1

187 20 8
                                    

Apakah merupakan sebuah keadilan jika Cinta yang tulus harus di balas dengan ketidak perdulian?

Perasaan sangsi itu membludak ketika Ia sudah tidak sanggup lagi menahan segala rasa sakit, luka itu ditorehkan secara sadar dan meninggalkan bekas dari suaminya sendiri. Oh apakah masih bisa disebut suami, kalau laki-laki itu sama sekali tidak bisa menghormati pasangannya, menghormati sebuah ikatan suci, janji setia sehidup semati?

Mungkin waktu sudah akan menjawab semuanya. Mengisyaratkannya untuk segera menghentikan semua rasa sakit. Meski kemudian Ia akan hidup sendiri, tetapi Ia masih berhak untuk disayangi, dicintai. Benarkah masih akan ada orang yang akan mencintainya?

Tinggal, sanggupkah Ia yang bertahan dengan cerita kehidupan yang pelik ini?

.

.

Rumah yang dihuninya, kalau boleh jujur memang sangatlah indah. Dengan gaya minimalis bertingkat dan hijau segar karena Ia yang rajin menata dan turut menjaga kebun di rumahnya —dan suaminya. Tetapi apa arti keindahannya keindahan itu jika didalamnya tidak lebih dari sebuah ruangan kosong yang nyaris seperti tak bernyawa.

Kevin menghela nafas. Setahun. Sudah setahun Ia terjebak dalam pernikahan yang tidak pernah di mimpikannya sama sekali. Pernikahan yang penuh ketidakperdulian, hidup masing-masing, berantakan, kacau dan berujung air mata.

Ia menyandarkan kepalanya pada senderan ranjang. Kemudian menatap sedih tempat tidurnya, dan menatap sekeliling kamarnya. iya, kamarnya. Karena dari awal pernikahan pun Kevin dan suami tidak sekamar, apalagi seranjang.

Dan kalimat-kalimat itu kembali terngiang, tepat ketika malam pernimahannya, tidak bisa hilangkan begitu saja dari kepalanya, sampai saat ini.

.

.

“Dengar Kevin. Jangan kamu pikir aku menginginkan dan peduli pada pernikahan ini. Pernikahan itu mimpi buruk untuk ku.”

Kevin yang awalnya sudah gugup duduk di atas ranjang mereka, hatinya mencelos mendengar suara itu. Semakin perih saat mendapati kebenaran dalam sorot tajam tatapan Arsen. Bukankah kemarin-kemarin, ketika masa bertunangan mereka masih baik-baik saja?

“Kalau aku tidak bersikap baik padamu kemarin, jelas kamu akan kabur dan menolak keinginan Mama Papa untuk menikahkan kita. Dan aku cuma akan statis menjadi manager kecil di perusahaan keluarga sendiri.”

Arsen. Telah menjawab telak pertanyaan di dalam hati nya.

“Sejak awal aku tidak pernah setuju dengan perjodohan bodoh ini. Tapi dengan menuruti kemauan orangtuaku, sudah jelas Kevin jabatanku naik, bahkan tinggal sedikit lagi aku akan menjadi penerus pemegang perusahaan.” Arsen tersenyum miring.

“aku sudah lelah berpura-pura menjadi manusia baik. Sekarang jangan pernah berharap apapun lagi. Boleh kalau kamu masih menginginkan status sebagai pasanganku, tapi jangan pernah mengharapkan lebih.”

“Aku capek, mau tidur di kamar sebelah. Besok kamu yang berkemas barang-barangmu dan menempati kamar sebelah.” Setelah itu dia pergi dengan langkah yang begitu ringan, meninggalkan Kevin yang mematung dengan kepala yang mendadak terasa berat.

Itu nyata, ya?

Sayangnya, semua itu nyata Kevin. Terbukti dengan hari-hari selanjutnya yang dilaluinya dengan kelam.

Di hari-harinya, Kevin selalu mendapati Arsen pulang larut malam dalam keadaan lelah. Dan tidak jarang Ia menghirup wangi parfum perempuan yang menyengat pada kemeja dan jas yang Arsen kenakan. Pernah juga Arsen datang malam-malam diantar seorang perempuan. Dan sempat-sempatnya mereka bermesraan, berpelukan dan berciuman di rumah. Di hadapan Kevin!

Seperti Takdir Kita Yang TulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang