FEELING GUILTY

16 4 0
                                    

Aku berlari menyusuri lorong yang tidak terlalu ramai ini. Sekumpulan informasi akan aku dapatkan setelah ku ketahui di mana dia berada saat ini. Alsaki Raka Sahasya, bagaimana dia bisa berada dalam posisi seperti ini?

Dengan nafas tersendat-sendat, tetap ku usahakan untuk bertanya, "permisi, ruangan nomor 148 ada di lantai berapa, ya?"

Perempuan itu menjawab, "di lantai dua ya, Kak."

"Terima kasih!" ucapku yang kemudian lari tunggang langgang ke arah lift menuju lantai dua.

Pintu lift mulai terbuka, menandakan aku sudah sampai di lantai dua. Aku lihat satu persatu nomor di pintu kamar dan menemukannya, "itu kamar nomor 148!"

Tok tok tok!

"Silahkan masuk!" terdengar jawaban dari dalam kamar.

Aku membuka pintu kamar tersebut dan mendapati seseorang sedang tertidur dalam ranjang putih.

"Ana, sini sayang," ajak Bunda Alsa.

Air mataku tidak sengaja menetes, "Bunda, Alsa kenapa?"

Aku menutup pintu lalu berjalan menuju arah Bunda. Bahkan, Bunda sudah siapa merentangkan tangannya untuk mendekap ku dalam kehangatan hati.

"Bundaaaaaa, Alsa kenapa?" tak bisa dihindari lagi, tangisanku pecah seketika. Yang aku lihat, terdapat luka di sekitar tangan dan kaki Alsa, tapi aku belum tau apa yang terjadi dengannya.

"Alsa kecelakaan, Ana. Sore hari, sepulang dari rumahmu, dia izin ke Bunda buat pergi sebentar. Belum ada 20 menit, Bunda ditelepon pihak rumah sakit dan bilang kalau Alsa kecelakaan. Bunda pun belum tau apa yang terjadi sama dia di jalan tadi."

Aku menyalahkan diriku sendiri atas kejadian ini. Kemungkinan ini ada sangkut pautnya dengan ucapanku saat di mall tadi. Aku menyakiti hati Alsa. "Apa ini sebabnya dia memilih warna botol biru muda? Apa aku salah dalam pemilihan kata-kata? Apa sesakit itu mendengar ucapanku? Maaf Alsa, beribu maaf jika akulah penyebab kamu jadi seperti ini," batinku yang dihiasi dengan tangisan hebat.

Pelukan Bunda aku lepaskan secara perlahan. Aku mulai mendekati Alsa, menatap wajahnya, dan memegang telapak tangannya. "Al, tolong bangun," ku ucapkan mungkin 10 kali pun ada.

Jari-jari Alsa bergerak, itu menandakan sebentar lagi dia akan siuman. "Bunda, jari Alsa gerak-gerak!" sontak Bunda segera memencet tombol yang ada di tembok guna memanggil dokter.

Setelah diperiksa dokter, Alsa dinyatakan baik-baik saja dan akan segera pulih. Dokter memberikan saran kepada aku dan Bunda untuk tetap menemani Alsa sampai dia sembuh. Karena hal utama yang dibutuhkan orang sakit adalah dukungan dari orang terdekatnya.

Dokter meninggalkan ruangan, ini saatku untuk menanyakan kejadian sebenarnya. Aku bertanya, "Al, gimana ceritanya kamu bisa kecelakaan gini?"

Bunda Alsa mengerti dengan keadaan kami berdua, sehingga Bunda berkata, "kalian ngobrol berdua dulu, ya? Bunda tunggu di luar," ucap Bunda sembari mengelus lembut rambut Alsa, lalu meninggalkan kami berdua dalam ruangan tersebut.

Masih dengan posisi memegang telapak tangan Alsa, dia menyadarinya, dan berusaha melepaskan peganganku dengan perlahan. "Na, katamu sebaiknya nggak dulu, kan?"

Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar perkataan Alsa. Dugaanku tidak salah, Alsa kecelakaan karena ucapanku.

"Kamu pergi ke mana setelah dari rumahku?" tanyaku memastikan.

"Na, sometimes we can easily forget what others are passionate about, when we've found someone new. And that happens to you, I guess. Kamu lupa ya dari kecil aku seneng banget sama balapan? Karena selalu nonton balap, jadinya setiap masalah yang aku punya, kalau itu nggak bisa aku omongin sama Bunda, balapan ada pelampiasanku, Na. Aku juga bohongin Bunda kalau malem-malem pengin balapan. Bahkan, saat aku tau masalah nggak akan mereda cuma dengan balapan, aku tetep lakuin. Kenapa? Itu jalanku satu-satunya biar lega, Na. Seandainya aja pas SD kita nggak pisah, aku nggak akan kayak gini, Na. You're my best place to lean on and vent after Bunda."

"Kamu sakit hati sama ucapanku tadi ya, Al? Aku benar-benar minta maaf ya, Al. Maaf karena ucapanku kamu jadi seperti ini," ucapku namun dengan kepala tertunduk. Aku tidak bisa menatap mata Alsa di saat seperti ini, sulit rasanya.

"Kalau aja aku ngomong alasan sebenarnya, kamu juga nggak akan paham, Na. All of this is hard to explain."

"I'm sorry, I mean it, Al."

"Tatap mataku, Na," perlahan aku arahkan kedua netraku untuk bertemu dengan kedua netra Alsa.

"Aku seneng kamu bisa hidup dengan bahagia tanpa aku selama 10 tahun ini. Aku seneng kamu bisa ketemu banyak orang yang sayang sama kamu. Aku seneng kamu bisa ketemu sama seseorang yang kamu sukai, meskipun sekarang udah nggak lagi. But at least you met him before the heartbreak. Tapi aku, aku sulit jauh dari kamu, Na. Aku emang punya temen baru, tapi pikiranku selalu tertuju ke kamu, Na. I need you in my life."

"Aku di sini ada buat kamu, Al. Jangan sungkan buat minta bantuan apapun ke aku, okay?"

"Kamu juga, Na, repotin aku semau kamu. Ceritain semua ke aku, apapun itu. Aku juga akan selalu ada buat kamu, Na."

"Janji nggak balapan lagi?"

"Kalau nggak janji gimana, Na?"

"Sedikit demi sedikit dicoba dulu, Al, tapi jangan semuanya kamu lampiaskan sama balapan. Sayang nyawamu, Al."

"Nyawaku aja yang disayangin, akunya nggak?"

Aku bingung dengan ucapan Al, karena itu aku bertanya "Al?"

"Nggak Na, aman kok, bercanda itu. Na, boleh tolong panggilin Bunda?" aku mengangguk tanda setuju. Menuju ke arah pintu dan memanggil Bunda.

"Bunda...," ucap Alsa menahan air matanya untuk tidak jatuh.

"Al, anak Bunda, bagian mana yang sakit sayang?" tanya Bunda dengan raut muka khawatir. Seorang ibu di seluruh penjuru dunia ini pastinya khawatir dengan keadaan anaknya, apalagi saat mendengar bahwa anaknya mengalami kecelakaan seperti halnya Alsa.

Alsa memeluk Bunda, tutur katanya yang lembut berkata, "Al nggak apa-apa Bunda, nggak ada yang sakit. Bunda, maafin Al ya, Al udah bohong sama Bunda. Seharusnya Al ngomong secara jujur sama Bunda. Habisnya kalau Al ngomong jujur, pasti nggak dibolehin sama Bunda. Tapi kali ini Alsa janji akan selalu ngomong jujur ya, Bunda! I love you, Bunda!"

"Kamu emang bandel dari kecil, Al. Meskipun begitu Bunda tetep sayang banget sama kamu. I love you more, sayangnya Bunda!"

Pernyataan bersalah, penyesalan, serta permintaan maaf sore itu dinyatakan selesai. Aku dan Bundanya Alsa bersama-sama mendukung dan menjaga Alsa agar bisa pulang secepatnya. Kabar gembira untuk kami, dokter menyatakan bahwa malam ini Alsa diperbolehkan untuk pulang karena tidak adanya masalah yang begitu serius.

Dengan perasaan penuh syukur, Bunda Alsa menelepon Ayah Alsa dan memberitahu kabar baik ini. Perasaan bahagia dirasakan oleh keluarga Alsa atas pulihnya kesehatan Alsa.

"Alsa, aku senang kamu cepat pulih. Tolong jangan berbuat hal berbahaya lagi, ya? Sehatmu selalu aku doakan," batinku dengan senyuman yang tercipta saat melihat Bunda memeluk Alsa dengan perasaan bahagia.

To be continued...

𓇢𓆸

Pemilik akun whoopschn mengucapkan banyak terima kasih untuk chensbae yang telah meluangkan waktu untuk membaca bagian keduabelas ini.

Semoga pemilik akun ini bisa konsisten dalam menulis bab-bab selanjutnya. Selalu dukung whoopschn dengan vote dan comment, ya!

Warm regards,

Whoopschn🌷

A Shoulder to Lean On [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang