Chapter 2
"Di!! Andi!!." Teriak bapak memanggilku. "Iya pak, ada apa ?."
"Tolong buatkan bapak kopi ya Di." Pinta Bapakku. "Okedeh Pak, tunggu bentaran ya."
Aku berjalan kedapur untuk kemudian membuatkan kopi hitam dengan sedikit gula khas dan khusus kesukaan bapak, bapak memang suka kopinya sedikit agak pahit.
"Ini pak kopi nya." Kataku sambil menyimpan segelas kopi itu dimeja depan bapak. "Hmmm, makasih ya Di." Jawab bapak sambil matanya masih fokus menatap tv didepan. "Nonton apa sih, pak ? Serius amat." Tanyaku.
"Ieu Di, biasa berita pemilu, meni seru gini ya, debat semalem." "Hmmm, kirain teh nonton apa."
Ku perhatikan bapak dengan seksama, kali tidak menggunakan singlet putih tanpa lengan, melainkan bapak menggunakan seragam bekerja kebanggaanya, yaitu kaos lusuh berwarna hitam dan celana katun yang sudah banyak sobek dibagian kakinya, bersih pakaianya, hanya rusak saja, karena setiap bapak pulang dari sawah, aku selalu memastikan untuk mencuci pakaianya, agar tidak banyak baju kotor yang menumpuk.
"Di, kamu gak ada yang pengen dibeli gitu?." Tanya bapak tiba tiba.
"Kok tiba tiba nanya gitu pak ?, Perasaan aku lagi gak butuh apa apa deh." Jawabku.
"Nggak, bapak kan ini lagi panen, terus kayaknya dapetnya banyak juga, siapa tahu kamu pengen beli sesuatu, nanti bapak kasih uangnya."
"Wahhh, beneran pak ? Hmm Andi sih pengen beli sepatu baru aja pak, sepatu Andi yang ini pinggiranya kayak udah cekah gitu pak."
"Nahh itu dia, yaudah nanti hari selasa habis kamu pulang sekolah, kita beli sepatu ke kota ya Di."
Aku menangguk setuju beberapa kali, lalu dengan cepat memeluk bapak dengan erat, mengalungkan kedua tanganku dileher bapak, bapak yang tidak siap dengan pelukanku, terjengkang kebelakang, bersandar pada sofa panjang dan lusuh.
"Waduhh Di, kamu ini main peluk peluk aja, bapak kan jadi kaget." Kata bapak sambil membalas pelukanku, ku hirup dalam dalam aroma leher bapak, wangi sabun menyeruak dihidungku, tidak ada bau keringat bapak yang kuinginkan, mungkin karena belum beraktifitas, jadi hanya aroma sabun yang dominan, ku gesek gesekan hidungku dicekung leher bapak.
"Aduduh Di, udah ah geli bapak." Kata bapakku sambil membangunkan badanya dan melepas pelukanya.
"Hehe, Andi seneng banget pak, jadi reflek meluk bapak."
"Bapak juga ikut seneng kalo liat kamu seneng, bapak kerja juga kan buat siapa lagi kalo bukan buat kamu Di." Kata Bapak sambil kemudian menyeruput kopinya, ku perhatikan area dimana bibir bapak menyentuh gelas kopinya.
"Yaudah atuh ah, bapak mau berangkat, udah kesiangan ini, harusnya dari tadi berangkat." "Kopinya diminum cuman dikit pak."
"Iya gak apa apa lah, kamu saja yang habiskan Di, yah, assalamualaikum." Aku mencium tangan bapak, dan mengantar kepergian bapak ke sawah sampai diluar puntu, melihat dan memperhatikan punggungnya dari jauh hingga hilang dalam pandangan menuju ke sawah.
Aku kembali duduk didepan tv, mengambil gelas kopi milik bapak, melihatnya dengan teliti, mencari area ujung gelas yang basah bekas bibir bapak, setelah ketemu, langsung saja aku meminum kopi itu, tepat diarea bapak meminumnya, merasakan sensasi berciuman dengan bibir bapak di area gelas itu, menutup mata sambil membayangkan bercumbu dengan bapak, ahhh, fikiran ku sejak tadi subuh seperti menjadi sangat liar dengan bapak, setelah selesai aku kedapur untuk mencuci gelas dan piring piring bekas semalam makan.
Memang sejak Ibu meninggal, kedekatan ku dengan bapak menjadi bertambah, mungkin karena kami sama sama ditinggalkan oleh orang yang sangat kami butuhkan, jadi kami berdua saling bergantung kepada satu sama lain, sempat kutanya apa bapak ingin menikah kembali, bapak hanya tersenyum sambil berkata bahwa dia ingin fokus membahagiakan dan merawat satu satunya peninggalan ibu, yaitu aku.
Kulihat foto yang tergantung di tengah rumah sederhana kami, fotoku dan bapak tepat dihari ulang tahunku yang ke 15, tangan bapak merangkulku, kami berdua tersenyum lebar kearah kamera, tidak banyak yang berubah dari wajah bapak dulu dan sekarang, mungkin sekarang uban dirambut bapak mulai muncul sedikit lebih banyak, diusianya yang tahun ini menginjak 53, bapak masih sangat bugar, memang, badan bapak tidak sekekar ketika dia masih muda,
tetapi menurutku, bapak yang sekarang malah lebih hot dengan badan khas bapak bapak pada umumnya, sedikit buncit, tapi masih proposional, rambut pedek dengan uban yang tipis tipis membuat bapak makin berkharisma, dadaku berdesir kembali, sesuatu bergerak dibawahsana, benar, kanjut ku perlahan berdiri memikirkan semua itu dengan bapak, aku menggelengkan kepalaku lalu melanjutkan kegiatanku dihari minggu ini, yaitu memasak untuk mengantarkan bekal bapak nanti siang.
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 11.30 siang,memasak benar benar membuat waktu menjadi cepat, menu untuk bapak hari ini adalah ayam goreng bawang putih, sambal tanpa terasi, tahu goreng dan lalapanya daun singkong rebus, menu kesukaan bapak, memasukan semua masakan kedalam rantang, tidak lupa termos berisi air teh panas, setelah semua siap, aku kemudian berjalan menuju sawah tempat bapak bekerja.
Tidak terlalu jauh dari rumah, kampung memang sepi, selain karena warganya yang sedikit, rumah rumah disini juga agak berjarak satu sama lain, dari rumahku ke rumah tetangga terdekat saja sekitar 20 meter an jaraknya, juga karena kebanyakan warga berada diladang dan sawah, anak anak pun jarang, anak sebayaku saja hanya ada beberapa, bisa dihitung jari.
"Andi!." Panggil seseorang.
"Eh Pak Kades, pagi pak." Sapaku ternyata yang memanggilku adalah pak Kades, seorang pria yang kira kira hampir seusia bapakku, namanya Kades Deden, selalu berpenampilan rapi dan necis dengan kumis yang selalu terisisir rapi, namun tidak dengan rambutnya, karena dia botak licin haha.
"Mau nganterin makan buat Mang Mamat kan Di ?." Tanya nya.
"Iya pak Kades, tadi bapak belum bawa makan siangnya, makanya ini aku anterin, sekalian jalan jalan disawah."
"Nah, kebetulan banget, saya mau titip uang ke mang Mamat, bilangin aja, ini uang tomat yang kemarin pak Kades beli." Katanya sambil menyerahkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan ke tanganku.
"Oh baik pak, nanti saya berikan ke bapak."
"Makasih ya Di, kalo gitu saya duluan, mau ada rapat."
"Muhun pak silahkan." Jawabku sambil melanjutkan perjalanan menuju bapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGGODA BAPAK
General FictionHidup berdua bersama Bapaknya selama beberapa tahun membuat Andi sadar, bahwa apa yang selama ini Bapaknya lakukan semata-mata hanya untuk membuatnya bahagia, ikuti kisah kehidupan Andi dan Bapaknya, Mamat, beberapa tahun setelah kematian Ibundanya.