Chapter XI

3 1 0
                                    

Pintu terbuka dan Michael keberadaan siapa pun di sana. Tepat setelah masuk, suara rekaman pun terputar—mengisi seluruh sudut yang ada di ruangan ini. Michael pun bertanya-tanya perihal siapa yang ada di dalam rekaman itu. Namun seusai orang-orang itu menyelesaikan beberapa kalimat, ia pun tahu bahwa Gus dan Serenalah yang melakukan percakapan itu.

"... ah, kenapa Bapak ambilnya yang masih minor, sih?"

"Kamu tahu Michael? Supaya bisa kayak dia. Kalau anak yang sudah dewasa, pasti sulit untuk dicuci otak. Michael saya urus dari kecil supaya dia merasa memiliki utang ke saya dan segan untuk meninggalkan saya nantinya."

Rupa-rupanya, tak hanya di ruangan ini. Rekaman yang kini tengah terputar tersiarkan ke seluruh ruangan yang ada di gedung ini. Hal itu pun diketahui oleh Gus yang tengah bersantai di istana kesayangannya. Pria tua bangka itu pun kelabakan dan bergegas mendatangi gedung itu.

"Biar begitu, Hannah gampang diajarkan, kok."

Gelak tawa Serena pun terdengar, "Bapak nggak merasa berdosa setelah bilang itu semua ke saya?"

"Nggak." Terdapat jeda seusai kata itu. Napas milik puan itu tercekat, ia macam tak memiliki kebolehan buat bersuara, "kalau pun mereka mati, saya nggak peduli. Yang terpenting, jabatan itu milik saya."

Michael menggigit bibirnya sedang tangannya meremat kuat celana yang dikenakannya. Perlahan, air matanya membanjiri pipinya. Ia betul-betul tak paham dengan apa yang terjadi di tempat ini. Elijah memang memintanya untuk datang kemari seorang diri buat menemui bosnya. Namun alih-alih bersua dengan bosnya, dirinya malah dihadapkan oleh percakapan rahasia ini? Sungguh tak masuk akal. Siapa pula sebetulnya bosnya?

"Karena Michael sudah ada di tangan Adam, Hannah untuk saya ya, Pak?" Lantas mengernyitlah dahinya seusai mendengar nama yang tak asing menurutnya itu, "memangnya apa yang Bapak dapat dari Adam seusai menyerahkan Michael? Sesuatu yang lebih besar dari penawaran saya?"

"Tidak ada. Dia adalah penipu."

Gelak tawa seorang pemuda pun terdengar, Michael pun menoleh ke sumber suara. Itu adalah Adam. Badannya jatuh di atas sofa mewah, sorot matanya kini perlahan tertuju pada Michael yang masih dibanjiri air mata, "Long time no see, Michael." Benar, itu adalah Adam—mantan kekasihnya beberapa tahun lalu, "and long time no see, Gus."

Mendengar itu, sontak puan itu menoleh ke arah pintu yang kini menampilkan sosok Gus dengan penampilan yang kacau, pun dengan napas yang terengah-engah. Buru-buru ia berlari ke sana kemari mencari-cari cara agar rekaman itu bisa dihentikan, "Ayah."

Panggilan itu ia hiraukan bagai angin lalu. Kaki pendeknya masih tergopoh-gopoh mencari apa yang belum ia temukan sedangkan Adam hanya memperhatikan mereka dengan sesekali tertawa kecil. "Ayah," panggilnya.

Pria tua itu gelap mata, ia tak ingin rahasianya diketahui oleh siapa pun. Merasa geram, Michael pun mengambil vas bunga dan menghantam kepala Gus dengan itu. "Gus! Lo tuli atau tolol?" hardiknya. Maka terhentilah semua pergerakannya itu, "gue nggak paham kenapa lo lakuin itu semua ke gue. Apa salah gue sampai lo berniat untuk lakuin itu semua? Gue. Gue nggak pernah sekali pun punya niat buruk buat lo, gue selalu menghormati lo, gue selalu anggap lo sebagai ayah. Tapi apa ini? Lo sama aja kayak si anjing itu."

"Maaf ... maaf," racaunya.

Adam pun menghampiri mereka sembari melipat kemeja bagian tangannya, "Enough, Mike? What should I do to him for you, My Lady?"

"Whatever."

Seringai pun menghiasi wajahnya, "As you wish."

***

Suasana sunyi. Ada Yuan maupun tidak seharusnya tak menjadi faktor kesunyian apartemen ini. Namun entah mengapa Elijah macam tiada eksistensinya di sini. Perlahan, Michael pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Ruangan ini masih berantakan—semua hiasan yang mereka gunakan untuk memberi Yuan kejutan masih berserakan di lantai.

Tercium aroma menyegarkan hidung datang dari dapur. Rupa-rupanya Elijah tengah berkutat dengan kompor hitam itu. Siapa sangka kalau lelaki botak itu bisa membuat sesuatu yang memiliki aroma yang membikin siapa pun banjir air liur.

Tas yang ada di tangan Michael jatuh menghantam tanah, maka Elijah menoleh dibuatnya, "Oh? Udah pulang ternyata, sini, makan."

"Lo udah tahu dari awal, 'kan?" tanyanya.

Lelaki pirang itu tak langsung menjawab. Ia tersenyum tipis dan menunduk. Hela napas pun terdengar, tangannya pun mematikan kompor lalu mendaratkan bokongnya di atas lantai dapur. Elijah turut mengundang puan kacau itu untuk duduk di sampingnya, "Gue cuma kerja, Mike. Gue nggak tahu kalau bakal jadi sefatal ini. Gue minta maaf, ya?"

Michael yang kini duduk di sampingnya pun cuma bisa menunduk sembari memeluk kedua lututnya. Tangan besar itu pun mendarat di atas kepalanya. Elijah mengusap kepalanya, "Mungkin menurut lo Yuan, Gus, Adam, and your father are the same person. But I'm not. Gue nggak punya siapa-siapa di sini, same as you. So, lo boleh mengandalkan gue dan gue pun akan mengandalkan lo."

Menangislah Michael seusai mendengar semua kalimat yang keluar dari mulutnya itu. Belum pernah ia bayangkan dalam hidupnya pelawak macam Elijah bisa bertindak bijak dan mengatakan hal-hal yang menguras air mata. Sibuk menangis—tak sempat mengucapkan apa pun, Michael merentangkan tangannya.

Maka Elijah pun tertawa, "Iya, sini peluk."

Mereka adalah dua jiwa yang tak lagi memiliki siapa pun untuk dipeluk. Michael dengan kepergian Idjin dan Gus, dan Elijah dengan pengkhianatan yang dilakukan Yuan. Kini, mereka hanya memiliki satu sama lain. Orang asing yang awalnya hanya bertemu karena urusan pekerjaan kini malah menjadi satu jiwa yang sama. Saling meremat, saling menguatkan.

Tangan Elijah melayangkan sesendok makanan yang dibuatnya, "Buka mulut lo." Alih-alih langsung menurutinya, Michael malah menangis kembali. Tertawalah ia dibuatnya, "jangan nangis lagi. Muka lo lucu, kayak bebek."

MICHAEL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang