4. Jalan setapak

1 0 0
                                    

Jim dan Erik berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi setelah berhasil keluar dari rumah Jihan. Suasana siang yang dingin dan sepi menambah ketegangan mereka. Mereka terus berjalan tanpa arah yang jelas, hanya berusaha menjauh dari rumah Jihan dan mencari tempat yang lebih aman.

Erik tampak semakin frustasi seiring berjalannya waktu. Dia melangkah dengan cepat dan terus-menerus menghela napas. "Jim, aku sudah bilang dari awal bahwa aku tidak mau ikut ke kampung ini. Sekarang lihatlah kita-kita tersesat dan tidak tahu harus ke mana."

Jim, yang juga merasa sangat cemas dan lelah, mencoba untuk tetap tenang. "Erik, aku tahu ini sangat sulit. Tapi kita harus tetap tenang dan berpikir jernih. Kita akan menemukan jalan keluar."

Erik berhenti sejenak dan berbalik menatap Jim dengan tatapan marah. "Tenang? Bagaimana bisa aku tenang? Kita sudah mengalami semua ini-kejadian di parkiran, situasi dengan Jihan-dan semua ini karena kau memaksaku ikut penelitianmu. Aku benar-benar merasa terjebak di sini!"

Jim merasakan kemarahan Erik yang semakin meningkat. "Aku tidak memaksamu! Aku hanya ingin menyelesaikan penelitian ini dan mendapatkan hasil yang baik. Aku tidak mengira semuanya akan jadi seperti ini."

Erik memandang Jim dengan frustrasi. "Kau bilang kita hanya perlu mengambil mobil dan pulang. Sekarang mobil kita hilang, kita diserang preman, dan sekarang kita terdampar di sini tanpa arah. Aku merasa seperti semua ini adalah kesalahanmu!"

Jim mengerutkan kening, perasaan bersalah dan frustrasi memenuhi pikirannya. "Baik, baik. Aku minta maaf. Aku juga merasa tertekan dan bingung. Kita harus bekerja sama untuk keluar dari sini."

Erik merasa semakin emosi dan meluapkan semua kekesalannya. "Kerja sama? Kita berdua sudah berada dalam situasi yang mengerikan dan semuanya semakin buruk. Aku tidak tahu seberapa lama kita harus terus begini!"

Jim, merasa kelelahan dan tidak ingin memperburuk situasi, memutuskan untuk mengalah. "Oke, oke. Aku mengerti. Ini semua adalah kesalahanku. Aku minta maaf. Aku akan mencari cara untuk kita keluar dari sini."

Erik tampak sedikit lebih tenang setelah Jim mengakui kesalahannya. Dia menghela napas panjang dan duduk di sebuah batu besar di tepi jalan. "Aku hanya tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa sangat putus asa."

Jim duduk di sebelah Erik, berusaha untuk menenangkan dirinya. "Kita harus tetap bersama dan saling mendukung. Kita bisa mencoba mencari petunjuk atau tanda-tanda yang bisa membantu kita menemukan jalan keluar."

Setelah beberapa saat, mereka berdua berdiri dan melanjutkan perjalanan, berusaha mencari jalan atau petunjuk yang bisa membantu mereka. Meskipun ketegangan di antara mereka masih terasa, mereka berusaha untuk tetap fokus pada tujuan mereka: menemukan jalan kembali ke tempat yang aman.

Sambil melanjutkan perjalanan di jalan setapak, mereka saling berbicara dengan lebih tenang dan berusaha untuk menyusun rencana. Mereka tahu bahwa mereka harus berusaha keras untuk mengatasi situasi yang sulit ini dan menemukan cara untuk keluar dari kampung yang penuh misteri ini.

***

Setelah lama berjalan menyusuri jalan setapak yang sunyi dan berliku, Jim dan Erik akhirnya menemukan sebuah gedung besar yang tampak seperti pondok pesantren. Gedung itu berdiri kokoh di tengah hutan, dengan cahaya redup yang memancar dari beberapa jendela. Suasana di sekitarnya begitu hening, membuat mereka merasa sedikit tenang setelah perjalanan penuh ketegangan.

Dengan rasa penasaran dan kelelahan, mereka memutuskan untuk mendekati pintu utama. Begitu mereka mengetuk, pintu terbuka dengan lembut dan seorang pria berwajah teduh menyambut mereka. Di dalam, suasana hangat dan ramah menyelimuti. Beberapa orang berpakaian sederhana duduk di ruang utama, mengobrol dalam bisikan.

"Silakan masuk," ujar pria itu sambil tersenyum ramah. "Kalian pasti kelelahan. Kami tahu kalian tersesat."

Jim dan Erik tertegun sejenak. Mereka belum sempat menjelaskan apa pun, namun orang-orang di dalam gedung tersebut tampak sudah mengerti situasi mereka. Tanpa banyak bertanya, orang-orang itu segera menawarkan bantuan, mempersilakan mereka untuk masuk lebih dalam dan beristirahat di sebuah ruangan yang nyaman.

"Tenang saja, kami akan menyiapkan kendaraan untuk kalian pulang. Sementara itu, beristirahatlah di sini dulu," lanjut pria tersebut, sambil mempersilakan mereka duduk di kursi panjang yang ada di sudut ruangan.

Jim dan Erik merasa lega. Setelah semua keanehan yang mereka alami, sambutan hangat ini terasa seperti oase di tengah padang pasir. Namun, di balik rasa lega itu, ada sedikit perasaan aneh yang tak bisa diabaikan, seolah-olah tempat ini terlalu tenang, terlalu sempurna, seakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik keramahan itu.

SHADOW: In the Remote VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang