Ku titipkan 'dia' lewat angin

43 8 1
                                    

Mohon maaf jika ada informasi sejarah yang kurang tepat. Cerita ini hanya fiksi belaka. Tidak ada kaitannya dengan visualisasi tokoh.

*

2024

Rinai ingat, 'tahun' itu mencekam. Selalu seperti ada yang mengintai dari segala penjuru arah. Sebenarnya bukan hanya 'tahun' itu, bahkan sejak tahun-tahun sebelumnya kungkungan rasa sesak dan was-was kian terasa setiap hari. Mungkin jika dilihat dengan mata telanjang, situasi di sekitar normal-normal saja. Masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa, melakukan pekerjaan tanpa hambatan yang berarti. Tapi atmosfer yang terasa begitu dingin. Seperti ada bahaya yang terus mengikuti walau tak berbuat salah apapun.

'Tahun' itu selalu menjadi mimpi buruk bagi Rinai. 'Tahun' yang membuat luka begitu dalam di jiwanya. Bahkan hingga sekarang tak sepenuhnya sembuh. Dan mungkin tak akan pernah sembuh, kecuali 'dia' kembali untuk menepati janji.

Hari ini cerah setelah satu minggu ke belakang di penuhi hujan terus-menerus. Rinai bersiap dengan tasnya, menyambar payung berwarna hitam yang selalu ia bawa kemana-mana. Rinai dan payung hitam itu sudah seperti komandan TNI dan tongkat komandonya. Tak terpisahkan. Jika tongkat komando tentara melambangkan simbol kekuasaan, maka payung hitam Rinai adalah tuntutan kepada para penguasa.

Tepat pukul 16.00, Rinai sampai di tempat tujuannya. Ada banyak orang berkumpul. Mengenakan pakaian atasan dan bawahan hitam seperti yang ia pakai saat ini.

"Ibu Rinai, apa kabar?" Sapa salah satu pemuda yang ada disana. Rinai mengenalnya, salah satu anak dari teman seperjuangannya dulu.

"Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat. Yahh kaki ini sedikit bermasalah, tidak mudah bergerak di usia seperti ini." Jawab Rinai sembari tertawa diikuti dengan beberapa pemuda yang mengelilinginya saat ini.

"Ibu Rinai, perkenalkan ini Nazriel. Dia ke sini mau ketemu ibu." Salah seorang pemuda di depan Rinai menunjuk pemuda lain di sampingnya.

Demi melihat wajah di depannya itu, jantung Rinai berdegup kencang. Wajah itu meski tidak serupa mirip, tetapi garis serta setiap sudutnya seolah tercetak kembali, menciptakan rupa yang tak asing meski hanya sekilas.

"Ibu, saya Nazriel Muhammad Zulkarnain..."

Tentu. Tentu saja hanya pemilik nama belakang 'Zulkarnain' yang memiliki wajah tak asing itu. Rinai tahu, salah satu dari mereka pasti akan datang menemuinya.

🍃🍃🍃

2024

"... Saya minta maaf menemui ibu disini. Beberapa waktu lalu, saya mencoba datang ke kantor ibu, tapi pegawainya dengan tegas menyuruh saya pergi. Dia bilang anda tidak bisa ditemui kecuali setelah membuat janji."

Rinai mengangguk, sekretarisnya memang cukup rewel jika ada orang asing menemuinya, ia sendiri sedikit kewalahan menghadapi sikap overprotektif itu, meski tahu semua itu juga untuk kebaikannya.

"Saya yang harusnya meminta maaf, pasti kamu kesulitan menghadapi kecerewetannya, kan?"

Pemuda yang bernama Nazriel itu menyengir lebar sambil mengusap tengkuknya canggung. Rinai termenung sejenak, bahkan kebiasaannya pun juga tidak asing.

"Jadi, ada keperluan apa menemui orang tua ini? Ibu yakin tidak ada anak muda yang mau repot-repot bertemu nenek-nenek berusia 50 tahun dengan alasan gabut." Ucap Rinai seraya tersenyum. Mereka sekarang berada di sebuah cafe tepat di pinggir jalan titik berkumpul tadi. Nazriel meminta izin untuk berbincang berdua.

Mendengar ucapan Rinai tadi, Nazriel sontak berdiri dari duduknya, menundukkan kepala. "Maaf bu, saya lupa menjelaskan. Saya terlalu senang bertemu ibu. Ternyata buku harian itu tidak berbohong, bahkan di usia sekarang pun ibu masih terlihat begitu cantik. Seperti bunga Lily Hujan, itu yang tertulis di buku."

Ku titipkan 'dia' lewat anginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang