Di malam ketika keduanya bermain truth or dare, kecanggungan mulai menyelimuti. Karena Minji kepalang takut dengan jawaban Hanni, maka ia buru-buru pamit untuk pulang.
"Kamu kenapa, Ji? Kok kayak buru-buru banget" ujar Hanni yang menangkap keanehan dari gelagat Minji.
"Gak papa, Han. Takut mama nunggu"
"Kamu kan belum denger jawaban aku" sambung Hanni.
Minji kemudian menghentikan langkahnya. Tapi kemudian ia kembali lagi berjalan, seakan-akan tidak mendengar perkataan Hanni barusan.
"Aku pulang, ya"
Setelah kejadian itu, Minji menjarakkan diri dengan Hanni. Sebutlah ia sebagai pengecut karena tak berani menghadapi masalahnya sendiri.
Hanni yang menyadari hal itu pun merasa tak nyaman. Tiap kali ia ingin mengajak Minji untuk bicara, Minji selalu membjat alasan dan pergi meninggalkannya begitu saja. Dan hal itu sudah berlangsung selama tiga hari.
"Ji, tunggu!" pinta Hanni saat Minji lagi-lagi hendak meninggalkannya begitu saja di jam pulang sekolah.
Kali ini Minji menurut, ia menghentikan langkahnya lalu berbalik menghadap Hanni. Kebetulan hanya mereka berdua yang tersisa dalam kelas.
"Kamu tuh kenapa, sih? Kok giniin aku? Emang aku ada salah apa sama kamu?" tanya Hanni dengan nada marah.
"Aku gak papa" sanggah Minji, masih denial sama perasaannya sendiri.
"Bohong. Kalau gak kenapa-kenapa terus kenapa kamu jauhin aku?"
"Aku gak jauhin kamu"
"Udah, Ji. Ngeles aja terus"
Minji pun merasa tak enak dengan Hanni. Ia juga kesal dengan dirinya sendiri, mengapa jadi sepengecut ini.
"Kamu mau tahu aku kenapa?"
"Enggak, aku lagi gak mood sama kamu" ucap Hanni. Ia lalu mengambil tasnya, kemudian pergi meninggalkan Minji seorang diri.
Bodohnya, Minji tak mengejar Hanni untuk menghentikan langkahnya. Padahal dalam hati kecil Hanni berharap Minji akan berbuat demikian. Dalam perjalan pulangnya, ia terus menangis dan menangisi sikap Minji, orang yang ia cintai.
Saat tiba di rumah, Minji berjalan dengan lesu. Ibunya yang menyambut kedatangannya pun bertanya pada Minji tentang keadaannya.
"Kamu kenapa, Ji? Kok mukanya sedih gitu?"
Minji tak kuat menahan tangis. Ia pun memeluk ibunya.
"Hei... anak Mama kenapa? Siapa yang bikin kamu sedih?"
Minji menggeleng.
"Kalau gak ada, jadi yang bikin kamu sedih itu apa? Ayo cerita sama Mama" ujar Mamanya sambil mengusap pelan punggung Minji yang mulai terisak-isak.
"Ma, kenapa ya jatuh cinta itu menyakitkan?"
Saat mendengar hal itu, ibu Minji menjadi sedikit paham konteks yang membuat anaknya menangis.
"Kenapa kamu bilang begitu?"
"Mama benar, aku jatuh cinta. Aku suka sama Hanni, Ma. Dan pas aku anter Hanni pulang di hari minggu kami main truth or dare. Disitu Minji tahu kalau Hanni punya orang yang dia sukai"
"Emang siapa yang dia sukai, Ji?" tanya ibunya lagi.
Minji menggeleng. "Dia gak kasih tau siapa orangnya karena Minji buru-buru pulang. Minji sedih kalau Minji harus tahu siapa orang itu. Hanni cuma bilang kalau orang yang dia sukai itu pintar, tapi sayang kalau masalah cinta orang yang dia sukai itu jadi bodoh"
Sejujurnya ibunya hendak tertawa. Anaknya memang benar-benar menjadi bodoh ternyata kalau soal cinta. Padahal kan bisa jadi Hanni ingin bilang kalau orang itu adalah Minji sendiri. Tapi sayangnya anaknya ini malah memilih jadi pengecut.
"Ji, kamu mau gak dengerin saran Mama?"
Minji lalu melepaskan pelukan itu, kemudian mendongak untuk melihat ibunya. Lalu mengangkat kedua alisnya menandakan 'apa?'
"Kamu cuci muka. Cari pakaian terbaik kamu. Pakai wewangian, dandan yang rapi. Terus pergi keluar buat beli bunga dan cokelat. Kalau udah, pergi ke rumah Hanni dan bilang tentang perasaan kamu"
"Ih, Mama kok gitu. Kalau Minji ditolak gimana?"
"Lah, emangnya kamu tahu dari mana kalau kamu bakal ditolak? Nyoba aja belum, gimana sih, kamu"
Minji lalu menghela napas panjang. Ibunya kemudian tersenyum lalu membelai bahunya.
"Cobain dulu ya, nak. Mama yakin kok kalau jawabannya gak bakal kecewain kamu"
Maka sekarang Minji sudah berada di depan rumah Hanni. Dengan perasaan yang gugup dan campur aduk, ia memencet bel rumah itu beberapa kali sampai sang empu rumah muncul.
"Loh, Minji?"
Minji terkejut karena melihat Hanni yang menyambutnya dengan mata sembab.
"Kamu nangis??"
Alih-alih menjawab pertanyaan Minji, Hanni berkata,
"Kamu ngapain kesini?"
"Aku... mau minta maaf atas perlakuan aku ke kamu selama tiga hari ini. Aku akui kalau aku salah dan pengecut karena malah menghindari masalah, bukan menghadapinya"
Hanni masih diam menyimak perkataan Minji.
"Aku suka sama kamu, Han. Maaf baru bilang sekarang. Aku terlalu takut. Aku takut kalau kamu gak suka balik sama aku. Aku takut kalau orang yang kamu suka bukan aku. Aku baru kali ini suka sama orang, Han. Jadi semuanya begitu membingungkanku. Dan atas saran Mama, aku belikan bunga dan cokelat buat kamu"
Dengan kepala yang masih menunduk, Minji menyerahkan bunga dan cokelat pada Hanni yang sedari tadi ia simpan di balik punggungnya.
Bukan malah mengambil pemberian Minji, Hanni malah keluar dari balik pintu rumah dan mendatangi Minji untuk memeluknya erat. Kini keduanya menangis bersama-sama.
"Kamulah orang bodoh yang aku maksud itu, Minji. Kamulah orang bodoh yang bikin aku jatuh cinta itu. Syukurnya ada mama kamu yang peka dan nyuruh kamu kesini. Kalau enggak pasti aku yang bakal nembak kamu duluan"
Mendengar hal itu Minji jadi tertawa di dalam pelukan Hanni.
"Emang kamu berani nembak aku?"
"Iya, dong. Apa yang aku takutkan? Lagian kamu pasti bakal nerima aku" canda Hanni.
"Ih, kok kamu pede banget, sih" ujar Minji mencoba bergurau.
"Ya pede, lah. Wong ibumu yang kasih tahu aku kalau anaknya ini diam-diam suka sama aku, yang pastinya foto-foto aku banyak di kamera kamu"
Minji yang mendengar hal itu jadi malu sendiri. Kamera yang ia pakai kebetulan memang punya ibunya dan ia memang banyak sekali menangkap foto Hanni di dalamnya, tentu saja ibunya akan tahu hal itu.
"Hehehe, jadi malu" Minji kemudian membenamkan wajahnya di ceruk leher Hanni.
"Eh, aduh, geli, Ji" ujar Hanni yang merasa geli karena napas Minji berdesir di kulit lehernya.
Minji kemudian melepaskan peluknya. Menatap Hanni yang ada di hadapannya lamat-lamat lalu berkata,
"I love you, Han. So... do you want to be my girlfriend?"
Masih dalam suasana haru, dengan mata yang berkaca-kaca, Hanni menjawab,
"Yes, i do"
Maka disaat senja mulai temaram, keduanya pun resmi menjadi sepasang kekasih dengan perasaan yang baru saja bersemi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tujuh Belas Selamanya | Bbangsaz
Teen FictionPada tahun ini, kita sama-sama menuju angka dua puluh satu. Tapi menurutku, kita tujuh belas selamanya. Pada usia tujuh belas, kita lakukan semua hal bersama dalam pengalaman pertama kita jatuh cinta, setiap hari denganmu menjadi hari perayaan yang...