Bab. 2

4 2 1
                                    


Dengan modal nekat dan tabungan seadanya aku kembali pulang ke kota kelahiranku di Bandung, membawa serta Karina putri semata wayangku.

Sudah cukup aku bertahan selama ini dengannya. Aku baru sadar jika selama ini aku hanya dimanfaatkan bagai sapi perah yang harus bekerja menghidupi keluarga, padahal aku adalah seorang istri, sedangkan suamiku seenaknya berhenti dari pekerjaannya dengan alasan ketidakcocokan dengan atasan, padahal kalau boleh dikata pekerjaanku jauh lebih berat, bagaikan kuli aku yang seorang wanita harus naik turun mobil truk besar, bahkan kontener pun sering aku naikki.

Pernah aku hampir terjatuh akibat licin karena sedang hujan, namun aku tetap dipaksa untuk bekerja. Aku sering sekali mengalami sakit selama bekerja di tempat kerjaku yang sebelumnya itu, karena peraturannya yang sangat ketat, tidak memperbolehkan karyawan makan cemilan diluar jam istirahat, jika ketauhan maka akan diberhentikan langsung dari perusahaan.

Mungkin terlihat gampang dari luar, namun bagi aku yang penderita maag sangat sulit membiarkan perut kosong tanpa adanya satu pun cemilan yang masuk ke perutku. Namun aku selalu sabar menghadapi situasi ini, aku selalu percaya bahwa sikap kasar dan tempramen suamiku akan berubah suatu saat nanti.

Tapi yang terjadi malah sebaliknya dan bahkan lebih parah dari yang sebelumnya. Jika yang sebelumnya dia mengatakan kalau dia stress karena tidak memiliki pekerjaan sehingga berimbas pada mamaku yang dikasari olehnya saat itu. Lalu sekarang ia sudah memiliki pekerjaan, namun ia tetap marah-marah tidak jelas bahkan disaat kami sudah ada jarak yang cukup jauh.

Hanya hal sepele, itu yang selalu ia permasalahkan. Hanya karena aku memindahkan sepeda miliknya ke gudang, ia marah besar padaku dan mengancam akan kembali pulang ke rumah.

Padahal aku melakukan itu agar anakku bisa lebih leluasa merangkak di ruang tamu. Dia tidak pernah memikirkan dampak yang akan terjadi pada anaknya jika tertimpa oleh sepeda miliknya itu. Karina masih sangat kecil dan sedang aktif-aktifnya merangkak, bagaimana jika ia menyenggol sepeda itu lalu menimpa dirinya?

Hanya ego dan harga dirinya saja yang dia pikirkan, dan tidak mementingkan keselamatan sang putri.

"Kenapa kamu tidak izin dulu padaku?!"

Bentaknya saat itu di video call. Haruskah aku izin untuk keselamatan putriku dan juga putrinya sendiri? Padahal sepeda itu pun aku yang membelinya dengan uang tabunganku tentunya, karena dia tidak bekerja sama sekali.

Semua orang dan teman-temanku yang tau tentangnya pasti mengatakan kalau suamiku itu tidak tau diri, dan memang benar adanya seperti itu. Termasuk ibu mertuaku juga seperti itu.

Hanya masalah sepele dia mengancam akan kembali pulang dan tidak lagi bekerja, dan ingin tetap membiarkan aku sendiri yang bekerja untuk keluarga, dimana tanggung jawabnya sebagai ayah??

Benar-benar hilang sudah kepercayaanku kali ini kepadanya. Entah menghilang kemana akal sehatnya itu.

Dan sekarang aku disini akan memulai hidup baru bersama ibu dan juga anakku. Disini kami tinggal di rumah omaku, tadinya kami berniat untuk mengontrak satu rumah kecil, namun oma bilang jika kami tidak perlu mengontrak rumah, cukup tempati rumah miliknya, karena omaku itu sebenarnya tinggal dengan tanteku yang tidak menikah, jadi otomatis rumah oma kosong, karena pamanku sudah punya rumah sendiri dan tinggal dengan istri dan kedua anaknya, mungkin sesekali pamanku datang menjenguk rumah dan membersihkannya karena pamanku memang masih tinggal di Bandung, sedangkan saudara kami yang lain tinggal di Jakarta.

Setidaknya jika aku kembali kesini, aku masih punya seorang paman yang bisa melindungiku dari suamiku yang jahat itu. Karena papaku tinggal jauh dengan saudaranya.

Begitulah kehidupanku yang sebenarnya. Bisa dibilang aku juga anak yang broken home karena sedari kecil mama dan papa ku tinggal terpisah, namun papa tidak pernah kasar sekalipun pada mama, dan meski mereka tinggal berjauhan papa tetap tanggung jawab dan membiayai kami, hingga kami lulus sekolah dan akhirnya papa pensiun dari pekerjaannya lalu memilih tinggal dengan adiknya di daerah Jawa Tengah.

Jauh di lubuk hatiku sebenarnya aku tidak ingin Karina merasakan apa yang kurasakan saat kecil, tidak adanya sosok ayah yang hadir di dalam keluarga. Namun melihat kepribadian suamiku yang tega dan hampir mencelakai Karina, semakin membuatku yakin kalau sebaiknya aku menjadi single parent saja ketimbang melihat anakku celaka nantinya.

Drtt drttt

Kulihat HP ku yang bergetar, sejak kejadian kemarin aku malas mengaktifkan nada dering di HP ku, aku lebih baik menggunakan mode getar atau mode diam, karena aku malas mendapat panggilan telepon atau pesan dari suamiku dan keluarganya.

'Halo selamat pagi Lolita, untuk interviewnya bisa datang jam 10 ya, ditunggu, terimakasih'

Aku tersenyum membaca pesan itu, ya memang kemarin aku sempat bertanya tanya pada teman temanku yang di Bandung mengenai lowongan pekerjaan, dan aku sudah mencoba menghubungi dan mengirimkan CV pada beberapa tempat yang membuka loker.

Dan akhirnya ada juga satu panggilan interview untukku hari ini.

Aku menoleh sebentar pada anakku yang masih tertidur di kasur, kutatap hangat wajahnya lalu aku mengecup pelan pipinya yang gembul itu.

"Doakan mama ya sayang, agar mama bisa diterima kerja secepatnya dan bisa menafkahi kamu sayang.." ucapku pelan seraya mengelus pipinya.

Aku pun siap siap dan menghampiri mamaku yang sedang memasak di dapur.

"Ma, aku ada panggilan interview hari ini, doakan ya ma .. "

"Pasti sayang.. ya sudah, jam berapa? Kamu mau siap siap sekarang? Karina sudah bangun belum?"

"Belum ma, Karina masih tidur. Aku pergi interview jam 10 ma, mungkin nanti berangkat jam setengah 10 kurang dari rumah.."

"Ya sudah, coba kamu bangunkan dulu Karina, sebentar lagi sarapannya siap ya, mama masak sayur sop dan telur dadar orak arik kesukaanmu."

"Hmm baiklah, nanti Karina mama beri susu saja dulu ya, pulang dari sana aku akan masak untuknya.."

"Iya, baiklah.."

Aku kembali ke kamar dan mencoba membangunkan buah hatiku yang sangat cantik dan lucu ini. Aku menciumi pipinya agar dia terbangun, karena itulah salah satu caraku untuk membangunkannya dari tidurnya. Dan berhasil, tak lama anakku itu terbangun dan mengedipkan matanya berulangkali.

Ah sangat menggemaskan, pipinya yang bulat, dan bibirnya yang tipis, serta matanya yang cantik membuatku betah terus menerus menatapi wajahnya.

"Karina sayang.. ayo bangun nak.." panggilku pelan.

Karina terlihat sudah bangun dengan sempurna, matanya terbuka lebar, namun ia masih berbaring sambil mengumpulkan nyawa. Sesekali ia menguap, lalu kembali menatapku dan tersenyum manis menyambutku.

Iya, Karina sudah sangat mengenal wajahku sebagai mamanya. Ia akan sangat manja jika baru bangun tidur.

Drrttt drrrttt drrrttt

Astaga, apalagi itu.. Kulihat layar HP ku dan ternyata suamiku yang menelfon. Aku masih enggan mengangkat panggilan darinya, jadi kuabaikan saja panggilan masuk darinya itu. Jelas aku masih sangat kesal padanya.

Berondong Rasa Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang