4200+ kata
Happy Reading🏹
Tidak seperti hari sebelumnya, pagi ini Caspian terbangun lebih awal, bahkan ketika Theodore masih berenang dalam lautan mimpinya. Tidak ingin mengganggu tidur kembarannya, Caspian turun dari ranjang dengan hati-hati, memastikan setiap langkahnya tidak menimbulkan suara. Ia membiarkan jendela kamar tetap tertutup, menjaga agar suasana tetap tenang dan Theodore bisa melanjutkan tidurnya dengan nyenyak.
Saat Caspian keluar dari kamar, suasana kastil masih sunyi, sebuah kontras dengan keramaian yang mewarnai semalam. Ketika ia melangkah lebih jauh, ia melihat Bentely berdiri di dekat pintu masuk kastil bersama Paman Baska. Keduanya tampak terlibat dalam percakapan yang serius. Meskipun percakapan mereka terdengar samar, Caspian masih bisa menangkap kalimat terakhir yang diucapkan oleh Bentely.
“Baguslah. Maaf, Paman, tapi aku benar-benar sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan Bibi Anne. Yang terpenting sekarang adalah semua sudah selesai dan kembali seperti semula. Bagiku, itu sudah cukup.”
Caspian menduga bahwa mereka tengah membicarakan tentang Bibi Anne, sosok yang selama ini menjadi dalang utama dari masalah di keluarga mereka. Ada keraguan di hatinya; ia tidak yakin apakah ia boleh mengganggu pembicaraan mereka. Namun, keinginannya untuk menyapa membuatnya memutuskan untuk melangkah mendekat.
“Paman,” panggil Caspian dengan suara pelan, menandakan kehadirannya.
Paman Baska menoleh, wajahnya menghangat saat melihat Caspian mendekat. “Bagaimana pesta semalam?” tanyanya ramah.
“Berjalan dengan baik,” jawab Caspian sopan. “Sayang sekali Paman tidak hadir.”
“Paman baru saja kembali subuh tadi,” jawab Paman Baska. Seperti yang Caspian tahu, Paman Baska tengah mengurus perpindahan Bibi Anne dari hari lalu.
Bentely yang berdiri di samping Caspian tiba-tiba menyenggol lengannya, menarik perhatian Caspian ke arah yang ditunjukkan Bentely. Di sana, berdiri Issante, gadis yang semalam membuat pikiran Caspian berputar tak menentu. Mata Issante tampak tenang, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Caspian gugup.
“Dia akan kembali ke Demonia siang nanti. Jangan sia-siakan waktu,” bisik Bentely lembut, menepuk pundak Caspian beberapa kali sebelum melangkah pergi. Paman Baska, seolah mengerti situasi, juga berpamitan dan meninggalkan mereka berdua.
Caspian merasakan kegugupan tiba-tiba menguasai dirinya. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sebuah kebiasaan yang muncul saat ia merasa canggung. Apa yang seharusnya ia lakukan sekarang? Masih terlalu pagi untuk merasa aneh seperti ini, pikirnya.
Issante mendekat, melangkah dengan anggun hingga berada di hadapannya. “Boleh aku bertanya?” tanya Issante.
Caspian mengangguk, tidak mampu menemukan kata-kata untuk menanggapi lebih dari itu. Issante kemudian mengajak Caspian duduk di teras kastil, menikmati udara pagi yang masih sejuk. Sinar matahari belum sepenuhnya muncul, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Caspian tetap diam, menunggu Issante untuk memulai pembicaraan. Ia merasa seperti seorang pengecut, terlalu takut untuk memulai percakapan lebih dulu.
“Apa semalam kau yang membawaku ke kamar?” tanya Issante tiba-tiba.
Caspian mengangguk dengan gugup. “Ah, iya, aku,” jawabnya, merasa sedikit malu. “Maaf,” tambahnya tanpa sadar, meskipun ia sendiri tidak tahu mengapa ia meminta maaf.
Issante tersenyum lembut, membuat Caspian merasa sedikit lebih tenang. “Kenapa meminta maaf? Seharusnya aku yang berterima kasih,” ujar Issante dengan nada yang menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐫𝐫𝐨𝐰 𝐨𝐟 𝐕𝐞𝐧𝐠𝐞𝐚𝐧𝐜𝐞
Fantasy[BAGIAN KEDUA] SELESAI Setelah kematian tragis Caspian, dunia tampak berjalan seolah-olah dia tak pernah ada. Para pangeran yang dulu bersama dan merasakan kehadirannya setiap hari kini melupakan setiap momen dan kenangan tentangnya. Hanya satu oran...