Pembuka

30 2 0
                                    

Katanya pelangi akan tiba begitu badai reda. Tapi Tuhan, apa benar akan ada pelangi di akhir badai ini?

•••

Keluarga bahagia,
Karir yang kian menanjak,
Percintaan romantis ala drama,
Ekonomi semulus jalan tol,
Hidup diselingi tawa tanpa ketakutan.

Jelas semua orang menginginkannya, tanpa terkecuali. Tapi, apa semua orang bisa mendapatkannya?.

Adakah cara untuk mendapatkan kelima hal tersebut? Jika iya, sekiranya apa yang harus dikorbankan?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya selalu berputar dalam kepala seorang perempuan. Perempuan pendek bertubuh besar yang identik dengan pakaian longgar dengan kain berwarna hitam. Padahal saat ini dia sedang diserang melalui kata-kata tajam oleh segerombolan anjing kampung, tapi matanya sulit sekali untuk fokus pada objek-objek tersebut.

Maniknya berkeliling, melihat orang-orang yang menatap nasibnya dengan senyum. Dan lagi hatinya termenung, bagaimana kira-kira perasaan orang-orang tersebut saat melihatnya berada di situasi memalukan dan tak nyaman ini? Apa yang membuat mereka senyum selebar itu? Apa ini lucu?.

"Enak banget lo, gaji sama-sama UMR tapi kerja lo cuma nempel material di meja doang?" Seloroh pria berambut dicepol yang sudah bertolak pinggang di hadapannya.

Lelah. Dia benar-benar lelah menghadapi pertanyaan dan situasi yang selalu sama ini. Jika dia saja bisa lelah, apa mereka yang melakukan aksi berulang ini tak merasakan hal serupa? Apakah mereka justru senang melihatnya menggebu-gebu seperti sebelumnya?.

Dengan perasaan letih, dia memutar perhatiannya dan menghentikannya pada pria bertubuh jangkung itu. "Gue juga nggak mau kali luntang-lantung kaya orang gila, tapi ya gimana, leader lo sendiri yang minta gue jadi anak tempel. Lagian kalo gue jadi operator printing kaya lo, nanti gue nyablon di mana? Mejanya kan udah cukup buat operator cowok,"

Henti sebentar. Usai menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan, dia pun menambahkan. "Kalo mau protes ya protes aja ke leader, gue mah cuma bawahan." Jelasnya tak bertenaga, berbeda dari hari-hari sebelumnya.

"Halah itulah alesan lo aja. Meja kan banyak, tuh buktinya gue pegang 2 meja!"

"Tau nih, kalo gini mah mendingan gue juga jadi anak tempel aja dari pada operator printing. Gaji sama, tapi kerjaan beda!" Timpal operator pria lainnya.

Bersama senyum pongah di wajahnya, pria berambut dicepol tersebut memusatkan kembali perhatiannya pada perempuan di hadapannya.

"Tuh, lo denger sendiri kan?"

"Ya udah, iya."

"Eh kayanya kemarin ada yang bilang nggak pengin punya tetangga, kira-kira siapa ya yang ngomong gitu?"

Tiba-tiba saja perhatian-perhatian yang tak perlu kembali terhenti pada perempuan itu. Dia tau apa ini, dan lagi-lagi dia pernah mengalaminya beberapa hari silam. Semua dimulai saat dia diberi pertanyaan random oleh rekan kerjanya soal kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat.

Bodohnya dia karena menuangkan argumen di sana. Argumen yang selalu dia cap sebagai kebenaran, kini menyerangnya di depan umum. Dan lihatlah akibatnya, dia kembali ditertawakan.

"Beneran?"

Tangan yang semula bertolak pinggang pun berganti menjadi bersidekap dada. "Kalo gitu lo tinggal di hutan aja, gue yakin sih, pasti tetangga lo juga nggak suka punya tetangga kaya lo!" Imbuhnya sambil membingkai sebuah senyum remeh.

Untuk sesaat perempuan itu diam. Apakah ini lelucon? Atau dia benar-benar tengah diperlakukan karena argumen dan posisinya yang diganti karena kebijakan pabrik? Tapi jika ini memang lelucon, lalu mengapa mereka memasang wajah serius? Dia benar-benar bingung harus menanggapi bagaimana.

"Yah, kayanya sih iya." Si perempuan bergumam pelan dengan diikuti senyum getir di wajah masamnya.



•••

Aku nggak tau banyak soal bullying
Tapi menurut reader ini termasuk bullying atau bukan? Kalo iya kenapa dan kalo nggak kenapa?

Komen ya...

PULANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang