BAB 4

102 18 6
                                    

" Uhk mamah.. ." Carlos duduk di sofa sembari menatap cemas adiknya yang kini kembali berhadapan dengan dokter.

Dokter paruh baya bernama Carlis itu nampak asik berbicara pada Eiri sambil menyuntik kan obat penenang pada nya.

" Eiri ada apa?. Kenapa kamu membuat pak tua ini bekerja di hari libur hemn?." Walaupun terdengar seperti itu, Carlis menatap Eiri dengan penuh kasih sayang dan perhatian.

Bagi dokter 50 tahun itu, Eiri adalah cucu yang baik, ceria, dan menyenangkan. Setiap kali dia mihatnya dia selalu mengingat cucu bungsu nya, oleh karna itu Carlis tak tega melihat anak itu kesakitan. Walaupun penyakit yang di derita Eiri membuat nya sulit untuk tidak merasakan sakit.

Dengan suara pelan dan serak, Eiri menatap Carlis dengan mata yang sayu. "Maaf, kek... Eiri hanya ingin ikut bermain... ikut piknik keluarga."
Suara itu terdengar rapuh, seolah setiap kata yang keluar menguras energi terakhirnya. Eiri memejamkan mata sejenak, bibirnya bergetar pelan. "Eiri juga ingin ikut..."

Carlos yang duduk tak jauh dari ranjang, dapat mendengar suara rapuh adik kecilnya. Hatinya kembali berdenyut sakit.

dia mulai bertanya tanya apakah yang dilakukan keluarganya adalah hal benar dan yang terbaik untuk adiknya? Atau malah sebaliknya.

"Baiklah, sayang. Kakek akan membantu membujuk orang tuamu, ya? Jadi, tidurlah dulu," bisik Carlis sambil mengusap lembut rambut putih Eiri, yang begitu halus di bawah sentuhannya.

Eiri tersenyum cerah mendengar janji dokternya. Lalu tak butuh beberapa menit dia jatuh kedalam mimpi nya.

Dokter menatap nya dengan teduh sambil terus mengusapi surai nya, kadang dia merasa kasian pada anak ini.

Walau dia punya terlihir dengan sendok berlian, kekuasaan, asal usul baik, serta keluarga yang menyayanginya. Namun dia harus terkurung dalam sangkar emas tanpa bisa menikmati apapun yang seharusnya menjadi miliknya, dan malah harus ditemani dengan penyakit yang menusuk daging disetiap menit. Selama lima belas tahun, Eiri sudah cukup menahan nya.

" Mungkin anak nakal ini lelah." Carlos mendongak menatap dokter yang sekarang ikut duduk disampingnya.

Mereka sama sama memandang sosok menggemaskan yang berbaring tak berdaya di atas ranjang.

Mereka diam sesaat sebelum dokter tua itu memotong keheningan. "Kondisi Eiri saat ini stabil, tapi kita harus lebih waspada. Lupusnya sudah dalam tahap yang cukup agresif. Sistem imunnya menyerang tubuhnya sendiri, dan sayangnya, ini membuat organ-organ vitalnya terancam. Kita sudah menemukan tanda-tanda komplikasi di jantung dan ginjalnya."

Carlos menghela napas panjang, merasa beban di pundaknya semakin berat.

"Tapi... mengapa dia semakin lemah? Kami sudah memberikan semua yang dia butuhkan." Dia, orang tuanya, dan semuanya selalu memastikan Eiri ada ditempat aman dan nyaman. Namun kenapa semua usaha itu terlihat sia sia, dan tubuh Eiri tidak membaik samasekali.

"Selain perawatan medis, Eiri juga membutuhkan dukungan emosional yang kuat. Stres bisa memperburuk kondisinya. Kami tahu dia merasa kesepian, dan itu bisa mempengaruhi kesehatannya secara fisik. Anak-anak dengan SLE sangat sensitif terhadap perubahan suasana hati dan tekanan mental. Jika dia terus merasa terisolasi, itu bisa memperparah penyakitnya."

" Dan kondisi Eiri adalah yang paling unik dari sekian banyak pasien yang ku temui. Kami bahkan belum tau dimana datang nya penyakit itu." Itu berarti bahkan dokter terbaik di benua ini belum mengetahui kenapa dan darimana Eiri memperoleh penyakit penyakitnya.

" Kami... kami sibuk. Ada banyak masalah di keluarga ini, tapi aku tahu, kami seharusnya lebih ada untuknya." Carlos meremas tangannya, dia merasa tak berdaya dan dia benci itu. Dia merasa tak berguna untuk adiknya. Padahal dulu saat Eiri dalam kandungan, dialah yang paling banyak berjanji akan melindungi Eiri hingga dia hanya bisa melihat yang baik baik saja.

The Impossible Future Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang