Sudut Pandang Niam
Pagi itu gue bangun dengan perasaan yang ganjil. Udara pagi yang biasanya menenangkan malah terasa berat. Tapi, gue coba nggak terlalu mikirin. Greysia biasanya selalu ceria dan hadir di sekitar gue, dan meskipun hari itu gue belum ketemu dia, gue yakin, dia bakal muncul seperti biasa.
Hari sebelumnya, dia sempat ngomong kalau mau ke toko buku setelah pulang sekolah. Gue sempat mikir buat ngajak dia bareng, tapi gue terlalu sibuk dengan tugas dan catatan harian gue sendiri. Gue nulis tentang Greysia, tentang gimana dia perlahan-lahan mengisi ruang kosong dalam hidup gue. Tentang gimana obrolan ringan kita soal senja, buku, dan hal-hal kecil lainnya bikin hari-hari gue terasa lebih berwarna. Seolah-olah Greysia adalah senja yang menutup hari-hari monoton gue dengan lembut.
Tapi hari ini, Greysia nggak ada. Dia nggak nongol di taman seperti biasanya.
Sampai akhirnya, di sore hari, ketika gue masih duduk di bangku taman sambil menulis, gue ngerasa ada seseorang yang jalan ke arah gue. Gue kira itu Greysia, tapi saat gue menengok, yang muncul justru Fina, sahabat Greysia.
Wajah Fina pucat. Ada sesuatu yang salah.
"Fina?" gue memanggilnya, tapi dia hanya berjalan pelan mendekat tanpa bicara. Napasnya tersengal-sengal seperti habis lari, matanya merah seolah habis menangis.
"Niam..." Fina akhirnya membuka suara, suaranya serak, hampir tak terdengar.
Detik itu juga, gue tahu ada sesuatu yang buruk terjadi.
"Ada apa?" gue bertanya dengan hati yang sudah berdegup kencang, tapi Fina hanya menggeleng, seolah sulit untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Gue semakin nggak tenang.
"Niam, Greysia... Greysia kecelakaan kemarin," akhirnya Fina berkata, dan kalimat itu menghantam gue dengan keras.
"Kemarin? Maksud lo apa?"
"Dia... dia ditabrak mobil waktu mau ke toko buku. Itu tabrak lari. Gue nggak tahu harus bilang gimana ke lo... tapi Greysia... dia nggak selamat."
Dunia gue tiba-tiba hancur dalam sekejap.
Greysia meninggal? Gue nggak percaya. Rasanya seperti ditarik ke dalam mimpi buruk yang nggak mungkin jadi kenyataan. Gue baru aja ketemu dia sehari sebelumnya. Kami masih ngobrol soal banyak hal. Kami masih saling tukar cerita tentang buku-buku dan senja.
Tapi sekarang... dia udah nggak ada?
Hari-hari setelah kabar duka itu rasanya seperti mimpi buruk. Gue nggak bisa lagi duduk di taman tanpa ngerasa ada yang hilang. Setiap sudut sekolah terasa sepi. Nggak ada lagi Greysia yang tiba-tiba muncul dan ngajak gue ngobrol. Nggak ada lagi dia yang selalu nyamperin gue dengan senyuman.
Setelah pemakaman, gue lebih banyak mengurung diri di kamar. Gue nggak tahu harus ngapain. Setiap kali gue mencoba untuk melupakan, bayangan Greysia kembali muncul, bikin hati gue semakin sakit. Gue terus menulis di buku harian gue, berharap semua rasa sakit ini akan berkurang, tapi nggak pernah ada perubahan. Greysia tetap memenuhi pikiran gue, seperti senja yang nggak pernah hilang dari langit, selalu ada di batas cakrawala, walaupun gue tahu gue nggak bisa lagi menyentuhnya.
Sampai suatu hari, Fina datang lagi. Kali ini dia membawa sesuatu yang nggak gue duga.
"Niam," katanya sambil menyerahkan sebuah buku kecil ke gue. "Ini buku catatan harian Greysia. Sebelum kejadian itu, dia kasih ini ke gue, bilang kalau dia pengen lo baca suatu hari nanti."
Tangan gue gemetar waktu gue nerima buku itu. Greysia juga punya buku catatan harian? Gue nggak pernah tahu.
"Kenapa dia ngasih ke lo?" tanya gue dengan suara parau.
"Dia bilang... dia cuma percaya sama lo dan gue. Dan... dia pikir, lo harus tau perasaan dia yang sebenarnya."
Sudut Pandang Greysia (Sebelum Kecelakaan)
Sehari sebelum kecelakaan itu, gue punya firasat aneh. Nggak tau kenapa, rasanya gue pengen ngasih sesuatu yang penting ke Fina — buku catatan harian gue. Gue sering cerita ke Fina soal Niam, tapi gue belum pernah kasih tau seberapa dalam perasaan gue yang sebenarnya.
"Fin, tolong simpan ini, ya. Gue nggak tau kenapa, tapi gue pengen lo punya ini dulu. Kalau sesuatu terjadi sama gue, kasih buku ini ke Niam," kata gue sambil bercanda. Fina keliatan kaget, tapi akhirnya dia terima buku itu.
Dan benar aja, setelah itu gue nggak pernah nyangka kejadian yang menimpa gue akan terjadi. Gue cuma pengen ke toko buku buat beli beberapa novel, tapi tiba-tiba semuanya jadi gelap. Gue nggak sadar kalau hidup gue akan berakhir dengan cara seperti ini.
Sudut Pandang Niam (Membaca Buku Catatan Harian Greysia)
Gue duduk di kamar gue, buku catatan harian Greysia ada di pangkuan. Perasaan gue campur aduk — antara penasaran dan takut. Gue takut dengan apa yang akan gue temukan di dalam buku ini, takut dengan kenyataan yang mungkin selama ini gue abaikan.
Tapi gue harus baca.
Halaman pertama dimulai dengan tulisan tangan Greysia yang rapi. Gue mulai baca, dan setiap kata di sana membawa gue lebih dalam ke dunianya.
"Hari ini, gue ketemu Niam di taman sekolah lagi. Dia lagi fokus nulis sesuatu. Gue nggak pernah bosen liat dia nulis. Dia kelihatan tenang, tapi gue yakin ada banyak hal yang dia simpen di dalam hatinya. Gue suka cara dia diem, tapi tetep bikin gue penasaran."
Setiap halaman yang gue baca bikin hati gue semakin sakit. Greysia selalu nulis tentang gue — tentang perasaannya yang dia nggak pernah ungkapin. Tentang gimana dia sering bingung sendiri karena nggak tau harus gimana nyatain perasaannya ke gue.
Tapi di tengah-tengah halaman itu, ada satu kalimat yang bener-bener menghantam gue:
"Gue nggak tau gimana cara ngomongnya, tapi gue rasa gue jatuh cinta sama Niam. Selalu ada rasa tenang tiap kali gue di dekat dia, kayak senja yang muncul setelah hari yang panjang. Gue cuma berharap suatu hari gue bisa bilang langsung ke dia."
Air mata gue nggak bisa ditahan lagi. Greysia, selama ini, merasakan hal yang sama. Gue ngerasa bodoh, karena gue juga nggak pernah punya keberanian buat ngungkapin perasaan gue ke dia. Dan sekarang, dia udah nggak ada lagi. Gue nggak bakal pernah bisa bilang ke dia apa yang gue rasakan.
Di halaman terakhir, ada kutipan sastra yang dia tulis. Kutipan yang terasa sangat mendalam, penuh makna, dan membawa gue kembali ke percakapan kita tentang senja.
"Ada bintang yang sinarnya butuh jutaan tahun buat sampai ke bumi. Kita mungkin nggak pernah sadar bintang itu ada, sampai sinarnya tiba di mata kita. Kadang perasaan juga gitu. Kita nggak pernah tau kapan harus nunggu atau kapan harus ngungkapin. Tapi ketika sinar itu tiba, mungkin segalanya sudah terlambat."
Kutipan itu seolah pesan terakhir dari Greysia. Tentang bagaimana perasaan kita sebenarnya saling terikat, tapi kita terlalu takut untuk mengungkapkan.
Gue duduk di sana, melihat ke langit malam yang penuh dengan bintang. Di antara semua bintang yang bersinar, ada satu yang terasa paling terang. Mungkin itu bintang Greysia — sinar yang selalu ada di hati gue, meskipun dia udah nggak di dunia ini lagi.
Akhir
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar Terakhir untuk Greysia
RomanceSinopsis: Niam adalah seorang remaja introvert yang lebih suka tenggelam dalam buku sejarah dan puisi daripada bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Hidupnya yang tenang dan penuh kesendirian berubah ketika secara tidak sengaja ia bertemu dengan Gr...