Di sebuah rumah sederhana, terlihat seorang pria membuka pintu rumah itu. Dia berjalan masuk ke dalam bersama dengan istrinya.
Pria itu meletakkan barang-barang bawaannya, lalu menyalakan lampu agar ruangan itu terlihat lebih terang.
"Enggak pa-pa ya, tinggal di sini dulu buat sementara. Nanti kalau aku udah punya uang, kita sewa rumah yang lebih besar dari ini." ucap Erlan tersenyum lembut pada istrinya.
Rania menganggukkan kepalanya, menoleh pada suaminya. "Ini juga udah lebih dari cukup," ucapnya memeluk suaminya dari samping.
Erlan mencium rambut istrinya, mengusap punggung istrinya dengan lembut lalu dia mengusap perut besar Rania dengan lembut. "Maaf ya, Papa sering ajak kamu pindah-pindah. Pasti capek, iya kan? Tapi Papa janji, bakalan kerja lebih giat lagi, biar kita bisa punya rumah sendiri. Biar kita enggak perlu pindah-pindah lagi." ucapnya mencium perut istrinya.
"Kenapa ya, dia enggak pernah minta ini itu? Biasanya Ibu hamil suka ngidam sesuatu. Teman aku di tempat kerja juga istrinya lagi hamil, dia bilang suka minta yang aneh-aneh. Kok kamu enggak, sayang?" Erlan menatap istrinya, ia curiga istrinya tidak berani meminta sesuatu pada dirinya kerena keadaannya yang seperti sekarang ini.
Rania mendudukkan dirinya di kursi, menyandarkan tubuhnya di kursi kayu. "Ya enggak semua orang hamil itu mau ini itu. Aku sih enggak pengen apa-apa," jawabnya sambil mengusap-usap perutnya yang sudah besar. Usia kehamilannya sudah memasuki usia tujuh bulan, tapi selama hamil ia tidak menginginkan apa-apa. Ia juga tidak merasa mual, ia juga makan seperti biasanya sebelum hamil. Hanya saja, sejak hamil ia tidak suka dengan nasi.
"Kamu enggak bohong kan? Kalau pengen makan apa bilang, aku masih ada uang buat beli. Atau kamu mau sesuatu? Misalnya pergi ke mana gitu." ucap Erlan mendekati istrinya.
Rania mendongakkan kepalanya menatap suaminya. "Aku enggak bohong sayang, serius aku enggak pengen apa-apa. Cuma kalau lihat nasi enggak suka aja, tapi aku bisa makan yang lain," ucapnya seraya meraih tangan Erlan, menempelkan telapak tangan Erlan pada perutnya.
"Kalau sore gini anak kamu tuh aktif banget, kadang juga sampai malam. Tapi kalau siang enggak gerak-gerak, kadang suka buat aku khawatir." ucapnya tersenyum pada suaminya. Erlan juga tersenyum ketika merasakan pergerakan bayi di dalam kandungan istrinya.
"Mungkin siang dia tidur, dia tahu. Kalau siang Mama-nya sibuk, Papa-nya pergi kerja, enggak ada yang temenin dia main." ucap Erlan berjongkok di depan istrinya, dia menempelkan telinganya di perut Rania.
Tangan Rania terulur mengusap rambut suaminya. Dulu suaminya itu anak yang di maja, kemanapun dia pergi akan ada yang mengantar dan menjemputnya. Apapun yang dia mau, orang tuanya selalu menurutinya. Namun itu semua berubah setelah memutuskan menikah dengan dirinya.
Awal tingal di kontrakan Erlan cukup kesulitan untuk menyesuaikan dirinya, dia tidak bisa tidur sampai berhari-hari. Ruangan yang kecil, tanpa AC, tidak ada televisi, kamar mandi berbagai dengan tetangga. Hal itu adalah pengalaman pertama kali bagi Erlan, namun sedikitpun Erlan tak pernah mengeluh.
Ia salut dengan suaminya, di tengah kesulitan dia tak pernah mengeluh. Dia tak pernah marah apa lagi kesal dengan dirinya, yang sering memintanya untuk kembali pada keluarganya. Dia hanya membalasnya dengan ucapan.
I will love you till the end of time
"Sayang, kamu belum makan kan? Ayo makan dulu. Barang-barang itu semua, biar aku beresin." ucap Erlan menyadarkan lamunan Rania.
"Kenapa kamu melamun? Capek ya? Ada yang sakit?" dengan lembut Erlan mengusap pipi Rania.
Rania mendongakkan kepalanya menatap suaminya. "Aku cuma lagi mikir, anak kita ini cowok atau cewek ya? Setiap kali USG dia gak mau ngasih kita lihat."
KAMU SEDANG MEMBACA
ERLAN PANDU WINATA (revisi)
Teen FictionCerita ini kelanjutan dari cerita Arga, versi keluarga Erlan. ERLAN PANDU WINATA , anak kedua dari ZIDAN WINATA. Terlahir dari keluarga berada, hidup penuh dengan kemewahan ia tak pernah kekurangan dalam segala hal. Kasih sayang kedua orang tuanya...