Wanita berpakaian serba putih mengelus kepala anak perempuan yang tertidur di pangkuannya. Ia menyanyikan lagu dengan suara yang amat lembut.
Anak berusia delapan tahun itu merasakan kehangatan dalam belaian sang Ibu. Ia berharap ini berlangsung lama, ia tidak ingin adegan ini berlalu.
Tak berselang lama, si gadis kecil tak lagi merasakan belaian tangan sang Ibu. Ia menyadarinya karena sebenarnya ia tak benar-benar tertidur pulas. Ia membuka mata perlahan, menyaksikan ibunya yang berjalan menjauh.
"Ibu, kenapa .... Ibu, jangan pergi!" Tangannya terulur ke depan hendak menggapai sang Ibu. Namun, langkah Ibu sudah jauh dan tak dapat ia raih.
"Jangan tinggalkan Kania, Bu!"
"Ibu!"
Dalam sekejap, suasana menghitam. Gadis kecil tak dapat melihat apa-apa. Ia tak dapat melihat ibunya. Ia ... kehilangan ibunya.
Kania berusaha membuka mata agar bisa melihat sesuatu. Ketika matanya perlahan berhasil ia buka, suasana sekitar telah menjadi berbeda dari sebelumnya. Tidak lagi bernuansa putih seperti tadi, melainkan berwarna biru kehijauan. Di sekelilingnya juga terdapat banyak barang berwarna-warni. Ia menyadari bahwa dirinya telah berada di tempat yang berbeda.
"Mimpi itu lagi."
Gadis itu berperawakan rupawan, rambut berwarna hitam pekat yang terurai, lalu memiliki bola mata yang berwarna biru seperti laut. Wajahnya tampak lebih muda dari usianya yang sudah hampir mendekati dua puluh lima tahun.
Kania bangkit berdiri dari tempat tidurnya. Gadis itu menghela napas kasar, ada perasaan tidak enak yang seolah-olah mengikis relung hatinya, dan merenggut ketenangannya. Ia membenci perasaan yang membuatnya tidak berdaya ini.
Biasanya, Kania langsung menemui sahabatnya, Naufal, setiap kali ia memimpikan ibunya. Ia sering bercerita tentang kehidupan yang ia jalani kepada sahabatnya. Sahabatnya juga selalu antusias mendengarkan cerita Kania, membuat ia semakin merasa nyaman.
Hampir seluruh kisah hidup Kania, Naufal ketahui. Kesukaan Kania, hal yang tidak ia suka, bahkan hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup Kania, hampir semua ia ceritakan pada Naufal. Ikatan mereka membuat Kania merasa aman. Selalu ada tawa dan wajah berseri-seri, setiap kali Kania menemui Naufal.
Kania dan Naufal saling mengenal sejak kuliah sampai mereka lulus. Kini Naufal membangun sebuah kafe, dan Kania menjadi manajernya. Mereka sudah begitu saling mengenal. Namun, Kania tidak pernah menyangka bahwa kedekatan mereka tidak berlangsung lama. Kebahagiaan itu, ternyata hanya sesaat untuk dapat Kania nikmati. Ia kembali tenggelam dalam sepi, ia kehilangan penerangnya. Berulang kali Kania berusaha mencari cahaya yang lain, tetapi ia tidak berhasil menemukan yang bisa menjadi penerangnya, ia berharap cahaya terindahnya kembali.
Semua bermula sejak kehadiran Tiara, gadis mandiri, ceria, dan pekerja keras. Ketekunannya dalam bekerja mirip seperti Naufal. Bahkan ia memiliki tanggung jawab yang lebih banyak daripada Naufal. Ia mengumpulkan hasil usahanya, demi membeli rumah impiannya. Naufal mulai tertarik untuk bekerja sama dengan Tiara.
Naufal mengajak Tiara mengadakan event kuliner, kolaborasi antara usaha milik Naufal dengan usaha milik Tiara. Mereka semakin dekat dalam beberapa minggu saja, mereka menjadi teman baik. Kania mulai merasa tidak percaya diri jika ia membandingkan dirinya dengan Tiara. Apalagi melihat kecocokan Naufal dan Tiara, Kania cemburu. Ia membuat kekacauan dalam event yang mereka adakan.
"Kenapa kamu memilih staf yang ceroboh dalam event ini? Cita rasa masakannya juga tidak seperti yang kita rencanakan. Bahkan kebersihan makanannya tidak dijaga dengan baik."
"Maaf, Fal. Aku lagi ada masalah." Kania mencari-cari alasan.
"Bisakah masalahmu itu jangan dibawa-bawa ke pekerjaan?"
"Kok kamu bicaranya begitu? Kamu, loh, yang paling tahu tentang hidup aku." Tatapan gadis itu tampak kecewa. Ia merasa Naufal semakin berubah semenjak mengenal Tiara. Dulu Naufal tidak pernah setegas ini terhadapnya, dulu Naufal selalu memaklumi kesalahannya.
"Tapi Kania, yang dibilang Naufal itu ada benarnya. Kita harus profesional dalam bekerja." Tiara menyela, membuat Kania naik pitam.
"Kok kalian jadi menyudutkanku?"
"Tidak ada yang menyudutkanmu. Kami menasihati karena kamu melakukan kesalahan," terang Naufal.
"Aku mau bicara berdua sama kamu, Fal." Kania menarik tangan Naufal ke ruangan lelaki itu.
"Alasan sebenarnya, aku cemburu dengan kedekatanmu dan Tiara, bahkan kalian sering mengabaikan aku saat kalian asyik bicara."
Naufal menghela napas kasar. "Kapan aku mengabaikanmu, Nia? Aku, ya, bakal menanggapi pembicaraan kalau bahasannya cocok di aku. Kalau tidak cocok, ya, aku mau bahas apa juga bingung, 'kan? Tidak ada membeda-bedakan, sama yang lain juga begitu. Kalian itu sama di mana aku, sama-sama teman aku."
Bagaikan pisau tajam menusuk tepat di hati Kania, ia merasakan sakit begitu dalam. 'Aku menganggapmu lebih dari siapa pun, bahkan ayahku sendiri, tapi kamu hanya menganggapku teman kerja, ya?' pikir Kania. Ia sedih mengetahui perasaannya tidak terbalaskan.
Walau ia tidak pernah berani mengungkapkan cintanya pada Naufal, Kania pikir Naufal memiliki perasaan yang sama terhadapnya."Halah, kamu suka, 'kan, sama Tiara? Makanya kamu berubah begitu." Kania menuduh Naufal.
"Terserah, ya, kamu mau berpikir apa. Aku maunya event ini berjalan lancar. Kalau kamu tidak bisa diajak kerja sama begini, biar aku sama Tiara yang urus." Naufal pergi dengan kekesalannya.
Hari-hari berlalu hingga event selesai dilaksanakan. Naufal dan Tiara merencanakan proyek kerja sama karena kecocokan di antara bisnis mereka. Mereka semakin dekat, sementara Kania merasa dirinya semakin jauh dari Naufal. Hatinya sakit, pikirannya kacau, kesehatannya juga memburuk karena kehilangan nafsu makan. Kania tidak dapat mengerjakan pekerjaannya dengan maksimal. Akhirnya ia meminta resign pada Naufal, dengan alasan ayahnya yang memintanya melanjutkan kuliah ke jenjang S2.
Tiga bulan setelah kepergian Kania, hatinya diliputi kehampaan yang terasa begitu menyiksa. Ia menyesali keputusannya dengan meminta resign. Ia telah mencoba berteman dengan banyak orang di kampus barunya, tetapi tidak berhasil menghilangkan sepi di hatinya, dan kini ia hanya menanggung rasa bersalah yang seakan-akan membunuhnya secara perlahan.
Kania kembali menemui Naufal, menanyakan apakah ia masih akan diterima jika meminta bekerja lagi di sana. Namun, pupus sudah harapan Kania. Naufal menolaknya dan mengatakan bahwa usahanya semakin maju semenjak Kania digantikan oleh orang yang lebih kompeten.
'Sekarang benar-benar asing,' keluh Kania dalam hatinya. Jangankan persahabatan, mereka bahkan seperti orang yang tidak saling mengenal.
Kini Kania memilih untuk fokus pada kuliahnya. Ia juga bersyukur pada Tuhan karena diberi teman-teman yang baik. Ia tidak lagi suka mengeluh, ia menjalankan semua tanggung jawabnya dengan tulus.Namun, Kania tetap tidak dapat melupakan Naufal. Kini ia tidak memiliki tempat bercerita seperti dulu. Ketika perasaan kosong dan sepi itu kembali lagi, Kania hanya bisa menyalurkan lewat tulisan yang kini menjadi karya terbaiknya. Merangkai kata tentang hidupnya sendiri, dan membangun ikatan pada dirinya sendiri.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Luka (Cerpen)
Short StoryKamu adalah keajaiban yang diciptakan Tuhan dalam hidup penuh misteri ini, membayar segala luka yang tercipta. Namun, jika kamu tidak ditakdirkan untukku, haruskah aku berpura-pura bahwa kamu tidak pernah ada? Atau aku harus menyimpan rasa ini dalam...