Bab 9

614 110 13
                                    

Freen

Paman-paman Richard—rekan-rekan Underboss yang tidak kusukai—adalah orang-orang pertama yang menuntutku untuk meniduri istriku.

Aku dan Becky berdiri bersama saudara perempuanku dan ibunya ketika teriakan pertama terdengar mengalahkan suara musik.

Sorak sorai serta tepuk tangan pun terdengar, lalu paduan suara yang meneriakkan "tidurlah di sini" terdengar dari sebagian besar pria.

Ayah dan kakak Becky tidak ikut serta. Richie menatapku dengan pandangan mengancam. Di lain waktu, aku akan bereaksi sesuai dengan sikap tidak hormatnya itu. Namun sekarang bukanlah waktu yang tepat. Dia termasuk pria yang lebih berani daripada ayahnya sendiri. Aku harus mengakuinya.

Becky menggenggam gelas anggurnya, tersenyum malu pada adikku Lia.

Lia memelukku erat. "Jangan biarkan aku menendang pantatmu, kakak. Bersikaplah baik pada gadis itu. Dia sangat manis."

Aku mengabaikan ucapan adikku. Aku tidak mau membicarakan kehidupan seksku dengannya.

Tuan Felix juga menatapku dengan tajam, tetapi kami berdua tahu bahwa apa pun yang terjadi malam ini bukan lagi tanggung jawabnya. Aku tahu dia sangat mencintai putrinya, tetapi dia juga mencintai kekuasaan, dan jika dia harus memilih di antara keduanya…

Dia akan memilih kekuasaannya.

Aku menoleh pada istriku, lelah dengan semua orang yang mencampuri pernikahan kami. Becky menatapku dengan malu-malu, pipinya memerah. Aku mengulurkan tangan dan dia menerimanya tanpa ragu. Telapak tangannya berkeringat, aku tahu dia gugup. "Apa kau siap naik ke atas?" bisikku, membungkuk agar hanya dia yang bisa mendengarku.

Dia menelan ludah, lalu mengangguk.

Aku menoleh ke arah keluarga kami. "Apakah kalian mengizinkan kami untuk meninggalkan pesta terlebih dahulu?"

Suara gemuruh sorakan dari para tamu yang hadir sudah cukup sebagai jawaban.

Sebelum aku dan Becky sempat melangkah lebih jauh, Nyonya Egidia memeluk putrinya sekali lagi, dia juga tampak membisikkan sesuatu yang membuat pipi istriku merona merah.

Gelas anggur masih tergenggam di tangannya, dia membiarkanku menuntunnya pergi. Sekali lagi, kami tidak berbicara.

Aku sempat mempertimbangkan untuk mengatakan sesuatu yang dapat meyakinkannya, tetapi apa yang harus aku yakinkan? Aku juga bukan tipe orang seperti itu.

Becky menyesap anggurnya lagi. Ini sudah gelas kelimanya.

"Apa kata ibumu?" tanyaku untuk mengisi keheningan yang menegangkan di antara kami saat kami menaiki lift menuju kamar untuk menginap malam ini. Pintu lift terbuka, dan kami melangkah keluar.

Seteguk lagi. Aku berhenti, merebut paksa gelas dari genggamannya. Jika dia mabuk, maka aku harus memalsukan noda darah sialan itu. "Cukup."

"Itu hanya bir jahe."

Aku menyeruput minuman dari gelasnya, memastikan apakah dia berbohong atau tidak.

Becky meraba-raba tas putih kecil yang disampirkan di bahunya. "Aku hanya minum segelas anggur saat di pesta tadi. Aku tidak ingin mabuk." Tatapan matanya itu menusukku.

"Apa kata ibumu?" tanyaku lagi, sambil menuntunnya menuju kamar.

"Ibu bilang aku harus menyenangkanmu. Ibu juga bilang aku harus mencoba menutupi ketidaktahuanku." Dia mendengus. "Saat ini, aku hanya berusaha untuk tidak pingsan karena takut."

Aku membuka pintu lebar-lebar, memberi isyarat agar dia masuk. Kami berdua berada di kamar suite hotel. Ruang tamunya luas dengan dua sofa dan meja kopi, tempat aku meletakkan gelas birnya.

REPLACE (adaptasi) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang