Chapter 1
8 tahun sudah sejak kepergian Ibu, hari hari aku jalani seperti biasanya, 3 tahun pertama mungkin hampir setiap hari aku merindukan keberadaan ibu, sosoknya sangat penting bagi pertumbuhan aku, namun beberapa tahun belakangan aku sudah mulai bisa merelakan kepergian ibu, dan mulai mensyukuri kehidupan ku bersama bapak, aku mulai menyadari bahwa yang hidup saat inilah yang harus aku syukuri, yang sudah meninggal tetap aku kirimkan doa, tetapi bapak, yang masih hidup itulah yang tidak boleh aku sia siakan dan kecewakan.
Sama seperti hari hari sebelumnya, aku terbangun ketika adzan subuh berkumandang, hari minggu sekolah libur, aku bersekolah di SMA Negeri didaerahku, tidak terlalu jauh dari desa dan rumah tempatku tinggal, benar, aku dan bapak tinggal disebuah desa kecil dipegunungan, sedikit agak jauh dari kota, dengan penduduk yang tidak terlalu banyak, mayoritas mata pencaharian didaerahku adalah bertani dan berkebun, tidak banyak orang kaya didaerah sini, bisa terhitung jari, hanya keluarga RW dan kepala desa yang terpandang memiliki kekayaan yang banyak, kebanyakan disini hidup sederhana sebagai petani.
Aku bangun dari tempat tidurku, membuka jendela kamarku, agar angin angin subuh dapat masuk ke kamar kecil 2 meter x 2 meter, sebelumnya aku tidak punya kamar, hanya ada satu kamar disini, kamar Bapak dan Ibu, ruangan ini sebelumnya adalah gudang kecil tempat bapak menyimpan alat alat kepentingan pekerjaanya, seperti parang, cangkul dan lainya, aku biasa tidur ditengah rumah depan TV, sampai kemudian Ibu meninggal, entah kenapa bapak kemudian memindahkan semua alat alat bekerjanya ke belakang dekat dapur dan membuatkan kamar untukku diruangan ini.
Mataku masih perih dan sedikit buram, efek bergadang mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh guruku, yang seharusnya aku kerjakan minggu kemarin, malah aku kebut dihari terakhir karena terlalu enjoy bermain dan melupakan PR, yah sebenarnya santai sih, dikelas 11 atau 2 SMA tinggal beberapa bulan lagi hingga aku naik ke kelas terakhir, jadi materi pembelajaran hampir selesai, dan ini hanya beberapa tugan pengulangan saja.
Aku berjalan keluar dari kamar menuju kamar mandi, mencuci wajah dan berwudhu, berjalan ke arah kamar bapak, hendak membangunkanya.
Kulihat bapak tidur berbaring terlentang, mengenakan kaos singlet putih tanpa lengan dan sarung, kedua tangan bapak terlipat dibelakang kepalanya, menunjukan bulu ketiaknya yang lebat, kudekati bapak, menaiki kasur dan duduk disamping bapak yang tertidur, kuperhatikan wajahnya, garit raut penuaan sudah mulai terlihat diwajah bapak, kulit coklat hasil dari terpaan matahari, sedikit gelap, namun tetap bersih, alis tebal serta kumis tebalnya menjadi sebuah aksesoris yang menghiasi wajahnya, baru sadar aku, bapak ternyata tampan, dadaku bergemuruh, apa ini, tidak pernah aku merasakan hal seperti ini.
"Pak!, Bapak!, Bangun pak, subuhan." Panggilku pelan.
Tangan belang bapak bergerak, mengencangkan sarung yang dipakainya, tangan bapak yang besar dan berotot, gempal tapi bukan gempal yang menjijikan, kusentuh tangan itu, sambil menggoyangkanya pelan, kokoh dan keras tanganya, goyangan tanganku berubah menjadi elusan lembut ditangan bapak.
"Bapak, bangun pak, udah pagi." Lanjutku berusaha membangunkan bapak.
Tangan bapak kini bergerak lagi, bergerak kebawah mengencangkan sarungnya yang hampir copot, ku arahkan pandanganku ke sarung bapak, ada sesuatu disana, sebuah gundukan besar, seperti sedang berdiri, membuat sarung yang dipakai bapak mencuat seperti tenda, darahku berdesir, bulu kuduk ku merinding, aku menelan ludah, baru pertamakali aku melihat bapak seperti ini, biasanya tidak pernah, masih belum bangun juga bapak, ku pindahkan tanganku dari lengan bapak menuju perut bapak, perutnya yang sedikit buncit itu bergerak pelan naik turun ditanganku, ku usap usap tanganku diperut bapak, hangat, hatiku berkata untuk meneruskan pergerakan tanganku kebawah sana, ke arah sarung bapak, namun akal sehatku sadar, itu bukanlah hal yang etis, tidak sopan, aku terus mengusap usap perut bapak lembut, mencoba membangunkanya, bangun pun tidak bapak, dia kembali menggerakan tanganya, hingga sekarang kembali berpindah ke belakang kepalanya.
Aku menyerah, kuusap wajahku yang sedikit basah karena air wudhu, aku kemudian ikut tiduran dekat bapak, memposisikan kepalaku tepat diketiak bapak, tangaku masih berada diperut bapak, kubenamkan wajahku diketiak bapak, kuhirup dalam dalam aroma ketiak bapak, aroma deodorant yang bercampur dengan wangi musky dari keringat bapak, mataku bergerak keatas, kenikmatan wangi ketiak bapak membuat badanku panas, darahku bergejolak, hangat, kuulangi proses menghirup aroma bapak dalam dalam hingga beberapa kali, tanpa sadar aku menggenggam perut bapak, membuat bapak menlenguh pelan.
"Aduhh!." Kata bapak.
Kulihat wajah bapak yang kini matanya setengah terbuka, melihat kearahku. "Andi?, Ngapain di disini?." Tanya bapak setengah sadar.
Aku bubur bangun dari posisi tiduranku, kini terduduk disamping bapak.
"Andi bangunin bapak, tapi bapaknya susah bangun." Balasku sambil merengut.
"Haha, iya Di, aduh bapak capek banget, panen kemarin banyak banget, belum selesai juga, hari ini masih panen." Jawab bapak sambil kembali menutup mata.
"Ish, bapak jangan tidur lagi atuh, ini udah subuh, bangun bangun." Jawab ku sambil mengoyangkan badan bapak.
"Hmmm, sebentar lagi aja, sini Andi ikut tiduran sama bapak, nanti kita subuhan bareng." Jawab bapak sambil menarik badanku untuk kembali tiduran, aku hanya bisa pasrah, kini bapak memeluku erat, aku hanya bisa berpura pura kesal, padahal hatiku berjingkrak bukan
main bisa dipeluk bapak gini, walau hanya sebentar, karena setelah itu, bapak tiba tiba bangun sambil melempar bantal kearahku.
"Hahaha, ayok Di bangun, bapak lupa, harus kesawah lebih awal pagi ini." Kata Bapak sambil berjalan keluar kamar, aku hanya bisa merengut kesal sembari berjalan keluar dari kamar bapak untuk mengambil sarung untuk subuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGGODA BAPAK
General FictionHidup berdua bersama Bapaknya selama beberapa tahun membuat Andi sadar, bahwa apa yang selama ini Bapaknya lakukan semata-mata hanya untuk membuatnya bahagia, ikuti kisah kehidupan Andi dan Bapaknya, Mamat, beberapa tahun setelah kematian Ibundanya.