Freen
Rasa jengkel berdengung di dalam diriku. Becky menatapku dengan tenang, mengira dia tahu segalanya. Itulah keuntungan masa muda—percaya bahwa kau tahu bagaimana dunia berjalan dan yakin kau bisa membentuknya sesuai dengan angan-anganmu. Dia akan segera menyadari bahwa angan-angan itu hanyalah kebodohan remaja.
"Sudahlah," gerutuku, tidak ingin melampiaskan rasa frustrasiku selama beberapa bulan terakhir kepadanya.
Pada akhirnya memang salahku karena menerima pernikahan ini, mengira seorang gadis berusia delapan belas tahun bisa menjadi istri dan seorang ibu. Pikiran bahwa Becky bisa menjadi Roseanne 2.0 membuat perutku mual.
Becky membuka mulutnya seolah ingin berkata lebih banyak, tetapi aku memberinya tatapan peringatan. Dia harus belajar kapan dia harus diam.
Aku menuntunnya ke kamar Leo terlebih dahulu. Aku membuka pintu tetapi tidak menyalakan lampu. Tempat tidur Leo kosong.
"Di mana dia?" bisik Becky, dia tampak khawatir saat melintasi ruangan menuju tempat tidur.
Jantungku berdegup kencang. Aku berbalik, berjalan keluar melangkah ke koridor. Langkah kaki mengikutiku, dan Becky muncul di sampingku.
"Ada apa?"
Aku tidak mengatakan apa-apa—tidak bisa.
Pintu kamar terakhir di sebelah kiri terbuka sedikit seperti yang kuduga. Aku mendorongnya hingga terbuka lebar. Cahaya yang masuk menerangi tubuh mungil Leo di atas ranjang besar. Dia meringkuk di atas selimut, setengah tertutup selimutnya sendiri. Aku menarik napas dalam-dalam, membenci perasaan bersalah yang menggerogoti hatiku. Kemarahan terhadap Roseanne adalah emosi yang lebih bisa kutangani.
Aku bisa merasakan tatapan mata Becky padaku dengan segudang pertanyaan yang ingin dia ajukan. Dalam keheningan ruangan, bahkan kata-katanya yang tak terucap membuatku frustrasi. Dia melangkah ragu-ragu ke arah Leo. Tanganku terjulur, mencengkeram lengan atasnya dengan kekuatan yang lebih besar dari yang ku harapkan. Becky meringis, dia menatapku dengan tatapan terluka yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan cengkeramanku yang kuat.
Aku segera melepaskannya lalu berjalan melewatinya menuju tempat tidur. Sesaat, aku memperhatikan wajah anakku yang berlinang air mata. Dia baru berusia empat tahun, usia ketika air mata masih bisa ditoleransi. Sebentar lagi, air mata itu tidak akan mengalir lagi.
Aku dengan hati-hati menggendongnya, berusaha untuk tidak membangunkannya. Karena setiap kali aku membangunkannya, dia akan menggeliat dan mulai menangis lagi. Beruntungnya dia tidak terbangun. Kepalanya bersandar di dadaku, dengan selimut yang membungkus tubuh mungilnya aku mendekapnya dengan erat.
Becky mengikutiku tanpa sepatah kata pun saat aku keluar dari kamar tidur dan menggendong Leo kembali ke kamarnya. Aku membaringkannya di tempat tidur, menyelimutinya, lalu membelai rambutnya dengan lembut. Merasa Becky memperhatikanku dari ambang pintu, aku berdiri tegak lalu menghampirinya. Dia mundur agar aku bisa menutup pintu.
Dia mengamati wajahku, ekspresinya penuh dengan rasa iba. "Apakah dia selalu datang ke kamarmu di malam hari?"
"Itu bukan kamarku," bisikku "Itu kamar Roseanne. Aku tidur di kamar tidur utama."
"Oh." Kebingungan tampak di wajah Becky. "Kau tidak sekamar dengan mendiang istrimu?"
Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan amarahku dan yang lebih buruk lagi perasaan sedih yang mendalam. "Tidak." Aku segera menuju kamar Louise. Becky bergegas mengejarku. Dia tidak akan membiarkannya begitu saja. Dia terlalu penasaran. "Apa kau tidak mau berbagi tempat tidur?"