2

109 14 7
                                    

Enjoy~

.

.

.

Sudah beranjak malam. Arsen belum berniat untuk kembali ke rumahnya untuk sekedar berbenah diri. Kemeja nya masih sama ketika dia di kantor tadi. Ingin menantikan sampai Kevin siuman. Mungkin perasaannya akan sedikit tenang.

Keinginannya terkabul. Tubuh Kevin bergerak lemah, bulu-bulu matanya –yang baru disadarinya lentik dan cantik- mengerjap. Kemudian mata Kevin membuka, menampakkan netranya yang kecoklatan. Menatap Arsen heran.

“Kamu sudah siuman?”

Kevin hanya menggumam. Dia mencoba untuk duduk.

“Tetap berbaring, kamu masih lemah, Kevin.” Kevin terlihat bingung, tetapi menurut juga.

“Aku..” Arsen menunggu Kevin melanjutkan kalimatnya. Namun kalimatnya tetap menggantung, yang ada justru Kevin tiba-tiba meraba perutnya dengan dahi mengkerut.

.

Kevin tersadar, ini di ruangan sebuah rumah sakit. Dan ada Arsen?

“Kamu sudah siuman?”

Ia belum menemukan suaranya untuk menjawab, hanya bergumam. Lalu mencoba untuk duduk.

“Tetap berbaring, kamu masih lemah, Kevin.” Kevin mengernyit. Apakah ini Arsen suaminya yang tidak perdulian itu? Kenapa sekarang sifatnya tiba-tiba berbalik?

“Aku..” Tiba-tiba Ia teringat. Tadi pagi Ia mencoba merendam dirinya di bath up air dingin. Kenyataan bahwa ada nyawa di dalam tubuhnya membuatnya shock. Panik dan tidak siap. Itu semua akibat pemaksaan Arsen. Bukan ini yang dia inginkan.. Tiba-tiba meraba perutnya.

“Ini semua gara-gara kamu. Seandainya saat itu kamu tidak—“ Ia tercekat.

“Vin, aku senang ada dia.” Arsen melirik perut Kevin.

“Tolong keluar, aku mau sendiri.”

Pengusiran halus.

Karena Kevin memang butuh kesendirian untuk merenung, memutuskan.

.

.

Keadaan Kevin semakin membaik keesokan harinya. Wajahnya tenang, tenang yang menyimpan sesuatu, tinggal tunggu kapan dikeluarkan. Arsen memiliki firasat buruk terhadap itu. Meski demikian, secara keseluruhan Kevin sudah pulih. Hari ini sudah bisa ke rumah setelah medical check up sekali lagi siang nanti.

Penampilan Arsen sendiri sudah lebih layak ketimbang hari sebelumnya. Walaupun lingkar hitam dibawah matanya terlihat jelas.

“Selamat pagi, Kevin. Gimana keadaan kamu?” Mertuanya tiba.

Hati Kevin menghangat, sudah lama Ia mendamba kasih sayang hangat dari sosok orang tua.

“Baik, Ma.” Kevin mencoba tersenyum.

“Kandungan kamu?” Papa mertuanya yang bertanya.

Ia melirik Arsen sebentar, sialnya Arsen juga meliriknya. Jadilah Ia salah tingkah sendiri.

“Baik juga, Pa.”

“Syukurlah. Mama bawa buah-buahan segar. Kamu mau apa? Apel?”

Kevin mengangguk kaku. Sungguh baik Mama dan Papa mertuanya ini. Apakah Ia sanggup menyampaikan keputusan yang telah diambilnya malam kemarin? Harus. Karena apabila tidak, Kevin tidak yakin dapat melanjutkan semuanya.

“Eum… Ma, Pa.” Panggilnya pelan. “Kevin mau menyampaikan sesuatu.”

Meski namanya tidak disebut, Arsen memusatkan perhatiannya pada Kevin lekat-lekat, penuh antisipasi.

Seperti Takdir Kita Yang TulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang