Happy Reading🏹
Pagi itu, udara di sekitar kastil terasa sejuk, namun suasana hati Halfoy tetap saja mendung. Savior dan Bentely telah berangkat sejak pagi, meninggalkan Theodore dan Halfoy untuk menjaga kastil.
Theodore memperhatikan Halfoy dengan cermat, menyadari perubahan yang jelas dalam sikap Halfoy sejak kemarin malam. Mencoba mencairkan suasana, Theodore beberapa kali melontarkan pertanyaan ringan. Namun, setiap kali Theodore berbicara, jawaban yang diterimanya singkat, seolah Halfoy tidak benar-benar mendengar atau memproses perkataannya. Sebuah tembok tak terlihat kini berdiri di antara mereka, dipenuhi oleh kesedihan dan rasa bersalah yang Halfoy sendiri belum bisa lepaskan.
Saat Theodore akhirnya menyerah, Halfoy memutuskan untuk menghabiskan waktu di halaman belakang bersama Bibi Zeyi. Ia menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan sederhana—memetik buah yang telah matang dan merapikan kebun. Aktivitas itu sedikit banyak memberinya rasa tenang, meski bayangan masa lalu terus menghantuinya.
Bibi Zeyi, yang sudah lama mengenal Halfoy, merasakan ada sesuatu yang tidak beres. “Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya lembut sambil menatap Halfoy dengan perhatian seorang Ibu.
Halfoy mengangguk singkat, “Aku hanya butuh sesuatu untuk menjaga pikiranku tetap sibuk, Bibi.” Suaranya terdengar lelah, namun ia seolah membatasi agar Bibi Zeyi tidak menanyakan hal lain. Ia kembali meraih apel yang tampak sempurna dari pohon, memandanginya sejenak sebelum memasukkannya ke dalam keranjang.
Bibi Zeyi menghela napas, memerhatikan Halfoy dengan tatapan penuh kasih sayang. Wanita tua itu tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Halfoy di balik wajah tenangnya. Ia tidak menekan, namun kata-katanya selalu lembut, penuh pengertian. “Kau tahu, berkebun selalu menjadi tempat yang baik untuk merenung. Tapi terkadang, berbicara juga bisa meringankan beban.”
Halfoy menatap Bibi Zeyi, senyumnya samar. Dengan langkah ragu, ia akhirnya berjalan untuk menangkas jarak lebih dengan dengan Bibi Zeyi.
“Kau butuh tempat cerita?” tanya Bibi Zeyi, seolah paham.
Halfoy mengangguk, mengangkat pandangannya, menatap mata Bibi Zeyi yang penuh perhatian. “Bibi... bagaimana caranya mengembalikan sesuatu yang hilang?” tanyanya dengan suara yang lebih lirih, hampir putus asa.
Bibi Zeyi menatapnya dalam-dalam, seakan mencoba memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan Halfoy. “Sesuatu seperti apa?”
“Ingatan,” jawab Halfoy dengan suaranya yang penuh beban.
Bibi Zeyi mengangguk pelan. “Kau perlu meyakinkan tentang semua yang telah dilupakan,”
“Tapi tetap tidak di percaya.”
“Mengembalikan ingatan bukanlah hal yang mudah, terutama jika ingatan itu sudah lama terkubur. Tapi jika kau benar-benar ingin, kau harus meyakinkan mereka, dengan segala cara,” katanya meyakinkan Halfoy. “Kau mungkin merasa tidak ada yang percaya padamu sekarang, tapi kepercayaan itu bisa tumbuh. Sedikit demi sedikit, seiring waktu, jika kau tetap berpegang teguh pada apa yang kau yakini.”
Halfoy menunduk, merasakan betapa sulitnya jalan yang harus ia tempuh. Ia tahu Bibi Zeyi benar, tapi dalam hatinya, ia masih merasa tersesat, terjebak antara kenyataan yang pahit dan harapan yang nyaris memudar. Tanpa kata, ia kembali bekerja, namun kini ada sedikit cahaya di hatinya, secercah harapan untuk menemukan jalan keluar dari kegelapan yang menyelimutinya.
Sementara Halfoy di belakang bersama Bibi Zeyi, Theodore lebih memilih sesuatu yang tenang untuk dilakukan. Di dalam perpustakaan kastil yang tenang, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kesunyian yang hanya diisi oleh derak lembaran-lembaran tua saat ia membolak-balik halaman buku yang baru saja ditemukannya. Udara di ruangan itu lembap, dipenuhi aroma kayu tua dan debu yang menempel di sudut-sudut ruangan, seakan menyimpan cerita-cerita yang belum pernah terungkap.
![](https://img.wattpad.com/cover/374829961-288-k360060.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐫𝐫𝐨𝐰 𝐨𝐟 𝐕𝐞𝐧𝐠𝐞𝐚𝐧𝐜𝐞 [END]
Fantasía[BAGIAN KEDUA] SELESAI Setelah kematian tragis Caspian, dunia tampak berjalan seolah-olah dia tak pernah ada. Para pangeran yang dulu bersama dan merasakan kehadirannya setiap hari kini melupakan setiap momen dan kenangan tentangnya. Hanya satu oran...