Part 5: Senja di Balik Rahasia

10 3 0
                                    

Hari itu terasa beda. Sejak terakhir kali kita nonton bareng, gue ngerasa makin sering mikirin Niam. Padahal nggak ada yang spesial dari cowok itu — setidaknya, nggak ada yang bisa dilihat orang lain sebagai sesuatu yang spesial. Tapi buat gue, dia punya caranya sendiri untuk bikin gue tertarik. Dan yang lebih aneh lagi, gue sadar kalau gue selalu jadi excited setiap kali mau ketemu dia. Sesuatu yang bikin gue selalu senyum-senyum sendiri.

Suatu sore sepulang sekolah, gue nggak bisa tahan buat ngajak Niam jalan-jalan lagi. Gue ingat dia pernah bilang suka buku, dan kali ini gue punya ide lain.

"Niam, besok sore lo sibuk nggak?" tanya gue tiba-tiba di taman sekolah, tempat dia biasanya duduk dan nulis. Gue datengin dia, dan seperti biasa, dia kelihatan kaget.

"Hmm, nggak, sih," jawabnya pelan, sambil cepet-cepet nutup buku catatan yang selalu dibawa-bawanya. Dia nggak pernah ngasih liat apa yang dia tulis, dan gue pun nggak mau maksa, meski penasaran banget.

"Gue pengen ke Gramedia. Mau ikut? Mungkin lo bisa nemu buku bagus buat koleksi lo."

Niam keliatan mikir sebentar, tapi akhirnya dia ngangguk. "Boleh, gue ikut."

Gue senyum lebar. "Oke, nanti kita ketemuan di sana jam 4, ya."

Esoknya, sore itu kita ketemuan di depan Gramedia, sesuai janji. Niam datang tepat waktu, seperti biasa. Gue langsung semangat masuk dan nyari-nyari buku. Niam keliatan antusias juga, meski ekspresinya tetap datar seperti biasanya. Tapi gue tahu dia seneng, terutama waktu dia nemuin beberapa buku sejarah yang keliatan menarik buat dia.

"Lo nggak bosen baca buku sejarah terus?" tanya gue sambil senyum.

Dia geleng. "Nggak, gue suka belajar soal masa lalu. Bikin gue ngerti banyak hal."

Gue tertawa kecil. "Pantesan lo selalu keliatan serius. Tapi seru juga sih, punya perspektif kayak gitu."

Setelah puas muter-muter di Gramedia, kita memutuskan buat mampir ke Lawson yang nggak jauh dari sana. Di sana, kita beli minuman dingin dan roti, lalu duduk di meja yang ada di pojokan sambil ngobrol santai.

"Lo pernah nulis tentang apa aja di buku catatan lo?" tanya gue tiba-tiba. Gue tahu Niam selalu nulis, tapi gue pengen tahu lebih jauh.

Dia terlihat agak kaget dengan pertanyaan gue, tapi tetap jawab. "Macem-macem. Kebanyakan soal hal-hal yang gue suka. Kadang juga... ya, perasaan yang nggak bisa gue omongin ke orang lain."

Gue terdiam sejenak, mikir. Gue juga punya buku catatan harian sendiri, di mana gue nulis tentang Niam, tentang bagaimana dia bikin gue penasaran, dan perasaan yang perlahan-lahan tumbuh tanpa gue sadari. Tapi gue nggak berani bilang.

"Senja, buat lo, apa?" Gue tiba-tiba nanya, sambil liat ke luar jendela. Senja mulai turun, warna oranye memancar di langit.

Niam mengernyit, lalu melihat ke luar. "Senja? Hmm, gue nggak pernah terlalu mikirin itu, sih. Tapi... mungkin kayak waktu yang transisi. Di antara siang yang udah mau habis dan malam yang belum mulai."

Gue tersenyum. Gue suka cara dia ngejelasin hal sederhana dengan cara yang dalam. Gue juga punya pandangan soal senja. Mungkin agak berbeda dari dia.

"Kalau buat gue," gue mulai sambil lirih, "senja itu kayak perasaan yang nggak pernah tuntas. Lo udah tau malam bakal dateng, tapi lo tetep nggak pengen ninggalin siang. Kayak ada yang lo tahan di antara keduanya. Kayak sebuah harapan yang nggak sepenuhnya lo siap lepasin."

Niam diem, kayak dia mencerna setiap kata yang gue ucapin. Gue ngerasa aneh, tapi juga lega. Akhirnya, ada hal yang gue bisa bilang tanpa harus terlalu takut gimana reaksinya.

"Bagus, Greys," jawabnya akhirnya. "Lo kayaknya punya cara sendiri buat ngeliat sesuatu."

Gue tersenyum, tapi di dalam hati, gue merasa lebih dari itu. Gue baru aja ngomongin sesuatu yang nggak gue ungkapkan ke siapapun. Tentang perasaan gue ke dia, yang selama ini gue sembunyiin.

Setelah selesai ngobrol-ngobrol, kita keluar dari Lawson. Jalanan mulai sepi, dan senja perlahan berubah jadi malam. Gue dan Niam berjalan berdampingan, dalam diam, tapi gue merasa ada sesuatu yang nggak perlu diucapkan.

Malam itu, gue nggak bisa berhenti mikirin tentang senja dan percakapan kita di Lawson. Di dalam hati gue, ada perasaan yang semakin besar. Niam nggak seperti cowok-cowok lain yang gue kenal. Dia nggak banyak ngomong, tapi cara dia berpikir dan merespon gue bikin gue selalu pengen tahu lebih banyak.

Setelah pulang, gue ambil buku catatan gue. Seperti biasa, gue mulai nulis semua yang gue rasain.

"Senja itu kayak perasaan yang nggak pernah tuntas. Sama kayak perasaan gue ke Niam. Gue nggak pernah siap buat ngelepas, tapi juga nggak punya cukup keberanian buat ngungkapin."

Gue senyum kecil setelah nulis itu. Mungkin suatu hari gue bisa kasih tau dia, atau mungkin gue akan terus menyimpannya di sini, di antara halaman-halaman yang hanya gue yang tahu.

Gue tutup buku catatan itu, sambil berharap, suatu hari gue bisa ngeliat reaksi Niam kalau dia tahu. Tapi untuk sekarang, biar ini tetap jadi rahasia gue.

Lembar Terakhir untuk GreysiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang