chapter 2

2 0 0
                                    


Setelah perjalanan panjang di pesawat, Zava akhirnya kembali ke rumah di Jakarta. Kepulangannya kali ini terasa berbeda. Meskipun ia baru tiga tahun pergi, rasanya seperti waktu yang sangat lama berlalu. Banyak hal yang berubah di rumah, tetapi banyak juga yang tetap sama, terutama cinta dan kehangatan dari keluarganya.

Setibanya di rumah, Zava segera melepaskan lelah. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti berputar. Di benaknya, Zava sudah menyusun rencana untuk waktu singkat yang akan ia habiskan di Jakarta. Sambil duduk di teras dengan secangkir teh hangat di tangannya, Zava mengamati langit yang mulai berubah warna saat senja tiba. Ia tahu bahwa banyak yang menantinya di kota ini.

Sementara itu, di dalam rumah, Zilva tampak sedang sibuk dengan pekerjaannya di laptop. Sebagai seorang direktur di perusahaan milik ayah mereka, tanggung jawab Zilva sangat besar. Namun, ia selalu berusaha menyisihkan waktu untuk keluarganya, terutama untuk menyambut adik perempuannya yang baru pulang.

"Kakak lihat kamu belum berubah ya, masih sibuk seperti biasa," kata Zava, menghampiri Zilva sambil tersenyum.

Zilva tertawa pelan. "Begitulah, Zav. Pekerjaan ini seolah tidak ada habisnya. Tapi kakak senang kamu sudah pulang, setidaknya ada teman ngobrol di rumah."

"Ya, kak. Zava juga senang bisa pulang. Mungkin selama di sini, Zava bisa belajar lebih banyak tentang perusahaan ayah," jawab Zava sambil menghela napas.

Zilva menatap adiknya dengan penuh perhatian. "Maksudmu kamu ingin bergabung dengan bisnis keluarga?"

Zava menggelengkan kepala. "Tidak juga, Kak. Zava hanya ingin tahu lebih banyak. Lagipula, Zava sudah punya perusahaan sendiri yang perlu diurus."

Zilva tersenyum penuh pengertian. "Ayah pasti senang mendengar itu. Ayah selalu bangga pada kita semua."

Malam itu, seluruh keluarga berkumpul di ruang makan besar untuk menikmati makan malam bersama. Suasana penuh canda tawa dan cerita-cerita hangat. Namun, di tengah keceriaan itu, Zava merasa ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan ayahnya. Sesuatu yang telah ia pikirkan sejak lama.

Ketika makan malam hampir selesai, Zava akhirnya memberanikan diri. "Ayah, Zava ingin bicara tentang sesuatu," ujarnya pelan namun jelas.

Kenan, ayah Zava, meletakkan sendoknya dan menatap putrinya dengan penuh perhatian. "Tentu, Zava. Apa yang ingin kamu bicarakan?"

Zava menarik napas dalam-dalam, merasa gugup. "Zava ingin tahu lebih banyak tentang pesantren Al Zein. Tentang sejarah keluarga kita, dan... mungkin tentang apa yang bisa Zava lakukan untuk membantu."

Ruangan itu seketika menjadi sunyi. Semua mata tertuju pada Zava, sementara Kenan terdiam sejenak, mencerna perkataan putrinya. Maudi, sang ibu, tersenyum lembut, mendukung apa pun yang ingin disampaikan Zava.

Akhirnya, Kenan tersenyum dan berkata, "Baiklah, Zava. Besok pagi, kita akan pergi ke pesantren. Ada banyak hal yang harus kamu ketahui tentang tempat itu dan tentang sejarah keluarga kita."

Zava tersenyum lega. Hari esok akan menjadi awal yang baru baginya, sebuah langkah menuju pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya sendiri dan akar keluarganya. Ia tidak tahu apa yang akan ditemuinya di pesantren nanti, tapi satu hal yang pasti: ia siap untuk menjalani perjalanan ini.

Malam semakin larut, dan satu per satu anggota keluarga pergi ke kamar masing-masing. Zava masih duduk di ruang tamu, merenungkan percakapan yang baru saja terjadi. Di luar, angin malam berhembus lembut, seolah membawa harapan dan petualangan baru yang menantinya di hari esok.

zava Adelia maudi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang