Ronald tiba-tiba tertarik dengan nenek moyang keluarganya, karena ada cerita tentang harta keluarga yang masih tersembunyi. Konon kakek dari kakeknya adalah orang yang sangat kaya.
Sampai Ronald menemukan sebuah tulisan tanpa makna dari kakeknya. Di...
Dua orang laki-laki berjalan beriringan memasuki salah satu dari dua pintu besar pada sebuah bangunan gedung. Dari wajah bangunan yang berwarna merah bata, berjajar jendela-jendela besar dengan isian kaca dalam kotak-kotak kecil, menunjukkan bangunan itu berlantai dua.
Toko Merah, begitu orang-orang menyebutnya. Entah mengapa. Meskipun disebut toko, sebenarnya bangunan itu adalah sebuah kantor. Kantor perdagangan yang sebelumnya dimiliki oleh Tuan Baron, Ayah Leon.
Berulang kali dua orang tadi mengangguk untuk membalas sapaan orang-orang yang sibuk bekerja di dalam bangunan itu. Mereka kemudian langsung menuju tangga dengan ballustrade kayu berukir motif tanaman. Tangga itu mesti berbelok tiga kali untuk mencapai lantai selanjutnya. Karena di bagian depan bangunan, jarak antar lantai begitu tinggi.
Senyum tersungging lebar di bibir mereka. Sesekali tawa pecah saat kalimat canda terlontar dari salah satunya. Orang satunya segera menimpali dengan canda juga. Seperti ada hal yang membuat mereka bergembira hari ini.
"Perempuan itu judes sekali, tapi sekaligus sangat manis," ujar yang satu.
"Dia kemayu, tapi sama sekali tidak genit," timpal yang lainnya tanpa memberi jeda.
Pujian itu terlontar saat dua laki-laki tadi baru saja menginjakkan kaki di anak tangga terakhir di sebuah ruangan yang luas. Senyum mereka tiba-tiba disembunyikan. Ternyata ada seseorang yang sedang berdiri di sebelah jendela yang begitu besar. Matanya seperti mata elang yang sedang mengawasi, menembus kaca, memandang ke kejauhan.
Kegaduhan dua orang yang baru datang membuat laki-laki di samping jendela menoleh. Mungkin laki-laki itu juga sempat mencuri dengar gurauan dua orang tadi. Yang satu berbadan tinggi besar memakai topi pet. Sedangkan satunya berbadan gempal, berambut gondrong dan berjenggot.
"Suratnya sudah kami kirimkan. Tadi antriannya mengular. Hanya dua loket yang ada petugasnya," laki-laki yang mengenakan topi pet menjelaskan alasan kehadiran mereka yang lambat.
Leon yang dipanggil Tuan Muda, memperhatikan alasan dua orang itu. Tadi pagi dia meminta mereka mengirim surat ke kantor pos. Tapi sepertinya Perusahaan Pos itu terlalu boros untuk bangunan. Sampai lupa kalau harus membayar pegawai. Antrean loket yang panjang sudah sering dikeluhkan. Padahal jumlah loketnya ada banyak, tapi hanya beberapa yang tersedia. Membuat waktu yang dihabiskan untuk administrasi mengirim surat di kantor pos bisa memakan waktu berjam-jam. Leon dan banyak orang kaya lainnya, memilih menyuruh pelayan mereka untuk melakukan antrean panjang itu.
"Terima kasih," timpal Leon. Dia lalu berjalan dengan dua tangan bersembunyi di dalam saku menuju ruangannya sendiri. Meninggalkan dua orang itu. Mereka adalah orang-orang yang dipilihkan oleh pamanya untuk menjadi pelayan pribadi Leon.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Leon kembali berdiri di depan jendela di ruangannya sendiri. Ruangan di sebelah tempat di mana pijakan anak tangga berakhir. Dari petakan kaca jendela yang tidak terlalu rata, dia mengamati kapal-kapal kecil pengangkut barang bersandar di tepi kali besar di seberang jalan, de Groote Rivier. Kapal itu akan melangsir barang-barang yang akan diangkut menggunakan kapal besar di mulut sungai.