Tidak ada yang ingin hidup sebagai bayangan. Semua orang menjadi pemeran utama dalam kisah hidupnya sendiri. Namun, aku hidup bukan untuk diriku sendiri, melainkan untuk menyenangkan orang-orang di sekitarku.
Namaku Adita Cahaya Kasih. Aku terlahir dari keluarga sederhana, kami sempat merasakan betapa sulitnya hidup serba kekurangan. Aku masih ingat sewaktu kecil pernah makan nasi hanya dengan garam sebagai lauknya. Rumah seperti gubuk, terbiasa di-bully ketika di sekolah.
Aku tak pernah mengeluh atau bercerita kepada keluargaku tentang perundungan yang kualami di sekolah. Aku lebih sering diam memendam segalanya. Tadinya kupikir, kerasnya kehidupan yang kujalani mendewasakanku sejak dini. Namun, tak pernah kusangka malah merusak mentalku ketika dewasa.
Ada beban di pundakku yang begitu berat untuk kutanggung sendiri. Beban itu bernama Harapan Keluarga. Melihat wajah gembira keluargaku ketika aku mendapat peringkat satu di kelas, membuatku menjadi bersemangat dalam belajar dan mendambakan cita-cita yang tinggi.
Aku mendapatkan beasiswa di SMA Unggulan di kotaku, Medan. Keluarga semakin mengharapkanku sukses, dan bisa mengubah nasib kami.
"Rajin belajar, ya, Nak! Kamu harus bisa sukses, jangan menjadi seperti kami. Kakak dan adik-adikmu tidak ada yang sepintar kamu, jadi Ayah dan Ibu hanya bisa berharap darimu." Begitulah kata ibuku ketika melepas kepergianku memasuki asrama di SMA Unggulan.
Namun, kepercayaan diriku perlahan menghilang ketika aku memasuki sekolah besar itu. Sekolah yang di dalamnya terdapat siswa-siswi berprestasi dari berbagai kecamatan dan kabupaten. Mulai dari orang-orang kalangan biasa sepertiku sampai orang-orang kaya yang memiliki kecerdasan tinggi. Tentu aku takada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka yang sering mengikuti les sedari dulu. Bahkan bahasa Inggrisku saja sangat buruk.
Aku tak langsung menyerah. Aku belajar siang dan malam tanpa mengenal waktu dan tempat. Bahkan terkadang, sampai melupakan kesehatanku sendiri.
Pada teman terdekatku, Dewi, aku pernah bercerita tentang mimpiku. "Nanti aku mau kuliah sampai jenjang tertinggi. Setelah S1 aku mau jadi guru. Mengumpulkan uang untuk melanjutkan S2 dan menjadi dosen. Lalu melanjutkan S3 untuk mendapat gelar profesor. Bila perlu aku ingin menjadi ilmuwan matematika," jelasku bersemangat.
"Ilmuwan itu kepalanya botak, loh. Memangnya kamu mau?" kata Dewi meledekku.
Aku membayangkan kepala bagian atasku botak, seperti ilmuwan pada umumnya yang aku ketahui. "Iya juga, ya. Tidak jadi, deh, aku mau jadi dosen saja," kataku membuat Dewi tertawa.Aku dan Dewi memiliki banyak kesamaan, salah satunya kepribadian yang introver ini. Meski terkenal pendiam, ketika bersama Dewi, aku sampai lupa waktu saking lamanya bercerita. Dewi pun sama, tak berhenti bicara ketika bersamaku, tetapi menjadi begitu pendiam di hadapan orang lain.
Pada akhir semester mendekati kelulusan, aku merasa semua kegigihanku selama ini hanya sia-sia. Aku tidak lulus ke Universitas impianku melalui jalur SNMPTN. Aku tertekan, aku mencoba kembali melalui jalur SBMPT meski dengan kepercayaan diri yang semakin berkurang.
Sebelum Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) sebagai penentu kelulusan SBMPTN, aku begitu bersemangat untuk belajar. Malam itu aku mengerjakan soal matematika, menemukan bagian yang sangat sulit untuk kupecahkan, dan ketika kuulangi soal tersebut, hasilnya malah berbeda. Aku terpaksa memulainya lagi dari awal untuk memastikan mana jawaban yang benar.
Walau sudah berusaha dengan keras, tetap kutemukan celah. Kupaksakan otakku untuk bekerja lebih keras lagi, bahkan tak memikirkan perut yang keroncongan. Tanpa kusadari, perilaku yang terlalu memaksakan diri itu membuat kepalaku terasa sakit. Hal yang semakin membuatku kesulitan menyelesaikannya.
"Dita, makan dulu, yuk." Jika bukan karena Dewi yang mengingatkan untuk makan, mungkin aku akan tidur dengan perut kosong.
"Iya, Wi."
Setelah selesai makan, aku pun tidur karena rasa kantuk sudah sangat tak dapat kutahan.
Tibalah saat UTBK dimulai. Hal yang paling aku sesalkan adalah soal yang tertera pada layar komputer, hanya sedikit terdapat materi yang sudah benar-benar kupelajari. Sebagian besarnya adalah soal yang sama sekali tidak aku pahami. Aku kecewa. Walau begitu, aku tetap berusaha menyelesaikannya.
Aku melihat Dewi juga kesulitan menyelesaikan soalnya lebih dari aku. Soal setiap peserta UTBK berbeda, sehingga kami tidak bisa saling membagi jawaban. Aku berinisiatif membantu Dewi menjawab soalnya karena ia juga telah banyak berbuat baik padaku. Aku kembali fokus pada soalku, tetapi Dewi memintaku untuk membantunya lagi. Aku tidak tahu bagaimana caranya menolak atau berkata tidak, melihat wajah orang terdekatku bahagia membuatku ikut merasa bahagia. Aku pun membantunya, lagi pula ini akan menambah ilmuku juga, terlebih aku sangat menyukai matematika.
Ujian telah berlalu, tetapi aku masih saja belajar bersama Dewi untuk membahas materi yang terdapat pada soal UTBK. Khususnya pada mata pelajaran matematika, sesuai prodi yang kami pilih. Hingga waktunya telah tiba untuk menerima nilai hasil UTBK.
"Jadi cuma segini, ya."
Pandanganku terpaku pada layar laptop yang berhasil merusak suasana hati dalam sekejap. Aku menghela napas dengan kasar. Tertera keterangan bahwa aku tidak lulus. Sementara Dewi, yang aku bantu malah lulus. Aku ingin marah padanya, tetapi aku tak bisa. Aku sendirilah yang memilih membantunya, aku terbiasa mengalah.Aku merasa sedih, hancur. Aku takkan bisa memasuki Universitas impianku melalui jalur mandiri mengingat keuangan keluargaku yang terbilang kurang mampu, meski tidak lagi separah dulu. Orang-orang memuji Dewi dan membuatku semakin kesal. Seperti tokoh antagonis pada umumnya yang iri melihat keberhasilan pemeran utama.
Perlahan, hubunganku dengan Dewi semakin tidak baik-baik saja. Aku berubah menjadi orang yang pemarah dan kasar, bahkan merusak hubunganku dengan teman-temanku yang lain juga. Hingga aku merasa begitu kesepian. Jangankan belajar, rasanya aku tak ingin melakukan apa pun hingga waktu yang lama.
***
Aku terbangun dari tidurku. Kudapati diriku kini berada di ruangan serba putih, dikelilingi keluargaku. Ada Ayah, Ibu, Kakak, dan kedua adikku. Aku tak ingat kejadian sebelum berada di rumah sakit ini, tetapi kata mereka aku telah pingsan selama dua hari.
"Kamu istirahat saja, tidak perlu memikirkan apa pun untuk saat ini. Jangan terlalu banyak pikiran, ya, Nak."
Ucapan Ayah membuatku semakin bingung. Aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Ketika perasaanku sedang kacau, yang aku pikirkan saat itu hanyalah menghilang dari muka bumi ini, tetapi aku tidak ingat kejadiannya. Entah aku mengalami amnesia atau apa.
Pandanganku beralih pada Ibu. "Maafkan aku, Bu. Aku tidak bisa membanggakan Ibu dan Ayah."
"Ibu yang minta maaf karena telah memberimu beban itu."
Aku terdiam melihat ibuku menangis. Suaranya terdengar begitu memilukan. Ibuku memelukku seolah-olah mengajakku untuk menangis bersamanya. Aku tersadar bahwa selama ini aku hampir lupa bagaimana caranya menangis karena terbiasa menekan diri untuk menjadi kuat.
Hari-hari berlalu, aku akhirnya memasuki jenjang kuliah. Meski bukan di Universitas impianku melainkan di Perguruan Tinggi Swasta biasa, aku merasa senang karena kali ini ayahku yang membiayaiku dan bekerja keras untuk memenuhi segala keperluanku. Kakakku yang bekerja juga terkadang memberiku uang saku, padahal ketika kecil dulu kami lebih sering bertengkar. Keluargaku begitu peduli padaku dan membuatku merasa menjadi Pemeran Utama, meski terkadang masih ada pemikiran bahwa diriku hanyalah tokoh antagonis yang pecundang. Atas izin Allah serta dukungan keluarga, aku akhirnya melewati masa depresiku akibat kegagalan yang kualami tersebut.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Luka (Cerpen)
Historia CortaKamu adalah keajaiban yang diciptakan Tuhan dalam hidup penuh misteri ini, membayar segala luka yang tercipta. Namun, jika kamu tidak ditakdirkan untukku, haruskah aku berpura-pura bahwa kamu tidak pernah ada? Atau aku harus menyimpan rasa ini dalam...