BAB 5

109 17 3
                                    

Cahaya lampu steril di langit-langit berpendar dingin, membuat suasana semakin terasa hampa. Di sekitar tubuhnya, mesin-mesin medis dengan suara bip monoton menjadi saksi dari pertempuran yang sedang ia hadapi. Selang-selang infus menjuntai dari pergelangan tangannya, mengalirkan cairan vital ke dalam tubuh yang semakin lemah.

Eiri terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya tampak pucat, bibirnya bergetar menahan sakit. Setiap napas yang diambilnya seakan tersendat, sulit dan berat, seolah paru-parunya enggan bekerja. Rasa sakit dari penyakitnya yang terus menggerogoti tubuhnya terasa seperti duri yang menancap di setiap saraf.

"Sa-kit..." suara seraknya nyaris tak terdengar, hampir tertelan oleh deru mesin-mesin di sekitarnya.

Carlis dan dokter lain bergegas, tangan mereka bergerak cepat memeriksa setiap indikator, mencari tahu apa yang salah. Namun, tak ada yang benar-benar bisa menghentikan penderitaan yang dirasakan Eiri. Tubuhnya seolah memberontak, setiap sentuhan terasa menyakitkan. Sistem kekebalannya, yang sudah lemah seakan berperang melawan dirinya sendiri.

Di tengah keheningan yang penuh kepanikan itu, suara kecil yang imut namun dingin bergema di benaknya,. " Jangan salahkan aku, ini demi kebaikan mu Cip."

"Chirpy... a-apa yang kamu lakukan?" pikirnya, sulit baginya untuk memfokuskan pikirannya di tengah gelombang rasa sakit yang merayapi tubuhnya.

Namun dia tak mendengar suara Chirpy lagi.Tubuh Eiri bergetar, rasa sakit dari sendi-sendinya semakin menjadi. Rasanya seperti ada sesuatu yang meremas organ-organ dalamnya. Napasnya tersengal, sulit baginya untuk menarik udara yang cukup. Pandangannya mulai kabur, bercampur antara rasa sakit fisik yang tak tertahankan dan kebingungan akan apa yang Chirpy telah lakukan.

" Tenang, kamu akan baik baik saja Cip." Hanya suara Chirpy yang dia dengar sebelum kesadaran nya benar benar runtuh.

Carlis memandang Eiri yang kini tak sadarkan diri.

Bersamaan dengan itu suara suara alat medis perlahan tak seberisik tadi. Membuat semua dokter yang ada diruangan menjadi bingung, awalnya mereka bahkan berpikir tuan muda ini tak akan selamat dari maut. Namun seolah dewi fertuna tiba tiba lewat, kondisinya membaik tanpa campur tangan mereka.

" Mr.Carlis, kondisinya membaik dengan sendirinya. Kita tidak melakukan apapun tadi anak ini memburuk dan membaik sendiri, saya jadi bingung?." Ujar salah satu dokter yang membantunya dalam merawat Eiri.

Carlis mengusap lembut surai Eiri. "Jangan terlalu dipikirkan," ujar pak tua itu sambil tersenyum tipis. "Anak ini kadang seperti cuaca. Pagi cerah, siang hujan deras, sorenya pelangi. Kita cuma ikut menikmati pertunjukannya."

Dokter itu mengerutkan kening dengan lolucon garing seniornya yang datang tiba tiba.

"..Jadi kita disini sebagai penonton saja ?."

Carlis mengangguk sambil tertawa pahit. "Iya, dan dia sutradaranya. Semoga saja besok naskahnya nggak tambah rumit."

Dia sendiri merasa frustasi dengan kondisi pasien kecilnya.

Sedangkan di luar ruangan Carlos menunggu dengan ujung jari gemetar. " Sial, kenapa lama sekali." Gumamannya dengan gusar.

Dari kejauhan Xander sudah tiba tanpa seorangpun pengawal. Dia tampak berantakan dengan dua kancing atas terbuka dan lengan kemeja yang dia tarik hingga siku.

Xander menghampiri anaknya dengan langkah lebarnya.

" Bagaimana keadaan adikmu?." Tampak jelas guratan kekhwatiran di wajah seksi pria itu.

Carlos hanya mengigit bibir bawahnya lalu menggeleng.

dia juga tidak tau pasti keadaan Eiri didalam sana.

The Impossible Future Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang