang nggak kamu paham."

Ia pun mengangguk, maka mereka duduk di ruang makan dan menyantap telur dadar dan sup ayam buatan Gus yang kini telah dihangatkan oleh yang tertua. Hanna menelan makanannya dan menyentuh tangan Michael, "Tadi aku lihat Idjin." Mendengar namanya, pergerakan perempuan di hadapannya pun terhenti, "dia dipanggil ke ruang kesiswaan karena katanya patahin hidung anak laki-laki kelas sebelah pakai batu bata.

"Hidungnya patah?" tanyanya yang langsung diangguki olehnya, "nggak mati?"

Hanna terdiam sejenak, "Nggak, tapi Idjin juga dipukuli sama cowok itu—namanya Jaka. Terus ada cowok dari kelas lain yang belain dia."

Michael terdiam sejenak, ia belum pernah melihat Idjin bertingkah macam itu setelah lima tahun lalu. Anak itu memang suka menyakiti orang yang mengganggunya menggunakan barang-barang di sekitarnya tanpa berpikir panjang dan itulah salah satu alasan mengapa dirinya mengkhawatirkan kehidupan bocah itu tanpa kehadirannya. Bakal banyak fatal yang terjadi—salah satu yang ia khawatirkan adalah kematian orang tua mereka di tangan mungilnya.

Namun siapa sangka bahwa bocah berbadan mungil itu mempunyai rencana yang matang buat menjalankan semuanya? Michael pun tidak.

Tangannya terangkat buat mengusap rambut kecokelatan milik Hanna, senyumnya mengembang setelah itu, "Hanna, kalau kamu diganggu ... hal mengerikan kayak apa yang Kakak dengar barusan itu boleh aja terjadi, kok. Tuhan membekali kita dengan dunia yang bisa kita jadikan senjata, jangan menangis karena merasa disakiti lagi, ya?"

MICHAEL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang