Pagi itu begitu cerah, sinar matahari menembus jendela kamar, memaksaku untuk perlahan membuka mata. Di tengah rasa kantuk yang masih menyerang, suara Ayah terdengar akrab di telingaku. "Ndok, ayo bangun. Udah siang, mau sekolah endak?" katanya dengan nada lembut namun tegas.
Aku hanya bergumam, menggulung diriku lebih dalam di balik selimut. "Umhh... sekolah, tapi nanti, masih mau tidur," jawabku setengah mengantuk, berharap bisa mencuri beberapa menit lagi untuk tidur. Ayah hanya tertawa kecil, seperti sudah memahami kebiasaanku setiap pagi.Setelah sarapan, saat ada waktu senggang, Ayah sering duduk di ruang tamu sambil menyeruput teh hangat. Di saat-saat seperti itulah ia sering bercerita tentang masa kecilnya. "Dulu, Ayah selalu bangun sebelum matahari terbit," katanya, "Ayah harus membantu Kakek di sawah sebelum sekolah. Kerja keras sudah jadi bagian dari hidup Ayah sejak kecil."
Aku duduk mendengarkannya dengan perhatian. Setiap kali Ayah bercerita, ada semangat yang terpancar dari wajahnya, meskipun ceritanya sering kali tentang beratnya tanggung jawab yang ia pikul. Dari cerita-ceritanya, aku selalu merasa ada sesuatu yang ingin Ayah ajarkan kepadaku—tentang bagaimana hidup itu harus dijalani dengan kerja keras dan tanggung jawab, tidak peduli seberapa sulit.
Setiap cerita Ayah selalu menarik, seolah membawa kami ke masa yang jauh berbeda dari kehidupanku sekarang. Walaupun begitu, ada banyak pelajaran yang ia sampaikan tanpa harus langsung mengatakannya. Itulah Ayah, seseorang yang selalu mengajarkan lewat tindakan dan kisah-kisah masa lalunya.
>><<
Pagi itu, seperti biasa, aku sudah siap dengan seragam sekolah yang rapi. Ketika aku sedang memeriksa tas sekolahku, suara ibu terdengar dari dapur. "Yah, anterin Leni sekolah, nanti telat itu anak," serunya dengan nada khawatir.
Ayah yang sedang bersantai di ruang tamu, memandangku dengan senyuman penuh semangat. "Baik, ayo Ayah antar sekolah, Nak," jawabnya dengan suara yang selalu menenangkan. Aku merasa lega mendengar jawaban itu, karena Ayah selalu menjadi sopir andalan dalam perjalanan pagi menuju sekolah.
Aku berlari kecil menuju motor, yang sudah terparkir di halaman rumah. Ayah membantuku naik dan memastikan helm terpasang dengan aman di kepalaku. Perjalanan ke sekolah adalah waktu yang menyenangkan. Di sepanjang jalan, Ayah seringkali mengajakku berbicara tentang berbagai hal—mulai dari tugas sekolah hingga cerita-cerita menarik dari masa lalunya."Nak, hari ini ada pelajaran apa di sekolah?" tanya Ayah sambil memacu motor dengan hati-hati. Aku menjawab dengan antusias, menceritakan tentang pelajaran baru yang akan dipelajari di kelas.
"Bagus, jadi kamu bisa bersiap-siap dengan baik," kata Ayah. Suaranya selalu penuh semangat, seolah-olah ia juga ikut bersemangat tentang pelajaran yang aku ceritakan.Sesampainya di sekolah, Ayah selalu memastikan aku masuk ke area sekolah dengan aman sebelum berpamitan. "Jangan lupa belajar dengan baik, ya. Ayah tunggu di sini nanti saat pulang," pesannya dengan lembut.
Saat hari-hari seperti ini, aku merasa sangat beruntung memiliki Ayah yang selalu ada untuk mengantarku dan memberikan semangat. Perjalanan pagi menuju sekolah, walau sederhana, adalah momen yang selalu penuh dengan perhatian dan kasih sayang Ayah.
>><<
Sesampainya di kelas, aku melangkah dengan penuh semangat menuju tempat dudukku. Di sana, aku melihat Febi, teman lama dari taman kanak-kanak yang sudah ku kenal sejak kecil.
YOU ARE READING
Andai Ayah Kembali
RomansaFitri seorang mahasiswa yang sedang mencari jati dirinya.